Berita Lombok Timur
Warga Khawatir Dampak Bencana dari Aktivitas Pengerukan Tebing di Sembalun
Pengerukan yang dilakukan di area berdekatan dengan hutan dan perbukitan di Sembalun dikhawatirkan menimbulkan bencana
Penulis: Rozi Anwar | Editor: Wahyu Widiyantoro
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Rozi Anwar
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Pengerukan lahan skala besar di Desa Sembalun Bumbung, Lombok Timur, menuai protes keras dari komunitas lingkungan dan masyarakat setempat.
Pengerukan dikhawatirkan menimbulkan bencana karena lokasinya berada di tebing.
Komunitas Pemerhati Lingkungan Hidup (KPLH-Sembapala) dan Solidaritas Masyarakat Peduli Sembalun (SMPS) menyoroti pengerukan yang diduga dilakukan investor ini, berpotensi besar memicu bencana longsor dan banjir, terutama saat musim hujan.
Anggota Solidaritas Masyarakat Peduli Sembalun Yamni, mengecam keras pengerukan yang dilakukan di area berdekatan dengan hutan dan perbukitan.
Ia menyayangkan sikap lembaga-lembaga adat dan lingkungan yang terkesan abai terhadap persoalan tersebut.
Baca juga: Pendakian Rinjani Resmi Dibuka, Pos Sembalun Dipadati Pendaki di Hari Pertama
"Kami sangat menyayangkan hal ini terjadi di bukit maupun tempat-tempat yang berdekatan langsung dengan hutan. Sangat miris sekali melihat hal-hal seperti itu karena tidak satu dua kali setiap datang musim hujan selalu terjadi longsor," katanya saat dihubungi pada Kamis (25/9/2025).
Yamni mempertanyakan peran lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga lingkungan di Kecamatan Sembalun.
"Seharusnya lembaga-lembaga ini yang memperhatikan aktivitas-aktivitas investor yang berada di lereng-lereng bukit," tegasnya.
Di balik alasan pembangunan yang sering mengatasnamakan pariwisata, ada kelestarian lingkungan yang perlu dijaga.
Yamni dan masyarakat tidak menolak investor namun aktivitas yang dilakukan harus patuh pada aturan dan tidak merusak lingkungan.
Pengerukan lahan yang masif dinilai bertentangan dengan upaya menjadikan Sembalun sebagai kawasan agrowisata.
"Harus ada aturan dan regulasi yang jelas terkait pengerukan lahan dan pembangunan," jelas Yamni.
Ia khawatir aktivitas ini akan mengulang bencana longsor seperti yang pernah terjadi di tahun 2006 dan 2012.
"Pemerintah harus hadir. Kalaupun terjadi longsor, apa konsekuensinya, kami menuntut pertanggungjawaban dari investor yang menyebabkan lahan pertanian masyarakat rusak," tambah Yamni.
Status Lahan
Ketua KPLH-SEMBAPALA Rijalul Fikri, menyoroti kendala utama yaitu status lahan yang dimiliki secara pribadi dan ketiadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang jelas.
"Yang membuat kita sulit untuk mengadvokasi itu kalau menurut saya karena itu milik pribadi," ujar Rijal.
Ia menjelaskan bahwa tanpa regulasi RTRW, tidak ada payung hukum yang kuat untuk menindak investor atau pemilik lahan.
"Tidak ada dasar hukum untuk kita juga misalnya menuntut masyarakat kita yang mengalihfungsikan lahan," ungkapnya.
Rijalul meminta pemerintah daerah tidak menutup mata terhadap persoalan ini.
Ia menegaskan pentingnya kolaborasi dan regulasi yang jelas agar tidak terjadi dampak negatif yang membahayakan masyarakat luas.
"Bukan berarti kita, masyarakat Sembalun atau KPLH, menolak investor. Tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika itu hak pribadi jangan juga semau-maunya, karena sekali lagi ada juga hak-hak umum di sana yang akan menjadi dampak negatif nantinya," tutupnya.
(*)
Bangunan Oven Tembakau di Lombok Timur Terbakar, 5 Ton Daun Hangus |
![]() |
---|
Pembayaran Gaji PPPK Paruh Waktu di Lombok Timur Tidak Ada Perubahan |
![]() |
---|
Nasib Ribuan Tenaga Honorer di Lombok Timur Via Skema PPPK Paruh Waktu Belum Jelas |
![]() |
---|
Mayat Pria di Lombok Timur Ditemukan Tergantung, Terakhir Dilihat 3 Hari Lalu |
![]() |
---|
73 Tenaga Honorer Lombok Timur Belum Input Data PPPK Paruh Waktu, Terkendala SKCK |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.