Opini
Ketika Batas Religi Meleleh
Area yang setiap hari Sabtu menjadi car free day berubah menjadi lapangan pesta pora. Penjor hias memenuhi ruas jalan El Tari.
Sementara itu, Plt Wali Kota Kupang George Hadjoh mengatakan akan memasukkan ritual Taur Agung Kesanga dan pawai ogoh-ogoh sebagai agenda tetap Pemkot Kupang.
George berharap umat Hindu tetap melaksanakan prosesi ogoh-ogoh setiap tahunnya di Kota Kupang.
Saat gong ditabuhkan, dan kaki pembawa ogoh-ogoh dihentakkan, langit bagai berdetak. Ritual keagamaan Hindu memang selalu riuh dan meriah.
Lenggak lenggok tarian, wangi sesajen, asap dupa dan irama gong panca gita memunculkan vibrasi kesucian, membuat perempatan kantor gubernur NTT seperti diliputi suasana sakral. Dan karena itu mungkin semua orang merasa ditulari.
Sebuah simbol keagamaan tidak hanya menjadi sarana pemujaan. Ia juga berbicara tentang sesuatu. Sesuatu yang tidak mau atau tidak dapat dilihat.
Daya pikat Ogoh-Ogoh bukan lantaran tampilan dan penggambarannya yang begitu seram, tetapi seperti dikatakan Santayana: The poetry of it help mens to bear the prose of life.
Pawai Ogoh-Ogoh secara sadar mengangkat sesuatu yang sengaja disembunyikan selama ini, yakni berbagai sifak keburukan ke permukaan kesadaran agar kita belajar daripadanya dan menjadi lebih manusiawi.
Ogoh-Ogoh Kumba Karna Pralaya, misalnya, berwarta keksatriaan yang diagungkan manusia, bisa salah, bisa benar.
Alengka boleh meluhurkan keksatriaan Kumba Karna, tetapi dewa-dewa tak mengukur dari kebesaran itu. Dewa-dewa mengukur dari jiwa, yakni kepastian dan kemurnian dalam mengambil keputusan.
Keraguan Kumba Karna dalam mengambil keputusan membela Alengka (karena itu berarti memihak Rahwana), menunjukkan ia sebenarnya tahu masih ada yang lebih benar, yang lebih luhur, atau setidak-tidaknya dia tahu apa yang ternyata dijalankannya adalah keliru.
Demikian juga Ogoh-ogoh Bawi Srenggi, Bawi Celeng, Ogoh-Ogoh anak-anak sang Celuluk, semuanya mengingatkan manusia agar jangan pernah membiarkan hidup dikuasai oleh berbagai sifat egois.
Karena sifat yang mementingkan diri sendiri menjadi hambatan langkah-langkah kemajuan dan akan membawa manusia ke pintu gerbang kehancuran.
Jika di hari-hari ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, rasa toleransi menipis, kamejemukan yang dulu merupakan harta, kini kadang kala menjadi mala, pawai Ogoh-Ogoh seperti suara yang bersaksi dari dalam tragedi memberi harapan: Republik ini belum akan berakhir, jika setiap kita sebagai manusia mampu mengendalikan sifat iri hati yang negatif.
Nyepi : Ritual di Antara Festival
Malam perlahan turun ke atas bukit karang. Senja telah benar-benar lenyap ketika pawai Ogoh-Ogoh berakhir. Hari sudah pukul 19.30 Wita.
Pengayah dari masing0masing Tempekan mulai memusnahkan ogoh-ogohpun. Kepuasan menjalar di hati umat. Mereka seperti merasakan ketenangan arus telaga. Bersama keheningan nafas malam, mereka kembali ke rumah.

Yang profan telah dipatahkan, yang kodian telah dihentikan dan umat Hindu dengan semangat yang khusuk memasuki suatu waktu yang kudus dan daerah yang sakral: Hari Suci Nyepi Tahun Caka 1945.
Saat ngedes lemah (matahari terbit) dengan hati penuh bhakti umat Hindu meninggalkan aktifitas duniawi dan dalam keheningan melakukan penyucian diri dengan tapa brata amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), amati geni (tidak menyalahkan api) dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang).
Bumi pun sunyi, tenggelam dalam telaga lena.
Nyepi adalah saat di mana waktu sakral masuk ke tengah waktu profan. Jika waktu profan adalah perubahan. Waktu sakral adalah ketakberubahan yang eksemplaris.
Nyepi menghadirkan keabadian yang sempurna dan kesempuraan yang abadi. Pada titik inilah umat Hindu bersimpuh: Om Santi Santi Santi Om… Ketakberdayaan manusia adalah rahmat.
Betatapun demikian dalam moderinitas dan globalisasi dunia, Nyepi tak selalu bisa menghindar dan terseret ke dalam arus profanisasi. Saya pernah berada di Bali saat Nyepi tahun 2018.
Di Bali Tapa Brata itu sungguh dirasakan secara kolektif. Tidak ada manusia, juga tak ada satu setan dua binatang pun yang lalu lalang. Listrik dipadamkan secara total.
Bandara ditutup. Pantai yang selalu ramai menjadi kosong tanpa penghuni. Pulau Dewata tenggelam dalam sunyi.
Tahun 2023 ini saya mengikuti seluruh rangkaian upacara Nyepi di Kota Kupang mulai dari malasti hingga dharma santi (dalam kapasitas sebagai Kepala Kantor Agama Kota Kupang). Suasana terasa sungguh berbeda.
Kalau di Bali suasana Nyepi diciptakan secara kolektif, di Kupang umat Hindu yang merayakan Nyepi, “sepi sendiri” di tengah hingar-bingar dan hiruk-pikuk umat beragama lainnya.
Tapi paradoks Nyepi justeru terletak di situ juga. Kalau kata kunci Nyepi adalah sepi, hening, sunyi agar manusia sadar akan jati dirinya (matutur ikang atma ri jatinya), maka kesadaran ini musti juga dicari dan ditemukan di tengah hingar bingarnya modernitas dunia.
Bahkan kesehajaan dan kekudusan nyepi pun tersembunyi dari perasaan, kesadaran dan barangkali hati umat Hindu sendiri. Tanpa kesadaran ini bukan tidak mungkin perayaan Nyepi akan kehilangan nilai-nilainya yang pokok, yang tinggal hanya ritual dan festival saja.
Semangkuk Bakso dari Gusti Ayu Gita Wiryaningsih
23 Maret 2023. Matahari pagi sedang mencium bukit-bukit karang Kota Kupang yang menghampar hijau sepanjang musim hujan. Bahtara Surya pun seperti ingin menyaksikan kegembiraan umatnya.
Perlahan ia menyibakkan mega-mega mendung, kejernihan cahaya matanya menembus awan-awan kelam. Sinar putih kuning keemasan menjadi benang-benang alam, lembut menyulamkan keindahan ngambek geni (selesainya catur brata panyepian).

Masyarakat Kota Kupang bersama dengan umat Hindu bergegas keluar rumah, menjumpai sesamanya melakukan upaksama (saling maaf memaafkan) baik antar anggota keluarga maupun masyarakat lainnya.
Tiada dendam dan permusuhan. Langit penuh sukacita. Inilah suatu perbuatan yang sungguh membebaskan. Beban hidup terberat adalah memohon maaf atas kesalahan kepada orang lain karena terjadi pergulatan dengan gengsi dan kecongkakan.
Ngambek Geni dan Dharma Santi, dengan demikian, setiap kali meghadirkan kesempatan di mana kita bisa minta maaf dan memberi maaf tanpa implikasi kehilangan muka.
Tidak berlebihan jika dikatakan Ngambek Geni dan Dharma Santi adalah mahligai yang memahkotai kesuksesan tapa brata Nyepi dalam mewujudkan falsafah hidup Sanatkana Dharma.
Saya mendapatkan semangkok penuh bakso ikan dan ayam dari Gusti Ayu Gita Wiryaningsih, putri Penyelenggara Hindu Kantor Kementerian Agama Kota Kupang.
“Ayo Bapak dihabiskan, ini pemberian mewakili seluruh umat Hindu,” katanya. Terasa benarlah betapa sia-sia perseteruan antar umat, pertikaian antar agama, karena semuanya hanya berakhir dengan kesia-siaan belaka.
Marhaban ya Ramadhan
Momentum peringatan hari Suci Nyepi tahun Caka 19945 ini terasa istimewa karena beriringan dengan datangnya Bulan Suci Rahmadhan 1444 H.
Sidang Isbat Kementerian Agama RI menetapkan puasa Ramadhan dimulai Kamis Pon (23/3/2023). Meski datangnya bulan Suci Ramadhan bagi umat Islam ada tradisi tarhib Ramadhan yang berbeda ekspresi dengan Nyepi, karena tarhib Ramadhan mensyaratkan tradisi syiar (ramai), umat Islam di Kota Kupang menunjukkan sikap yang toleran.

Tanpa mengusik kekhusukan umat Hindu yang merayakan Nyepi, umat Islam menyambut bulan Suci Ramadhan dengan rasa gembira penuh syukur dalam kesyahduan tanpa gegap gempita yang meluap membahana.
Saya pun berkeyakinan dalam hening sepinya Umat Hindu menyampaikan Selamat Berpuasa kepada Umat Islam.
Sungguh mengharukan. Satu iman banyak kepercayaan. Masing-masing tradisi iman menyadari tantangan dan perbedaan bukan ancaman, tetapi bagian revelatoris dari kebenaran Allah Yang Akbar, Yang Akbar, Yang Magna Majestate.
Dengan penuh syukur masing-masing mengungkapkan iman kepada Allah yang satu dengan cara yang berbeda dalam suasana kebebasan beragama. Karena sesungguhnya misi Allah dalam agama-agama adalah urusan cinta kasih lebih daripada urusan kebenaran.
“Betapapun besarnya retakan dalam jagat raya,
tak akan mampu melawan cinta kasih
Betapapun perihnya luka di bumi
Allah sembuhkan dalam sehari” – Tertanda, Aminah.
Aminah puteri KH Ali bin Ahmed (delegasi Islam dari Mesir) mengirimkan frasa indah itu dengan seikat kembang kepada Rabi David Halevi (delegasi Yahudi dari Israel) usai “Debat Agama” seperti yang dikisahkan Shafique Keshavjee.
Saling pengertian yang mendalam ini membuat kita mengalami rasa bahagia yang lebih sejuk daripada fajar. Karena sesungguhnya ‘katong samua basodara’. Selamat Merayakan Hari Raya Nyepi Tahun Caka 1945 dan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1444 H. (*)
* JB Kleden, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Masnun Tahir: Antara UIN Mataram dan NU NTB |
![]() |
---|
Merawat Kebersamaan Tanpa Unjuk Rasa, MotoGP Wajah Indonesia dari NTB untuk Dunia |
![]() |
---|
Hultah NWDI: Warisan Spiritualitas dan Kebersamaan |
![]() |
---|
Refleksi Pelantikan PW NU NTB: Mengikat Ukhuwah, Menata Masa Depan |
![]() |
---|
Menggelitik, Komunikasi Publik Pejabat di Republik dan Posisi Keilmuan Komunikasi yang Pelik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.