Opini
Genealogi Keterjajahan dan Kesengsaraan Sasak
Tulisan ini berdasarkan disertasi John M. MacDougall yang berjudul Buddhist Buda or Buda Buddhists?: Conversion, Religious Modernism and Conflict
Buku yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1869 ini merupakan salah satu karya klasik dalam bidang sejarah alam, geografi, dan etnografi Asia Tenggara, berdasarkan perjalanan Wallace di Kepulauan Melayu (termasuk Indonesia) antara tahun 1854 hingga 1862.
Dalam konteks Lombok, Wallace mencatat secara etnografis praktik-praktik politik dan kebudayaan lokal, termasuk kisah sensus mitologis yang dilakukan oleh raja Bali di Lombok yang dikutip oleh MacDougall sebagai contoh "statistical governmentality" yang diperkuat secara ritual. Satu simulakra pembinasaan orang Sasak yang berdampak secara bawah sadar sehingga sekarang dan tidak ada tanda-tanda pengakhiran, entah sampai kapan.
Namun, MacDougall juga menunjukkan bahwa kekuasaan Belanda yang menggantikan dominasi Bali pada akhir abad ke-19 tidak membawa pembebasan bagi Sasak, melainkan bentuk penjajahan baru yang lebih sistematis. Belanda datang atas undangan kelompok tarekat Islam Sasak di Lombok Timur yang memberontak terhadap kekuasaan Bali, namun segera menggantikan struktur kolonial sebelumnya dengan bentuk dominasi yang lebih birokratis dan terstandarisasi.
Belanda membangun sistem pemerintahan tidak langsung melalui bangsawan boneka Sasak yang dilabeli sebagai keturunan kerajaan Selaparang, sebuah kerajaan masa lalu yang dipanggil kembali dari khazanah memori budaya untuk melayani kepentingan kolonial. Ironisnya, genealogis kekuasaan ini bukan didasarkan pada realitas politik kontemporer, melainkan pada narasi keemasan yang disusun dan dimanfaatkan oleh Belanda untuk meredam potensi perlawanan dan mengorganisasi sistem perpajakan.
Dalam konteks ini, MacDougall dengan jeli mengungkap bagaimana kolonialisme menciptakan bentuk penderitaan dan kesengsaraan yang lebih subtil namun dalam. Penderitaan dan kesengsaraan akibat penghapusan makna dan perampasan identitas orang Sasak yang berdampak besar sampai sekarang pada diri orang Sasak yang tak berhasil membangun identitas jelas dan kuat sebagai bangsa.
Dalam upaya Belanda untuk menginstitusionalisasi struktur adat dan hukum tradisional sebagai alat kontrol sosial, terjadi apa yang oleh MacDougall disebut sebagai "kebingungan budaya". Sasak tidak hanya dikepung oleh wacana kolonial yang ingin menetralkan Islam melalui revitalisasi adat, tetapi juga oleh warisan kolonial Bali yang membaurkan praktik ritual Hindu-Buddha ke dalam bentuk-bentuk religiusitas Islam lokal. Di sinilah letak penderitaan dan kesengsaraan mendalam masyarakat Sasak yakni ketika identitas religius, genealogis, dan kulturalnya dikaburkan, dihilangkan, dibumihanguskan, dimusnahkan secara massal untuk kepentingan kekuasaan eksternal.
MacDougall mencatat bahwa pada masa awal kolonial Belanda, meskipun gerakan tarekat seperti Naqshabandiyyah menjadi kekuatan utama dalam menggulingkan kekuasaan Bali, struktur kolonial baru yang diterapkan Belanda gagal memberikan ruang otonomi yang sejati kepada komunitas Islam Sasak.
Alih-alih membangun struktur pemerintahan berdasarkan representasi lokal yang sejati, Belanda memilih untuk membentuk bangsawan baru berdasarkan kedekatan spasial dengan pusat kekuasaan masa lalu (seperti Sakra di Lombok Timur), bukan berdasarkan legitimasi moral atau popularitas lokal. Hal ini berujung pada munculnya birokrasi feodal baru yang tidak hanya memelihara ketimpangan sosial, tetapi juga menciptakan kesenjangan spiritual antara rakyat dan penguasa. Antara bangsawan boneka dengan rakyat jelata Sasak yang terus-menerus dalam penderitaan dan kesengsaraan.
Penderitaan dan kesengsaraan Sasak selama periode kolonial (Bali dan Belanda) tidak hanya bersifat politis atau ekonomis, melainkan juga menyentuh aspek-aspek mendalam dalam keseharian yaitu kesehatan, kematian, bencana alam, dan kesulitan hidup yang dimaknai dalam kerangka ekonomi moral ritual.
Dalam kerangka ini, tidak membayar pajak atau gagal memberikan persembahan dianggap sebagai pelanggaran spiritual yang akan membawa bencana, sebuah keyakinan yang dieksploitasi oleh penguasa baik Bali maupun Belanda untuk menjaga kepatuhan. Sekali lagi, bagi saya, MacDougall berhasil dengan cemerlang menunjukkan bahwa kekuasaan kolonial bekerja melalui alam simbolik dan memori budaya, dan bukan sekadar melalui kekerasan fisik.
Ironisnya, strategi Belanda untuk meniru sistem kekuasaan Bali dengan membentuk bangsawan Sasak boneka berbasis mitologi Selaparang justru menjadi bumerang. Rakyat Sasak mulai menggunakan narasi yang sama, legitimasi zaman keemasan Selaparang untuk menolak kekuasaan Belanda.
Dalam perlawanan mesianik yang muncul pada awal abad ke-20, para pemimpin spiritual dan karismatik mengklaim bahwa mereka adalah titisan atau pewaris Selaparang yang sejati. Gerakan ini, yang disebut oleh MacDougall sebagai kedatu-datuan, tidak selalu berwatak Islamis, tetapi lebih merupakan resistensi kultural yang menggunakan simbol-simbol masa lalu untuk menolak dominasi masa kini.
Dengan demikian, bab pertama disertasi MacDougall tidak hanya menawarkan narasi sejarah, melainkan menyusun sebuah genealogi keterjajahan dan kesengsaraan yang terstruktur dan sistemik. Dari kekuasaan Bali yang menindas, membinasakan, membumihanguskan orang Sasak dengan balutan legitimasi ritual, hingga kolonialisme Belanda yang menciptakan birokrasi boneka berbasis genealogis fiktif, masyarakat Sasak menjalani sejarah panjang penindasan yang membentuk identitas mereka hingga hari ini sebagai bangsa inlander.
Sebagai bangsa super inferior. Penderitaan yang mereka alami tidak hanya berbentuk ketertindasan sosial atau ekonomi, tetapi juga berupa dislokasi makna, hilangnya identitas, dan manipulasi terhadap sistem kepercayaan yang paling dalam.
MacDougall menyajikan analisis yang memperlihatkan bahwa kolonialisme di Lombok tidak bisa dipahami sebagai benturan antara Barat dan Timur semata, tetapi sebagai medan pertempuran simbolik antara berbagai warisan sejarah, kekuasaan lokal, dan aspirasi religius yang saling bertabrakan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.