Agus Pria Disabilitas

OPINI: Meneropong Keadilan Pelaku Kekerasan Seksual oleh Disabilitas dan Sistem Hukum yang Inklusif

Selain menjadi korban, penyandang disabilitas juga dapat terlibat dalam kasus kekerasan seksual sebagai pelaku

Editor: Idham Khalid
Dok. Istimewa
Akhmad Wahyu Gunawan, SH, MH. 

Penulis: Akhmad Wahyu Gunawan, SH MH, Pengcara Muda

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang kerap kali tidak terungkap. Namun, selain menjadi korban, penyandang disabilitas juga dapat terlibat dalam kasus kekerasan seksual sebagai pelaku. 

Dalam konteks ini, sistem hukum Indonesia harus memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari kondisi fisik atau mentalnya, memperoleh perlakuan yang adil dan sesuai dengan kebutuhan mereka. 

Contoh kasus terbaru adalah melibatkan I Wayan Agus Suartama aliasAgus, seorang penyandang disabilitas tunadaksa tanpa kedua lengan, di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjadi momen refleksi bagi sistem hukum Indonesia. 

Penetapan Agus sebagai tersangka dalam dugaan pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi telah memunculkan berbagai pertanyaan tentang keadilan bagi penyandang disabilitas di tengah sistem hukum yang masih menghadapi tantangan dalam mewujudkan inklusivitas. 

Penetapan tersangka terhadap agus yang diduga telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual dengan modus manipulasi melalui komunikasi verbal yang mampu mempengaruhi sikap dan psikologi korban.

Kekerasan Seksual oleh Penyandang Disabilitas : Kasus Posisi I Wayan Agus Suartama Alias Agus 

Penyandang disabilitas sering kali dilihat sebagai kelompok yang tidak dapat melakukan tindak kekerasan seksual, mengingat keterbatasan fisik atau intelektual yang mereka dimiliki. 

Namun, dalam beberapa kasus, individu dengan disabilitas dapat terlibat dalam tindak kekerasan seksual. Ini bisa terjadi karena beberapa faktor, seperti kurangnya pemahaman tentang batasan seksual, keterbatasan dalam mengendalikan impuls, atau dampak dari pengalaman mereka sendiri sebagai korban kekerasan di masa lalu.

Misalnya, Pada Desember 2024, seorang pria penyandang disabilitas tunadaksa berinisial I Wayan Agus Suartama Alias Agus ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi berinisial MA di Kota Mataram, NTB. 

Agus, yang tidak memiliki kedua tangan, diduga melakukan tindakan pelecehan terhadap korban pada 7 Oktober 2024.  Kemudian telah di lakukan rekonstruksi kasus Pada 11 Desember 2024, dilakukan rekonstruksi kasus di tiga lokasi, yakni di Taman Udayana, Islamic Center, dan homestay tempat dugaan pelecehan terjadi. 

Dalam rekonstruksi tersebut, Agus memerankan 49 adegan yang menggambarkan kronologi peristiwa. Beberapa fakta yang terungkap dan Modus operandi Agus melibatkan manipulasi emosional dan ancaman psikologis terhadap korban untuk memenuhi keinginannya. 

Tanggapan Komnas Perempuan dan Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB

Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, menekankan bahwa pemahaman publik mengenai kekerasan seksual harus melampaui stereotip dan tidak melihatnya melalui "kacamata nondisabilitas". Ia menegaskan bahwa kekerasan seksual dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menggunakan anggota tubuh lain seperti kaki. 

Ketua KDD NTB, Joko Jumadi, menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki potensi yang sama dengan individu lain dalam hal menjadi pelaku atau korban tindak pidana. Ia menekankan pentingnya pandangan adil terhadap kelompok disabilitas dalam proses hukum. 

Kasus ini menyoroti pentingnya pemahaman yang tepat mengenai peran penyandang disabilitas dalam masyarakat, baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana. Penting untuk menghindari stereotip dan memastikan bahwa proses hukum berjalan adil bagi semua pihak.

Pandangan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual oleh Disabilitas

Proses hukum ini membawa tantangan unik, terutama karena Agus adalah penyandang disabilitas tunadaksa. Hak-haknya sebagai warga negara harus dijamin, termasuk hak untuk mendapat fasilitas yang mendukung partisipasinya dalam proses hukum, seperti pendampingan hukum dan aksesibilitas fisik. 

Halaman
123
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved