Opini

Dari Dana Mbojo ke Karet Bivak: Jejak Kesetiaan Sultan Muhammad Salahuddin pada Republik Indonesia

Penguasa agung Kesultanan Bima, pemimpin alim dan berjiwa negarawan itu menutup hayatnya jauh dari istana Dana Mbojo

Dok.Istimewa
Dr H Ahsanul Khalik. Penulis saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Gubernur Provinsi NTB Bidang Sosial. 

Keputusan itu menjadi simbol sejarah: Sultan dimakamkan di jantung republik yang ia bela, bukan di istananya sendiri.

Negara memberi penghormatan dengan menetapkan makamnya sebagai situs bebas pajak selamanya. Pusara itu kini berdiri sederhana dengan nisan putih tanpa kemegahan, namun penuh wibawa dan do'a.

Setiap tahun, masyarakat Bima, Sumbawa, dan diaspora NTB datang berziarah. Mereka datang bukan untuk menangis, melainkan untuk meneguhkan kembali makna pengabdian. Di bawah rimbun pohon Karet Bivak, mereka mengenang Sultan yang mengajarkan bahwa kesetiaan bukan soal tempat berpijak, melainkan nilai yang dijaga hingga akhir hayat.

Cahaya dari Timur

Tujuh dekade setelah beliau berpulang, cahaya dari Timur itu kembali bersinar terang. Penetapan Sultan Muhammad Salahuddin XIV sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia adalah bentuk keadilan sejarah sekaligus pengakuan negara terhadap integritas moral seorang pemimpin yang memilih jalan kebijaksanaan di tengah badai politik.

“Cahaya dari Timur” bukan sekedar metafora bagi sosok Sultan, tetapi gambaran tentang makna kesetiaan yang lahir dari keimanan dan akal sehat. Ia menunjukkan bahwa loyalitas kepada negara bukan berarti tunduk pada kekuasaan, melainkan kesetiaan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan dan keadilan.

Sultan mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan tentang menguasai rakyat, tetapi tentang menjadi pelindung bagi mereka. Bahwa dalam setiap zaman, seorang pemimpin harus berani menempuh jalan sunyi demi menjaga keutuhan bangsanya.

Ia tidak mengangkat senjata, tetapi menegakkan pena dan do'a, tidak menaklukkan wilayah, tetapi menaklukkan keserakahan dan kebodohan.

Dan di situlah letak kemuliaannya: Sultan Muhammad Salahuddin XIV tidak berperang dengan pedang, tetapi dengan kesabaran. Tidak meninggalkan monumen besar, tetapi meninggalkan warisan moral dan intelektual yang abadi.

Kini, di bawah langit Jakarta yang sibuk, makam beliau di Karet Bivak berdiri sebagai prasasti kesetiaan, bukan sekedar tanda peristirahatan.
Dari sana, cahaya Dana Mbojo seolah memancar ke seluruh penjuru Nusantara, mengingatkan bangsa ini bahwa pengabdian yang tulus tidak memerlukan panggung, sebab sejarah akan selalu berpihak kepada mereka yang jujur dan ikhlas dalam berjuang.

“Berkuasalah dengan ilmu, pimpinlah dengan kasih, dan cintailah tanah air dengan segenap keikhlasan.”

Dari Dana Mbojo hingga Karet Bivak, dari istana yang sunyi hingga pusara yang sederhana, jejak kesetiaan Sultan Muhammad Salahuddin XIV akan tetap menyala, menjadi cahaya bagi bangsa yang terus mencari arti kemuliaan dalam pengabdian.

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved