Opini

Ketika Batas Religi Meleleh

Area yang setiap hari Sabtu menjadi car free day berubah menjadi lapangan pesta pora. Penjor hias memenuhi ruas jalan El Tari.

|
Editor: Dion DB Putra
Ketika Batas Religi Meleleh - Siswa-siswi-Bali.jpg
FOTO KIRIMAN JB KLEDEN
Siswa siswi para penari Memanah Daya Sakral Ke Tengah Kehidupan Bumi.
Ketika Batas Religi Meleleh - Tawur-Kasanga.jpg
FOTO KIRIMAN JB KLEDEN
Pandita Ida Rsi Agung Nanda Wijaya Kusuma Manuaba didampingi Pandita Istri Manuaba memimpin upacara Tawur Kasanga di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Ketika Batas Religi Meleleh - Gebongan.jpg
FOTO KIRIMAN JB KLEDEN
Gebogan ibu-ibu Banjar Dharma Agung Kupang berisi buah dan pangan lokal. Perpaduan seni keagamaan Hindu dan budaya lokal.
Ketika Batas Religi Meleleh - Ogoh-ogoh-Kupang.jpg
FOTO KIRIMAN JB KLEDEN
Ogoh-Ogoh sebagai perlambang.
Ketika Batas Religi Meleleh - Seusai-pawai-Ogoh-ogoh.jpg
FOTO KIRIMAN JB KLEDEN
Suasana seusai Pawai Ogoh-Ogoh menuju Nyepi di Kota Kupang.
Ketika Batas Religi Meleleh - Semangkuk-bakso-Kupang.jpg
FOTO KIRIMAN JB KLEDEN
Menikmati semangkok bakso dari Ayu.
Ketika Batas Religi Meleleh - Lihat-hilal-Kupang.jpg
FOTO KIRIMAN JB KLEDEN
Rukyatul Hilal oleh Tim IT Rukyatul Hilal Kanwil Kemenag NTT dan Tim BMKG NTT di rooftop Stasiun Geofisika Kupang. Marhaban ya Ramadhan.

Esei tentang Nyepi di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur

Oleh JB Kleden *

Ketika batas-batas religi meleleh kita akan menemukan keindahan hidup beragama, bahwa agama sejatinya adalah sumber ketenangan dan kegembiraan.

TRIBUNLOMBOK.COM - Selasa 21 Maret 2022. Hari sedang merangkak ke titik kulminasinya. Mega-mega mendung mulai menyelimuti kota pertanda akan segera datang hujan lebat. Tapi itu tak memuramkan suasana Tilem Kasanga di kota karang, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Baca juga: Melihat Persiapan Pawai Ogoh-ogoh di Pulau Seribu Masjid

Gending sanding terdengar bersahutan di langit kota. Bukan suara gamelan istana, itu gamelan umat, sekehe gong dan bleganjur mengiringi langkah-langkah yang bergegas riang menyambut Nyepi Tahun Caka 1945 di Kota Kupang.

Sejak pkl 10.00 Wita umat Hindu se-Kota Kupang sudah mulai berdatangan ke catus pata (perempatan) Kantor Gubernur NTT di tengah kota. Ogoh-ogoh dan gebogan ibu-ibu Banjar Dharma Agung Kupang mulai dipajang.

Pandita Ida Rsi Agung Nanda Wijaya Kusuma Manuaba didampingi Pandita Istri Manuaba memimpin upacara Tawur Kasanga di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Pandita Ida Rsi Agung Nanda Wijaya Kusuma Manuaba didampingi Pandita Istri Manuaba memimpin upacara Tawur Kasanga di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. (FOTO KIRIMAN JB KLEDEN)

Perempatan yang selalu padat dengan kendaraan itu perlahan disemuti manusia. Orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru kota ingin menyaksikan upacara Taur Agung Kesanga dan Pawai Ogoh-Ogoh.

Mega-mega mendung yang sedari tadi bergelayut di langit kota seperti tak sudi menjatuhkan butiran-butiran hujan. Ia justeru seperti bentangan tangan-tangan Dewi Durga memayungi para pemujanya.

Area yang setiap hari Sabtu menjadi car free day berubah menjadi lapangan pesta pora. Penjor hias memenuhi ruas jalan El Tari.

Acara keagamaan di penghujung tahun Caka 1945 ini nampaknya bukan lagi hanya kesibukan umat Hindu.

Umat Islam, Kristen, Katolik, Budha, berbaur jadi satu. Tidak ada kami dan kamu, kita dan mereka. Aneka aroma keringat menyatu dengan wewangian kemenyan khas peribadatan Hindu.

Semua kaum nampak bersuka. Ia menjadi hari yang meluap, menerobosi dan mengatasi sekat-sekat kemajemukan masyarakat. Hikmat dan sukacitanya menyentuh semua orang dan yang setia kawannya meluap kepada sesama.

Di tengah kegembiraan ini, hidup tak lagi bersandiwara. Saya melihat seorang wanita muslim dengan sumringah menyodorkan jumbai jilbabnya menghapus keringat di kepala seorang bayi yang sedang menyusu dalam dekapan ibunya.

Ibu sang bayi menatap perempuan itu dengan penuh sukacita, meluapkan semua rasa terima kasih yang ada dalam batinnya.

It was really a truly amazing. Saya jatuh hati pada perempuan-perempuan ini. Mengasihi adalah sebuah laku sederhana. Dan kata tak selalu mampu mengungkapkannya secara sempurna seperti dikatakan W.H.Auden, “Each language pours its vain, competitive excuse.”

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved