Pilpres 2024
Jokowi Enggan Komentari Pemecatan Iparnya dari Jabatan Ketua MK, Suhartoyo Gantikan Usman
Menurut Moeldoko, pemerintah sebagai lembaga eksekutif tidak mau mencampuri kewenangan di wilayah yudikatif.
Suhartoyo meminta doa. Jika ke depan MK melakukan kesalahan, ia tak masalah mendapatkan kritikan. Harapannya, kritikan itu bisa digunakan sebagai bahan untuk melakukan evaluasi. Ia lantas menyoroti, apabila MK melakukan kesalahan dan dibiarkan begitu saja, itu bisa menciptakan sesuatu yang fatal.
"Paling tidak saya mohon doanya dari teman-teman pers, kalau memang kami ke depan kami tidak baik tidak apa-apa dikritik berdua, sehingga kami setiap saat bisa melakukan evaluasi," jelas Suhartoyo.
"Jadi jangan dibiarkan, kalau adik-adik semua juga membiarkan sama juga kemudian menjadikan embrio itu menjadi besar dan menjadi fatal," pungkasnya.
Suhartoyo lahir di Sleman, Yogyakarta pada 15 November 1959. Dilansir situs resmi MK, ia menikah dengan Sustyowati dan dikarunai tiga anak.
Suhartoyo mengenyam pendidikan sarjana di Universitas Islam Indonesia (1983), kemudian melanjutkan program magister di Universitas Taruma Negara (2003). Sementara itu, program doktor ia raih di Universitas Jayabaya (2014).
Suhartoyo memulai kariernya sebagai seorang hakim di PN Bandar Lampung pada 1986. Ia terpilih menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya sejak 7 Januari 2015 lalu. Pada 17 Januari 2015, dia mengucap sumpah di hadapan Presiden Jokowi.
Jadi Beban MK
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani mengatakan, putusan MKMK memecat Anwar Usman dari jabatan ketua MK menjadi opium dan obat penawar sesaat atas amarah publik yang kecewa dan marah dengan Putusan 90/PUU-XXI/2023, yang menjadi puncak kejahatan konstitusi (constitutional evil) dan matinya demokrasi di Indonesia.
"Kemarahan publik bukan hanya soal kandidasi Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden Jokowi, yang melaju pesat menjadi calon wakil presiden dengan landasan Putusan 90, tetapi yang utama justru karena peragaan kekuasaan yang merusak hukum dan konstitusi guna mencapai kehendak dan kekuasaan," kata Ismail dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/11/2023).
Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, demokrasi telah menjelma menjadi vetokrasi, dimana sekelompok orang dan kelompok kepentingan yang sangat terbatas.
"Mengorkestrasi Mahkamah Konstitusi untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka mengikuti kandidasi Pilpres dengan memblokir kehendak demokrasi dan konstitusi," kata Ismail.
Menurutnya, fakta bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, secara moral dan politik telah pula menjadi bukti bahwa Putusan 90 bukan diputus demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana irah-irah dalam putusan MK. "Tetapi demi kepentingan memupuk kuasa," katanya.
Secara moral dan politik, putusan 90 kehilangan legitimasi. "Untuk memulihkan marwah mahkamah, SETARA Institute mendesak Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Hakim MK, sehingga tidak lagi membebani mahkamah," katanya. (*)
Ganjar Pranowo Ogah Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Piih Jadi Oposisi |
![]() |
---|
Sandiaga Uno Ogah Berandai-andai Masuk Kabinet Prabowo-Gibran |
![]() |
---|
Alasan MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar, Din Syamsuddin Sebut Ini Bukan Kiamat |
![]() |
---|
Alasan MK Tolak Gugatan Pilpres 2024 Anies-Muhaimin Soal Pencalonan Gibran Hingga Bansos Jokowi |
![]() |
---|
KPU Lombok Timur Terima Gugatan PHPU TPN Ganjar-Mahfud di 6 TPS |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.