Korban Perdagangan Orang di NTB Merasa Diabaikan, Tuntut Perhatian Pemerintah

Para korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Nusa Tenggara Barat (NTB) meminta pemerintah memberikan perhatian lebih.

TribunLombok.com/Sirtupillaili
AR dan Husniah, dua penyintas TPPO asal Lombok, NTB. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK UTARA – Para korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Nusa Tenggara Barat (NTB) meminta pemerintah memberikan perhatian lebih.

Terutama korban-korban yang berjuang di pengadilan untuk mengungkap kasus-kasus TPPO.

Mereka telah menguras waktu, tenaga, dan pikiran selama proses persidangan. Juga membantu aparat mengungkap dan menangkap jaringan pelaku TPPO.

Tapi setelah semua proses hukum selesai. Para korban ini justru merasa dicampakkan negara.

Tidak ada pembinaan atau perhatian sama sekali bagi para penyintas.  

Para korban ini harus memulai lagi dari nol lagi untuk memperbaiki perekonomian keluarga.

AR kini susah payah bekerja sebagai penjual sayur.

Baca juga: Gempa Bumi Tektonik Magnitudo 4,6 Guncang Bima NTB

”Harusnya adalah sedikit perhatian ke kami-kami ini, agar tidak lagi berpikir bekerja ke luar negeri. Minimal dikasi bantuan modal usaha,” harap AR (35), salah seorang penyintas TPPO di Lombok Utara, Senin (22/3/2021).

AR dijual oleh agen pekerja migran ke Damaskus, Suriah tahun 2017 silam. Padahal dia dijanjikan bekerja ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Dengan apa yang dialami, AR mengaku, tidak heran mengapa banyak korban TPPO di NTB enggan memperkarakan kasusnya ke polisi.

AR dan Husniah, dua penyintas TPPO asal Lombok, NTB.
AR dan Husniah, dua penyintas TPPO asal Lombok, NTB. (TribunLombok.com/Sirtupillaili)

Sebab setelah kasus selesai, tidak ada keuntungan secara finansial yang mereka dapatkan.

”Banyak korban perdagangan orang tidak mau memperkarakan karena mereka ingin fokus mencari nafkah,” katanya.  

Selama proses hukum, AR harus bolak balik ke pengadilan, tidak ada waktu mencari nafkah buat keluarga.

Terlebih jarak Pengadilan Negeri (PN) Mataram dengan rumah AR, di kaki Gunung Rinjani tidak dekat.

”Nyawa saya selama proses itu bisa dibilang terancam,” kata AR.

Demi menuntut keadilan dan membantu aparat mengungkap kasus TPPO, dia mau menerima semua risiko itu.

Dalam kasus AR, PN Mataram menghukum dua orang pelaku TPPO tahun 2019 silam. Salah satu pelaku masih keluarga suaminya.

Sayangnya, AR kembali ke rumah dengan perasaan hampa.

Tuntutan ganti rugi Rp 100 juta dalam materi gugatan tidak didapatkan.

”Sampai sekarang saya tidak pernah lihat uang Rp 100 juta itu,” keluhnya. 

Setelah semua proses yang melelahkan itu tuntas, dia mendapati kenyataan harus berjuang sendiri membangun ekonomi keluarga.

Tidak hanya itu, peracaan cemas dan was-was masih menyelimuti.

Baca juga: Polda NTB Ungkap 35 Kasus Perdagangan Orang, Korban Kebanyakan Pekerja Migran

Karena pelaku yang dituntut masih keluarganya dan kini sudah bebas.

”Pantas saja banyak (korban TPPO) tidak mau memperkarakan kasusnya kalau begini,” keluhnya.

Sebagai penyintas TPPO, AR berharap pemerintah memberikan perhatian lebih.

”Bantu kami modal usaha agar tidak berpikir ke luar negeri kembali,” katanya.

Hal sama dirasakan Husniah (50), salah satu korban TPPO di Kelurahan Leneng, Kota Praya, Kabupaten Lombok Tengah.

Ia menjadi korban TPPO ke Arbil, Irak. Padahal dia dijanjikan bekerja ke Arab Saudi.  

Husniah pun mengeluhkan hal yang sama dengan AR.

Bagi mereka, bolak balik ke persidangan dan mengikuti semua proses hukum bukan perkara mudah.

”Harus bayar ongkos ojek dan lain-lain, sementara buat makan pun susah,” katanya.  

Mereka meninggalkan keluarga dengan perasaan cemas akan keselamatannya.

Baca juga: Koalisi Anti Kekerasan Seksual Minta Kapolri Atensi Kasus Pencabulan Anak Kandung di NTB

Di samping itu, mereka banyak kehilangan waktu sehingga tidak ada penghasilan.

”Dulu saya dikasi tahu bahwa setelah sidang uang (ganti rugi) akan langsung dikasi. Tapi sampai sekarang tidak ada,” katanya.  

Husniah pun kini bekerja sebagai pemulung.

Dia bekerja keras mengihidupi anak semata wayangnya di rumah kontrakan sempit di Kota Praya.

Setengah menyesal, Husniah menceritakan, sebelum proses persidangan keluarga tekong yang digugat datang menyodorkan uang untuk damai.

Kala itu, dia sempat ingin mengambil, namun dicegah tim pendamping. Sehingga tidak jadi diambil dan proses gugatan tetap berlanjut.

”Tapi saya tidak tahu kok persidangan sudah selesai, dan uang ganti rugi tidak saya teria sepeser pun,” katanya.

Husniah pun hanya bisa pasrah dan berusaha menjalani hidupnya sebagai pemulung.

Dia pun berharap sama dengan AR, pemerintah memberikan perhatian lebih agar mereka bisa memperbaiki ekonomi keluarganya.

Sehingga tidak berpikir lagi bekerja ke luar negeri sebagai buruh migran.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved