Opini
Kecimol dan Kesasakan Kita: Menemukan Cermin Akhlak dan Budaya
Kecimol lahir sebagai musik rakyat, pembawa semangat gotong royong, penanda kegembiraan dalam acara masyarakat Sasak, dan perekat sosial masyarakat
Budaya, sebagaimana diuraikan para antropolog, merupakan hasil budi dan daya manusia yang senantiasa berkembang. Kecimol adalah wujud dari daya cipta masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan zaman tanpa melepaskan akar. Maka, menolak Kecimol berarti menolak bukti hidup bahwa orang Sasak mampu berkreasi di antara tradisi dan modernitas.
Budaya yang Berubah, Nilai yang Tak Boleh Hilang
Orang Sasak memiliki falsafah hidup yang halus dan penuh adab:
“Aji krame, malu, dan sopan adalah pakaian orang Sasak.”
Nilai ini menjadi batas antara seni dan syahwat, antara ekspresi dan kesopanan. Kecimol boleh berubah dalam bentuk, namun tidak boleh kehilangan ruhnya: menghormati, menggembirakan, dan memperindah kehidupan.
Kita boleh menerima alat musik modern, tetapi tidak boleh menanggalkan etika. Kita boleh bergembira, tetapi tidak boleh menelanjangi kehormatan. Karena sejatinya, seni yang besar bukan hanya menggetarkan telinga, tetapi juga menyentuh nurani.
Yang Dilarang Bukan Kecimolnya, Tetapi Perilakunya
Ketika keresahan masyarakat muncul, yang perlu dilakukan bukanlah melarang Kecimol secara menyeluruh, melainkan menertibkan perilaku dan tata cara pementasannya.
Larangan harus diarahkan pada joget anco-anco yang berlebihan, bukan pada alat musiknya.
Pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh adat, dan pelaku seni perlu duduk satu meja, menulis pedoman bersama, bukan untuk membungkam seni, tetapi untuk memuliakannya.
Pedoman itu dapat mencakup:
- Batas gerak tari dan etika panggung yang sesuai dengan nilai Sasak.
- Pembagian peran antara musisi, penonton, dan panitia acara.
- Pembinaan dan pelatihan bagi grup Kecimol agar memahami nilai budaya dan moral.
- Pelibatan tokoh agama dan budaya dalam izin pertunjukan untuk memastikan keselarasan dengan norma lokal.
Dengan begitu, pelarangan tidak lagi menjadi vonis, tetapi menjadi bimbingan moral agar seni kembali ke jalan yang bermartabat.
Kecimol dan Cermin Kesasakan Kita
Kecimol bukan sekedar seni musik. Ia seharusnya adalah cermin Kesasakan Kita, cermin yang memperlihatkan siapa kita, seberapa dalam kita memahami akhlak, dan seberapa kuat kita menjaga budaya.
Dalam irama Kecimol, ada tawa, ada do'a, ada semangat, dan ada kejujuran rakyat. Tetapi jika kita biarkan cermin itu berdebu oleh perilaku tak beradab, maka yang tampak bukan lagi keindahan, melainkan kabur dan kekosongan.
Maka, mari kita bersihkan cermin itu bersama.
Para seniman, dengan tanggung jawab moralnya.
Pemerintah, dengan kebijakan yang bijak.
Tokoh agama, dengan nasihat yang lembut.
Dan masyarakat, dengan pemahaman yang terbuka.
Karena budaya tidak akan tegak tanpa adab, dan adab tidak akan hidup tanpa budaya.
| Pernikahan Dini: Penyebab Perceraian dan Upaya Mengatasinya dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam |
|
|---|
| 59 Tahun UIN Mataram: Paradoks Unggul dengan Realitas Jalan Gajah Mada |
|
|---|
| Jalan Panjang Menjaga Irama Desa Berdaya NTB |
|
|---|
| Membedah Dana BTT Pada APBD NTB 2025 |
|
|---|
| Kasus Keracunan MBG dan Isu HAM: Menghentikannya Justru Bisa Melanggar Hak Dasar Anak Miskin |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.