Opini
Ketika Batas Religi Meleleh
Area yang setiap hari Sabtu menjadi car free day berubah menjadi lapangan pesta pora. Penjor hias memenuhi ruas jalan El Tari.
Esei tentang Nyepi di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur
Oleh JB Kleden *
Ketika batas-batas religi meleleh kita akan menemukan keindahan hidup beragama, bahwa agama sejatinya adalah sumber ketenangan dan kegembiraan.
TRIBUNLOMBOK.COM - Selasa 21 Maret 2022. Hari sedang merangkak ke titik kulminasinya. Mega-mega mendung mulai menyelimuti kota pertanda akan segera datang hujan lebat. Tapi itu tak memuramkan suasana Tilem Kasanga di kota karang, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Baca juga: Melihat Persiapan Pawai Ogoh-ogoh di Pulau Seribu Masjid
Gending sanding terdengar bersahutan di langit kota. Bukan suara gamelan istana, itu gamelan umat, sekehe gong dan bleganjur mengiringi langkah-langkah yang bergegas riang menyambut Nyepi Tahun Caka 1945 di Kota Kupang.
Sejak pkl 10.00 Wita umat Hindu se-Kota Kupang sudah mulai berdatangan ke catus pata (perempatan) Kantor Gubernur NTT di tengah kota. Ogoh-ogoh dan gebogan ibu-ibu Banjar Dharma Agung Kupang mulai dipajang.

Perempatan yang selalu padat dengan kendaraan itu perlahan disemuti manusia. Orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru kota ingin menyaksikan upacara Taur Agung Kesanga dan Pawai Ogoh-Ogoh.
Mega-mega mendung yang sedari tadi bergelayut di langit kota seperti tak sudi menjatuhkan butiran-butiran hujan. Ia justeru seperti bentangan tangan-tangan Dewi Durga memayungi para pemujanya.
Area yang setiap hari Sabtu menjadi car free day berubah menjadi lapangan pesta pora. Penjor hias memenuhi ruas jalan El Tari.
Acara keagamaan di penghujung tahun Caka 1945 ini nampaknya bukan lagi hanya kesibukan umat Hindu.
Umat Islam, Kristen, Katolik, Budha, berbaur jadi satu. Tidak ada kami dan kamu, kita dan mereka. Aneka aroma keringat menyatu dengan wewangian kemenyan khas peribadatan Hindu.
Semua kaum nampak bersuka. Ia menjadi hari yang meluap, menerobosi dan mengatasi sekat-sekat kemajemukan masyarakat. Hikmat dan sukacitanya menyentuh semua orang dan yang setia kawannya meluap kepada sesama.
Di tengah kegembiraan ini, hidup tak lagi bersandiwara. Saya melihat seorang wanita muslim dengan sumringah menyodorkan jumbai jilbabnya menghapus keringat di kepala seorang bayi yang sedang menyusu dalam dekapan ibunya.
Ibu sang bayi menatap perempuan itu dengan penuh sukacita, meluapkan semua rasa terima kasih yang ada dalam batinnya.
It was really a truly amazing. Saya jatuh hati pada perempuan-perempuan ini. Mengasihi adalah sebuah laku sederhana. Dan kata tak selalu mampu mengungkapkannya secara sempurna seperti dikatakan W.H.Auden, “Each language pours its vain, competitive excuse.”
Masnun Tahir: Antara UIN Mataram dan NU NTB |
![]() |
---|
Merawat Kebersamaan Tanpa Unjuk Rasa, MotoGP Wajah Indonesia dari NTB untuk Dunia |
![]() |
---|
Hultah NWDI: Warisan Spiritualitas dan Kebersamaan |
![]() |
---|
Refleksi Pelantikan PW NU NTB: Mengikat Ukhuwah, Menata Masa Depan |
![]() |
---|
Menggelitik, Komunikasi Publik Pejabat di Republik dan Posisi Keilmuan Komunikasi yang Pelik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.