3 Dalil Pemohon yang Ditolak MK Dalam Putusan Sistem Pemilu Sehingga Tetap Proporsional Terbuka

Hakim MK mendasarkan pada sejumlah pertimbangan sebelum memutus menolak uji materi UU Pemilu tentang sistem proporsional terbuka

Tangkap layar
Ketua MK Anwar usman membacakan putusan permohonan uji materi sistem Pemilu, Kamis (15/6/2023). Hakim MK mendasarkan pada sejumlah pertimbangan sebelum memutus menolak uji materi UU Pemilu tentang sistem proporsional terbuka. 

TRIBUNLOMBOK.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan menolak permohonan uji materi sistem Pemilu, Kamis (15/6/2023).

Putusan MK menjadikan sistem Pemilu 2024 tetap proporsional terbuka, alih-alih tertutup seperti diajukan dalam gugatan uji materi Pasal 168 ayat 2 Undang-Undang (UU) Pemilu.

"Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar usman, seperti dikutip dari Youtube Mahkamah Konstitusi RI yang dilansir Tribunnews.

Dalam memutus perkara dengan nomor 114-XX/PUU-XX/2022 ini, majelis hakim MK mendasarkan pada sejumlah pertimbangan.

Pertama, dalil penggugat yang menyebut Pemilu dengan sistem proporsional terbuka akan mengancam NKRI dianggap hakim tidak sesuai.

Baca juga: Alasan MK Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup: Tidak Beralasan Menurut Hukum

Menurut hakim, hal tersebut tidak perlu dirisaukan lantaran adanya aturan yang melandasi penyelenggaraan pemilu dengan sistem terbuka, seperti aktor politik yang dilarang untuk memiliki pandangan merusak ideologi negara hingga langkah-langkah teknis seperti aturan pencalonan legislator terpilih jika membahayakan ideologi dan NKRI.

Selain itu, kata hakim, sistem proporsional terbuka dalam pemilu juga dipandang sebagai perbaikan sistem pemilihan umum untuk memperkuat ideologi negara.

"Dengan pengaturan yang bersifat antisipatif tersebut, pilihan sistem pemilihan umum yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang akan dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat mengancam keberadaan sekaligus keberlangsungan ideologi Pancasila dan NKRI," kata hakim.

Kedua, hakim juga menolak dalil penggugat yang menyebut sistem pemilu terbuka semakin membuat maraknya politik uang.

Namun, menurut hakim anggota Saldi Isra, praktik politik uang akan terjadi dalam jenis sistem pemilu apapun.

Sehingga, Saldi pun memberikan solusi yaitu perbaikan komitmen, penegakan hukum yang harus dilaksanakan, dan pemberian pendidikan politik untuk menolak adanya politik uang.

"Sikap inipun sesungguhnya merupakan penegasan Mahkamah, bahwa praktik politik uang tidak dapat dibenarkan sama sekali," tuturnya.

Ketiga, hakim pun menilai dalil-dalil yang dituliskan penggugat bukan menjadi landasan untuk mengubah sistem pemilu.

Namun, penyelenggaraan pemilu perlu adanya perbaikan di beberapa aspek lain seperti sistem kepartaian hingga kaderisasi.

"Menurut Mahkamah, perbaikan dan penyelenggaraan pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi serta mengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik, hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik," kata hakim Saldi Isra.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved