Opini

Di Mana Pariwisata NTB Mendunia Seharusnya Berpijak

Menghapus atau mengabaikan kearifan ini demi logika industri pariwisata yang seragam (global tourism) berarti memutus akar kemanusiaan itu sendiri.

Editor: Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM/DZUL FIKRI
Salam Faris. Ia merupakan dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Perempuan Rusuk Dua" 

Sebagaimana disampaikan oleh Clifford Geertz, kebudayaan adalah proses penafsiran yang terus-menerus dalam praktik sosial. 

Oleh karena itu, kearifan lokal dalam konteks pariwisata NTB mesti dibuka sebagai ruang kreatif untuk melahirkan bentuk-bentuk baru yang relevan dengan kebutuhan kontemporer tanpa mencabut akarnya dari lokalitas.

Inovasi dan invensi dalam pariwisata NTB mesti berangkat dari kesadaran terhadap kebutuhan lokal, bukan hanya selera pasar wisata global. Pembangunan bukanlah semata soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga perluasan kebebasan substantif manusia untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mereka hargai. 

Dalam konteks NTB, ini berarti inovasi kepariwisataan tidak boleh merusak lingkungan, meminggirkan masyarakat lokal, atau mengubah struktur sosial secara represif. 

Sebaliknya, inovasi kepariwisataan mestilah menguatkan posisi masyarakat sebagai pelaku utama pariwisata. Bukan hanya sebagai objek tontonan atau tenaga kerja murah. 

Inovasi dapat berbentuk metode digital dalam promosi wisata, model bisnis partisipatif, reinterpretasi budaya dalam paket wisata, atau pengembangan produk kreatif berbasis sumber daya lokal. 

Dengan kata lain, pada saat yang sama, inovasi pemikiran, tingkah laku, dan teknikal dalam kepariwisataan mestilah berjalan seiring. 

Invensi berbeda dari inovasi yang sering kali merupakan pengembangan dari yang sudah ada. Invensi merujuk pada penciptaan yang benar-benar baru, meskipun tetap berakar pada konteks lokal. 

Dalam pariwisata NTB, invensi dapat menjadi jalan untuk menciptakan model wisata berbasis spiritualitas lokal, wisata edukatif berbasis pelestarian alam, wisata religi berbasis pesantren, wisata ekonomi berbasis upacara, atau wisata budaya yang benar-benar menempatkan masyarakat sebagai pemilik narasi. 

Tantangan terbesar dalam invensi adalah menciptakan hal baru yang tidak memutus kontinuitas dengan identitas kultural. Namun justru di sinilah letak pentingnya, karena dengan invensi yang berakar pada nilai lokal, NTB bisa keluar dari jerat meniru tanpa kritik dan menjadi pusat inovasi pariwisata berbasis nilai. Dampak besarnya adalah pariwisata NTB akan mempunyai karakternya tersendiri.

Selanjutnya, konsep adaptasi waktu ke waktu menjadi elemen penting yang menjembatani antara lokalitas dan perubahan zaman. Adaptasi bukan berarti menyerah pada arus globalisasi, melainkan membangun fleksibilitas dalam mempertahankan prinsip dasar sambil menyesuaikan diri dengan perubahan kebutuhan, teknologi, dan gaya hidup. 

Pariwisata NTB harus membangun kesadaran historis tentang bagaimana masyarakatnya telah dan akan terus berubah. Dalam konteks ini, adaptasi juga berarti keterbukaan terhadap dialog antarbudaya, teknologi baru, dan permintaan wisatawan global, selama tidak mengorbankan integritas nilai lokal.

Adaptasi bukan kompromi yang menghapus identitas, melainkan strategi negosiasi aktif terhadap waktu dan tantangan. 

Sebagai contoh, ritual adat yang dulunya hanya tertutup bagi komunitas, kini dapat dikemas sebagai pengalaman spiritual bagi wisatawan dengan tetap menjaga makna dan etika pelaksanaannya. 

Ini bukan bentuk eksploitasi budaya, tetapi cara menjaga keberlanjutan melalui redefinisi peran budaya dalam konteks ekonomi. Adaptasi yang tepat akan menghasilkan keberlanjutan pariwisata. 

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved