Agus Pria Disabilitas

OPINI: Meneropong Keadilan Pelaku Kekerasan Seksual oleh Disabilitas dan Sistem Hukum yang Inklusif

Selain menjadi korban, penyandang disabilitas juga dapat terlibat dalam kasus kekerasan seksual sebagai pelaku

Editor: Idham Khalid
Dok. Istimewa
Akhmad Wahyu Gunawan, SH, MH. 

Mengingat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menegaskan bahwa semua warga negara, termasuk penyandang disabilitas, memiliki hak yang sama di mata hukum. Namun, kenyataannya, banyak aspek sistem hukum yang belum sepenuhnya inklusif atau ramah disabilitas.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 mengatur ketentuan khusus bagi penyandang disabilitas. Penjelasan Umum dalam undang-undang ini menyebutkan bahwa regulasi tersebut mencakup berbagai jenis penyandang disabilitas, hak-hak mereka, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak tersebut, koordinasi antar pihak terkait, Komisi Nasional Disabilitas, pendanaan, kerja sama internasional, serta penghargaan.

Terdapat beberapa isu yang perlu diperhatikan dalam menangani kasus kekerasan seksual yang melibatkan pelaku penyandang disabilitas:

  • Penjajakan Kondisi Pelaku
    Dalam tersebut, penyandang disabilitas yang menjadi pelaku kekerasan seksual mungkin tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang tindakan mereka. Mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami apa yang dimaksud dengan persetujuan atau batasan-batasan dalam hubungan seksual. Ini menunjukkan perlunya penanganan yang sensitif terhadap kondisi mental atau intelektual pelaku, serta pemahaman yang mendalam tentang dampak dari tindakan mereka. Pentingnya penanganan secara holistic terhadap kasus agus dengan melibatakan ahli psikologi, ahli, Forensik, serta ahli sosiologi guna memberikan pendangan 
  • Stigma Sosial terhadap Pelaku Disabilitas
    Masyarakat sering kali menganggap penyandang disabilitas tidak mampu melakukan kejahatan seperti kekerasan seksual. Stigma ini dapat menyebabkan ketidakadilan dalam proses hukum, baik bagi korban maupun pelaku. Terkadang, pelaku yang memiliki disabilitas tidak diberikan kesempatan untuk membela diri atau menjalani proses hukum yang setara. Sebaliknya, ada pula kekhawatiran bahwa jika seorang pelaku penyandang disabilitas dijatuhi hukuman berat tanpa mempertimbangkan kondisi mentalnya, itu akan menjadi bentuk ketidakadilan.
  • Kurangnya Akses Pendampingan Hukum dan Psikologis
    Penyandang disabilitas yang menjadi pelaku kekerasan seksual sering kali tidak mendapatkan pendampingan hukum yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Begitu pula dengan dukungan psikologis yang dapat membantu mereka memahami tindakan mereka dan memperbaiki perilaku. Proses hukum yang tidak ramah disabilitas bisa memperburuk kondisi mental mereka, yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam sistem peradilan.
  • Proses Hukum yang Inklusif dan Adil
    Sistem hukum Indonesia harus dapat menyesuaikan prosedur hukum untuk memenuhi kebutuhan pelaku penyandang disabilitas. Misalnya, dalam beberapa kasus, mereka mungkin memerlukan evaluasi psikologis untuk menentukan sejauh mana mereka memahami tindakan yang mereka lakukan dan apakah mereka dapat dimintai pertanggungjawaban. Selain itu, hak untuk mendapatkan pendampingan yang memahami kondisi disabilitas mereka harus diprioritaskan.

Apakah ada alasan pemaaf bagi pelaku disabilitas yang melakukan tindak pidana?

Dijelaskan bahwa dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Menurut Albert Aries yang dimaksud dengan alasan pemaaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu sebenarnya salah, akan tetapi masih dipertanyakan yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atau tidak. 

Alasan pemaaf diatur di dalam Pasal 44 KUHP menyatakan: 

(1). Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2). Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama 1 tahun sebagai waktu percobaan.

(2). Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Menurut R. Soesilo bahwa dalam pasal ini alasan tidak dapat dihukumnya terdakwa atas perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena:

1.     Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan akal di sini adalah kekuatan pikiran, daya pikiran, kecerdasan pikiran. Misalnya idiot, imbesil, buta tuli dan bisu mulai lahir.

2.     Sakit berubah akalnya. Misalnya, sakit gila, epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya

Kemudian di kuatkan dalam penjelasan Undang-Uundang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru 

“Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.”

Berdasarkan sudat pandang hukum pidana, untuk penderita disabilitas fisik tidak terdapat alasan pemaaf jika melakukan tindak pidana.

Terlebih lagi dalam Pasal 35 Undang-Uundang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dijelaskan bahwa proses peradilan pidana bagi penyandang disabilitas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

Solusi untuk Sistem Hukum yang Ramah Disabilitas

Halaman
123
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved