Opini

Kecimol dan Kesasakan Kita: Menemukan Cermin Akhlak dan Budaya

Kecimol lahir sebagai musik rakyat, pembawa semangat gotong royong, penanda kegembiraan dalam acara masyarakat Sasak, dan perekat sosial masyarakat

TRIBUNLOMBOK.COM/ROBBY FIRMANSYAH
Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial & Kemasyarakatan Ahsanul Khalik. Kecimol lahir sebagai musik rakyat, pembawa semangat gotong royong, penanda kegembiraan dalam acara masyarakat Sasak, dan perekat sosial masyarakat. 

Budaya, sebagaimana diuraikan para antropolog, merupakan hasil budi dan daya manusia yang senantiasa berkembang. Kecimol adalah wujud dari daya cipta masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan zaman tanpa melepaskan akar. Maka, menolak Kecimol berarti menolak bukti hidup bahwa orang Sasak mampu berkreasi di antara tradisi dan modernitas.

Budaya yang Berubah, Nilai yang Tak Boleh Hilang

Orang Sasak memiliki falsafah hidup yang halus dan penuh adab:

“Aji krame, malu, dan sopan adalah pakaian orang Sasak.”

Nilai ini menjadi batas antara seni dan syahwat, antara ekspresi dan kesopanan. Kecimol boleh berubah dalam bentuk, namun tidak boleh kehilangan ruhnya: menghormati, menggembirakan, dan memperindah kehidupan.

Kita boleh menerima alat musik modern, tetapi tidak boleh menanggalkan etika. Kita boleh bergembira, tetapi tidak boleh menelanjangi kehormatan. Karena sejatinya, seni yang besar bukan hanya menggetarkan telinga, tetapi juga menyentuh nurani.

Yang Dilarang Bukan Kecimolnya, Tetapi Perilakunya

Ketika keresahan masyarakat muncul, yang perlu dilakukan bukanlah melarang Kecimol secara menyeluruh, melainkan menertibkan perilaku dan tata cara pementasannya.
Larangan harus diarahkan pada joget anco-anco yang berlebihan, bukan pada alat musiknya.

Pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh adat, dan pelaku seni perlu duduk satu meja, menulis pedoman bersama, bukan untuk membungkam seni, tetapi untuk memuliakannya.
Pedoman itu dapat mencakup:

- Batas gerak tari dan etika panggung yang sesuai dengan nilai Sasak.

- Pembagian peran antara musisi, penonton, dan panitia acara.

- Pembinaan dan pelatihan bagi grup Kecimol agar memahami nilai budaya dan moral.

- Pelibatan tokoh agama dan budaya dalam izin pertunjukan untuk memastikan keselarasan dengan norma lokal.

Dengan begitu, pelarangan tidak lagi menjadi vonis, tetapi menjadi bimbingan moral agar seni kembali ke jalan yang bermartabat.

Kecimol dan Cermin Kesasakan Kita

Kecimol bukan sekedar seni musik. Ia seharusnya adalah cermin Kesasakan Kita, cermin yang memperlihatkan siapa kita, seberapa dalam kita memahami akhlak, dan seberapa kuat kita menjaga budaya.
Dalam irama Kecimol, ada tawa, ada do'a, ada semangat, dan ada kejujuran rakyat. Tetapi jika kita biarkan cermin itu berdebu oleh perilaku tak beradab, maka yang tampak bukan lagi keindahan, melainkan kabur dan kekosongan.

Maka, mari kita bersihkan cermin itu bersama.
Para seniman, dengan tanggung jawab moralnya.
Pemerintah, dengan kebijakan yang bijak.
Tokoh agama, dengan nasihat yang lembut.
Dan masyarakat, dengan pemahaman yang terbuka.

Karena budaya tidak akan tegak tanpa adab, dan adab tidak akan hidup tanpa budaya.

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Homo Lombokensis: Arah Baru Lombok

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved