Opini
Kasus Keracunan MBG dan Isu HAM: Menghentikannya Justru Bisa Melanggar Hak Dasar Anak Miskin
Program MBG hadir untuk melindungi jutaan anak dari malnutrisi dan stunting, sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat kecil
Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik
Staf Ahli Gubernur NTB/Ketua Satgas Makan Bergizi Gratis NTB
Beberapa pekan terakhir, ruang publik kita dipenuhi perbincangan tentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sejumlah kasus keracunan makanan yang terjadi di beberapa daerah menyulut kegelisahan. Ada suara yang lantang menyebut bahwa program ini telah melanggar hak asasi anak. Ada pula yang mendorong agar program dihentikan sementara sampai dianggap benar-benar aman.
Kegelisahan itu wajar. Satu anak yang sakit akibat makanan adalah peringatan serius yang tidak boleh disepelekan. Tak ada orang tua yang rela anaknya menderita hanya karena sebuah program negara yang belum sempurna. Namun, sebelum menyimpulkan bahwa penghentian program adalah solusi, kita perlu menimbang dengan jernih, apakah menutup seluruh dapur MBG benar-benar langkah paling adil? Atau justru keputusan itu akan merampas hak dasar jutaan anak miskin yang kini sangat bergantung pada makanan bergizi dari program ini?
Baca juga: Kenapa BGN Menolak Usulan MBG Diganti dengan Uang Tunai?
Hak Anak atas Gizi yang Layak, Mandat Konstitusi dan Perundang-undangan Indonesia
1. Landasan Konstitusional
Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, konstitusi telah menegaskan komitmen melindungi hak hidup yang layak dan kesehatan bagi setiap anak:
- Pasal 28A UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Maknanya, Negara wajib menjamin setiap anak dapat hidup dan mempertahankan kehidupannya secara layak, termasuk dengan menyediakan akses gizi yang cukup.
- Pasal 28B ayat (2) UUD 1945: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Maknanya, Pemenuhan gizi yang cukup adalah syarat utama agar anak dapat tumbuh dan berkembang optimal secara fisik, mental, dan intelektual serta tidak terdiskriminasi akibat kemiskinan atau keterbatasan akses pangan.
- Pasal 28H ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Maknanya, Hak atas kesehatan mencakup pemenuhan kebutuhan dasar yang menunjang status kesehatan anak, termasuk akses terhadap makanan yang aman, bergizi, dan mencukupi.
- Pasal 34 ayat (1) UUD 1945: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
Maknanya, Negara tidak boleh membiarkan anak-anak miskin kelaparan atau kekurangan gizi. Pemenuhan gizi yang layak adalah bagian integral dari kewajiban negara memelihara kelompok paling rentan.
2. Landasan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999)
Perlindungan hak anak juga ditegaskan dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia:
- Pasal 52 ayat (1): “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.” Pasal 52 ayat (2): “Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui serta dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.”
Maknanya, Negara memiliki kewajiban melindungi anak sejak dalam kandungan, termasuk menjamin hak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Kegagalan negara dalam menjamin gizi anak, karena kelemahan teknis atau kebijakan yang tidak tepat merupakan bentuk pengabaian hak asasi anak.
- Pasal 53 ayat (1): “Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.”
Maknanya, Hak hidup anak menuntut adanya jaminan gizi yang cukup agar kelangsungan hidup dan peningkatan kualitas kehidupannya dapat terwujud.
- Pasal 62: “Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, dan spiritualnya.”
Maknanya, Pemenuhan gizi anak merupakan bagian dari pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang wajib disediakan negara. Negara tidak hanya wajib memberi akses fasilitas kesehatan, tetapi juga memastikan anak memperoleh gizi yang memadai untuk tumbuh kembang yang optimal.
3. Landasan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014)
Undang-Undang Perlindungan Anak, yang memperbarui UU No. 23 Tahun 2002, memberikan mandat yang lebih operasional:
- Pasal 44 ayat (1): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.”
Maknanya, Pemenuhan gizi yang cukup adalah bagian penting dari upaya menjaga kesehatan anak sejak masa kehamilan hingga setelah lahir.
- Pasal 45 ayat (1): “Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan Anak dan merawat Anak sejak dalam kandungan.” Dan Pasal 45 ayat (2): “Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhinya.”
Maknanya, Jika keluarga, khususnya yang miskin atau rentan, tidak mampu menyediakan makanan bergizi dan layanan kesehatan yang dibutuhkan anak, maka negara wajib hadir untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut melalui program bantuan gizi dan dukungan kesehatan.

Dari ketentuan konstitusi dan perundang-undangan di atas, dapat disimpulkan :
1. Hak hidup dan tumbuh kembang anak bersifat konstitusional dan asasi, artinya Pemenuhan gizi adalah bagian tak terpisahkan dari hak hidup dan hak untuk berkembang secara optimal sebagaimana dijamin UUD 1945.
2. Negara memikul kewajiban positif, artinya Negara tidak boleh bersikap pasif. Ia wajib mengambil langkah nyata, menyusun kebijakan pangan dan gizi yang merata, menyediakan layanan kesehatan ibu-anak, serta menjamin akses pangan bergizi bagi keluarga miskin.
3. Orang tua dan keluarga adalah penanggung jawab pertama, negara adalah penanggung jawab terakhir. Prinsip subsidiarity berlaku, keluarga berperan utama, tetapi negara wajib turun tangan ketika keluarga tidak mampu memenuhi hak dasar anak.
4. Kegagalan memenuhi hak gizi anak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Karena hak anak diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia, kelalaian negara dalam menjamin gizi dapat ditafsirkan sebagai pengabaian kewajiban konstitusional.
Berdasarkan kerangka hukum ini, pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan:
- Kebijakan gizi anak yang berkelanjutan dan berbasis hak. Termasuk pencegahan stunting, penyediaan pangan bergizi di daerah rawan, dan intervensi sejak masa kehamilan.
- Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif. Layanan gizi, imunisasi, pemantauan tumbuh kembang, dan edukasi gizi keluarga harus tersedia dan mudah diakses.
- Jaminan sosial yang responsif terhadap kerentanan gizi. Misalnya bantuan pangan bergizi, subsidi susu dan vitamin, serta dukungan khusus bagi keluarga miskin dan anak rentan gizi buruk.
- Penyederhanaan birokrasi bantuan gizi. Negara tidak boleh membiarkan hambatan administratif menghalangi hak anak untuk memperoleh gizi yang layak.
Pemenuhan gizi anak bukan semata persoalan kesehatan, melainkan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD NRI 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Negara memiliki kewajiban konstitusional dan hukum untuk memastikan setiap anak terutama yang miskin dan rentan memperoleh gizi yang cukup sejak dalam kandungan. Mengabaikan hak ini dapat dipandang sebagai kegagalan negara memenuhi janji konstitusional untuk melindungi kehidupan dan masa depan anak-anak bangsa.
MBG Bukan Sekedar Makan Gratis, Tapi Inilah Bentuk Kehadiran Negara
Program MBG hadir untuk melindungi jutaan anak dari malnutrisi dan stunting, sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat kecil.
Lihatlah Nusa Tenggara Barat (NTB), provinsi kecil di timur Indonesia. Hingga September 2025:
- Dari potensi 1,85 juta penerima manfaat, sudah hampir 1 juta jiwa (986.670) yang menerima makanan bergizi setiap hari.
- Ada 311 dapur (SPPG) beroperasi, dikelola oleh yayasan, pondok pesantren, UMKM, koperasi, hingga usaha keluarga.
- 13 ribu lebih tenaga kerja lokal terserap — dari juru masak, pengemudi, petugas kebersihan, ahli gizi, hingga akuntan.
- Ratusan UMKM, koperasi, petani, nelayan, dan BUMDes ikut bergerak karena bahan pangan mereka dibeli untuk program ini.
Di sekolah-sekolah pelosok, anak-anak menyambut mobil pengantar MBG dengan tawa riang. Piring nasi bergizi yang mereka terima adalah tanda bahwa negara hadir, bahkan di tempat yang jauh dari pusat kota. Ini bukan hanya soal makan gratis — ini tentang keadilan sosial dan pengakuan bahwa anak-anak miskin pun berhak makan sehat setiap hari.
Keracunan, Alarm untuk Memperbaiki, Bukan Alasan Menghentikan
Kita tak menutup mata, ada dapur yang salah merencanakan kapasitas, ada yang lalai menjaga kebersihan, ada rantai pendingin yang putus. Setiap insiden keracunan adalah alarm keras yang harus ditangani serius.
Tetapi apakah rumah besar yang dibangun untuk menampung jutaan anak miskin harus dirobohkan hanya karena satu genteng bocor?
Di NTB, setiap kali ada masalah, BGN dan Pemerintah Daerah bergerak cepat. Jika kendalanya distribusi, maka diperintahkan perbaikan segera. Jika persoalannya pada bahan pangan atau proses masak, dapur dihentikan 2–3 hari untuk dibenahi total, pekerja dilatih ulang, peralatan disterilkan, rantai pasok diverifikasi ulang. Bila ditemukan kelalaian berat atau kesengajaan, direkomendasikan penutupan dapur ke Badan Gizi Nasional (BGN).
Kami juga memperkuat standar Laik Higiene Sanitasi untuk semua dapur, memperbanyak inspeksi mendadak, serta melibatkan Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Perangkat Daerah Terkait dan masyarakat dalam pengawasan.
Inilah cara yang bijak, memperbaiki yang salah tanpa memutus hak anak yang telah berjalan.
Menghentikan MBG Justru Bisa Melanggar Hak Asasi Anak
Sebagian pihak mengatakan, “MBG melanggar HAM karena ada anak yang keracunan.” Kita tentu harus mendengar kegelisahan itu. Namun mari melihat lebih luas, bukankah justru menghentikan MBG berarti merampas hak dasar jutaan anak miskin untuk makan bergizi?
Hak atas gizi adalah bagian dari hak untuk hidup dan tumbuh sehat. Prinsip HAM internasional mengenal non-derogable rights - hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun. Negara boleh memperbaiki cara pemberian hak itu, tetapi tidak boleh mencabut haknya.
Jika MBG dihentikan, jutaan anak, banyak di antaranya dari keluarga miskin akan kembali ke perut kosong, sarapan seadanya, dan risiko stunting yang diam-diam merampas masa depan mereka. Itu justru pelanggaran yang lebih besar.
Solusi terbaik bukan menghentikan, tetapi memperbaiki dan memperkuat sambil tetap memberi makan anak-anak setiap hari.
Beberapa langkah yang dilakukan dan perlu terus dikuatkan antara lain:
- Pengawasan bahan pangan dan proses masak yang ketat, bahan diperiksa mutunya, penyimpanan dijaga, dapur dipisahkan antara mentah dan matang, suhu dimonitor dan dicatat.
- Disiplin waktu distribusi, makanan tidak boleh terlalu lama sebelum dimakan; sekolah wajib menyajikan segera.
- Rantai pasok yang transparan, pemasok resmi harus terdaftar, yang melanggar diblacklist.
- Sampel makanan disimpan setiap hari, jika ada keluhan, penyebab dapat cepat dilacak.
- Pelatihan ulang pekerja dapur, juru masak, ahli gizi, kepala dapur harus paham keamanan pangan.
- Respons cepat dan terbuka saat insiden, distribusi batch dihentikan, korban ditangani, penyebab diselidiki, publik diberi penjelasan menenangkan.
- Sertifikasi dan audit kebersihan yang nyata, setiap dapur wajib lulus sertifikasi laik higiene dan diaudit rutin.
- Sanksi tegas namun adil, kelalaian berat atau kesengajaan berujung teguran keras hingga penutupan, namun fokus utamanya tetap melindungi anak sebanyak mungkin.
Dengan cara ini, food tray anak tetap terisi setiap hari, tetapi dengan jaminan keamanan yang lebih baik. Program tidak perlu dihentikan total, cukup hentikan dan benahi titik yang bermasalah.
Seruan dari Daerah untuk Bangsa
NTB hanyalah provinsi kecil, namun hampir satu juta anak, ibu hamil dan ibu menyusui telah merasakan manfaat MBG. Ratusan dapur lokal bergerak, ribuan tenaga kerja terserap, ekonomi rakyat hidup kembali. Jika di daerah kecil saja dampaknya sebesar ini, bagaimana dengan Indonesia yang luas?
Keselamatan anak memang tak bisa ditawar. Tapi hak mereka untuk tetap makan bergizi juga tak boleh dikorbankan. Negara tidak boleh mengambil jalan mudah dengan menghentikan program. Jalan yang lebih sulit tetapi lebih mulia adalah memperbaikinya, dengan keberanian, ketegasan, dan kasih sayang untuk generasi masa depan.
Karena di setiap food tray bergizi yang kita hadirkan hari ini, ada janji konstitusi yang kita tepati, ada hak anak yang kita lindungi, dan ada masa depan Indonesia yang sedang kita bangun bersama.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.