Wisata Lombok
DPMPTSP NTB Jawab Tudingan Jadi Biang Kerok Terhambatnya Pengembangan Wisata Pantai Pink
Pengembangan objek wisata di Pantai Pink, Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, hingga saat ini masih belum optimal.
Penulis: Ahmad Wawan Sugandika | Editor: Endra Kurniawan
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Pengembangan objek wisata di Pantai Pink, Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, hingga saat ini masih belum optimal.
Kehadiran PT Eco Solution Lombok (ESL) di pantai tersebut dinilai masih belum jelas, bahkan sampai saat aktivitas pembangunan belum juga dilakukan.
Menjawab itu, Plt Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPTMPTSP) Provinsi NTB, Wahyu Hidayat memberikan klarifikasinya.
"Jadi kalau yang kami pahami menghambat perkembangan investasi khususnya PT ESL itu sebenarnya tidak, cuma di situ memang prosesnya baru akan memulai membuat camp pekerja," ucap Wahyu setelah dikonfirmasi, Jumat (1/3/2024).
Dikatakannya, pihak PT ESL sendiri sebelumnya telah memulai proses pembangunan fisik atau ground breaking pada tanggal 28 November 2023 lalu.
Baca juga: Lelang Pengelolaan Destinasi Wisata di Lombok Timur Mengacu Perda dan Pergub
"Seingat saya kemarin itu 28 November 2023 kemarin itu mereka ada target-target yang sedang dijalankan, untuk beberapa bulan ini mereka sedang membangun camp pekerja, kantor, dan lain sebagainya," ungkapnya.
Adapun, pembangunan yang nantinya akan diadakan khusus di Pantai Pink ditargetkan berdiri 100 eco villa.
"Makanya saya agak bingung mohon maaf kalau ada pernyataan yang mengatakan bahwa PT ESL ini menghambat, sebenarnya tidak, tetapi mungkin dinamika dalam proses penyelenggaan investasi itu sendiri ada naik turunnya," tuturnya.
Diakuinya memang, dalam kurun waktu beberapa tahun belakang, progres pembangunan dari PT ESL sempat terhambat, dikarenakan dihadapkan peristiwa gempa bumi dan dilanjutkan dengan Covid-19.
"Kalau ita katakan beberapa tahun prosesnya sampai dengan dia sekarang baru bergerak ada dinamika yang kita tidak bisa pungkiri, tetapi kalau kita di pemerintah melihat itu sebagai suatu tantangan."
"Mereka sudah mulai bergerak tetapi terhambat oleh covid, tetapi ini menjadi catatan juga bagi pemerintah bahwa bagi investor-investor yang notabenenya tidak melakukan pergerakan akan menjadi catatan tersendiri bukan hanya PT ESL, tetapi seluruh investor-investor yang sudah memiliki izin tetapi belum berkegiatan," tutupnya.
Baca juga: Kanwil Kemenkumham NTB Konsultasi Hasil Analisa-Evaluasi Perda Desa Wisata
Sebelumnya, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Kecamatan Jerowaru, Ahmad Turmuzi membeberkan alasan terhambatnya pengembangan wisata di pantai pink.
Hal ini dikarenakan tumpang tindih kebijakan terkait lahan masih terjadi antara Pemerintah provinsi, KTH, hingga dengan pihak PT ESL.
Bahkan permasalahan lahan tersebut diduga melibatkan mafia tanah.
"Ada tiga fokus kita sebagai KTH disini, pertama kelola lembaga, kelola lahan, dan kelola usaha," ucapnya.
Tiga kelola tersebut, dikatakan Turmuzi hanya bisa berjalan di dua tempat kelola, yakni kelola lembaga, dan kelola lahan.
Namun, kelola usaha yang merupakan aspek penting pada pengembangan wisata tidak bisa berjalan baik, imbas dari tanah yang masih tumpang tindih kepengurusan.
Baca juga: Dispar Lombok Timur Lelang Objek Wisata, Konservasi Penyu di Pantai SLL Labuhan Haji Terancam
"Soal tiga kelola yang menjadi tugas kita sebagai KTH dua di antaranya sudah berjalan, namun kelola usaha ini yang tidak bisa berjalan, imbas dari pengelolaan yang tumpang tindih," katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, saat ini dari SK yang sudah terdaftar pada Rencana Kerja Tahunan (RKT), disebutkan di sana pengelolaan lahan yang diberikan sejumlah 7,5 hektar, namun kenyataannya yang diberikan wewenang pada KTH hanya 3,5 hektar.
Sisanya ada wewenang swasta, yakni PT Eko Solutions Lombok (ESL) dan 1,5 hektar di dalamnya teridentifikasi dikuasai mafia tanah. Hingga pergerakan untuk pengelolaan tanah tidak optimal.
"Jika dia dikelola tidak apa-apa, namun ini kan sudah puluhan tahun seperti ini, kita sudah berusaha untuk melakukan banding ke pusat, melalui Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH) ke Badan Pertahanan Nasional (BPN), namun selalu kalah," sebutnya.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.