Kasus Korupsi NCC
Ahli Pidana Nilai Kasus NCC Bukan Korupsi, Sebut Tak Ada Kerugian Negara
Menurut Chairul Huda, tindak pidana korupsi hanya bisa terjadi jika ada dua hal, perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Penulis: Robby Firmansyah | Editor: Idham Khalid
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Persidangan ke-22 kasus dugaan korupsi pembangunan Nusa Tenggara Convention Center (NCC) kembali digelar Senin (22/9/2025).
Dr. Chairul Huda, ahli pidana yang dihadirkan oleh terdakwa Rosyadi Husaenie Sayuti, menegaskan bahwa perkara ini tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
Menurut Chairul Huda, tindak pidana korupsi hanya bisa terjadi jika ada dua hal, perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan timbulnya kerugian negara yang nyata serta pasti.
“Kerugian negara itu harus berupa berkurangnya uang, barang, atau surat berharga milik negara. Dalam kasus NCC, tidak ada satupun dari itu. Negara tidak mengeluarkan anggaran, justru malah menerima dua gedung, yaitu Labkesda dan PKBI,” tegasnya di persidangan.
Ia menilai, jika terdapat perbedaan antara perjanjian dan realisasi pembangunan, hal itu masuk ranah perdata atau administratif, bukan pidana korupsi.
“Kalau ada wanprestasi, gampang, batalkan saja perjanjiannya. Tapi mengkualifikasi ini sebagai korupsi jelas keliru, karena faktanya tidak ada uang negara yang hilang,” tambahnya.
Lebih jauh, ahli pidana ini menekankan bahwa tidak ada bukti pertambahan kekayaan pada diri terdakwa maupun pihak lain. Padahal motif utama tindak pidana korupsi adalah keuntungan pribadi.
“Logikanya, orang melakukan korupsi untuk dapat untung. Tapi dalam kasus ini, terdakwa justru tidak menerima aliran dana apapun. Bagaimana bisa disebut korupsi?” ujarnya.
Pernyataan ahli tersebut diperkuat oleh penasihat hukum terdakwa, Rofiq Ashari, yang menegaskan bahwa seluruh dakwaan JPU terkait kerugian Rp15 miliar tidak terbukti.
“Ahli sudah jelas mengatakan, tidak ada kerugian negara karena tidak ada uang APBD atau APBN yang digunakan. Unsur memperkaya diri juga tidak terbukti. Tidak ada bukti, tidak ada aliran dana, tidak ada aset bertambah. Semua saksi dan fakta persidangan menguatkan hal itu,” tegas Rofiq.
Sementara itu, terdakwa Rosiady Husaenie Sayuti menyampaikan rasa syukurnya usai menjalani siding ke-22. Ia meyakini hakim akan memutuskan seadi-adilnya terhadap perkara yang menimpanya.
“Alhamdulillah, saya bersyukur sidang berjalan dengan baik. Dari keterangan ahli, saya semakin yakin bahwa keputusan hakim nantinya adalah keputusan terbaik bagi saya. Saya berharap masyarakat NTB tetap mendukung saya dan berjuang bersama saya,” ungkapnya dengan nada optimis.
Dakwaan Jaksa
Sebelumnya, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTB Rosiady Husaini Sayuti menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Mataram, Senin (2/6/2025) lalu
Sidang Rosiady digelar dengan agenda pembacaan dakwaan perkara korupsi kerja sama pembangunan NTB Convention Center (NCC) pada 2012-2016.
Direktur PT Lombok Plaza Dolly Suthajaya Nasution juga menjalani sidang dakwaan.
Jaksa penuntut umum mengatakan dalam peran Rosiady adalah sebagai Sekda yang mengelola aset milik daerah.
Sementara Dolly merupakan Direktur PT Lombok Plaza selaku penerima aset milik Pemerintah Provinsi NTB.
Keduanya meneken perjanjian kerja sama bangun guna serah (BGS) aset Pemprov NTB di Kelurahan Cilinaya, Kota Mataram untuk pembangunan NCC.
Awalnya aset Pemprov NTB itu merupakan Laboratorium Kesehatan Masyarakat yang kini sudah dipindahkan ke Jalan Suara Mahardika Nomor 10 Kota Mataram.
Bangunan pengganti Laboratorium Kesehatan Masyarakat senilai Rp5,2 miliar tersebut ternyata tidak sesuai dengan rancangan anggaran belanja (RAB) dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah Provinsi NTB dan PT Lombok Plaza.
Hal itu terungkap setelah dilakukan pemeriksaan oleh tim ahli Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) NTB.
"Sehingga bangunan tersebut tidak tepat mutu, waktu dan biaya," kata JPU di hadapan majelis hakim.
Bangunan itu sejatinya sudah dicek tim Kementerian Kesehatan pada awal Februari 2025.
Hasilnya bangunan tersebut tidak sesuai standar Balai Laboratorium Kesehatan Masyarakat dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan Masyarakat.
Di sisi lain, jaksa mengungkapkan gedung NCC seharusnya terbangun dalam waktu tiga tahun enam bulan sejak perjanjian ditandatangani. Namun kenyataannya bangunan NCC tidak kunjung berdiri.
PT Lombok Plaza juga tidak membayar biaya kontribusi kepada Pemerintah Provinsi NTB sebesar Rp750 juta per tahun.
"Bahwa perbuatan H Rosiady Husaini Sayuti selaku Sekertaris Daerah sebagai pengelola barang milik daerah, bersama saksi Dolly Suthajaya Nasution selaku Direktur PT Lombok Plaza dalam kegiatan kerja sama bangun guna serah, telah memperkaya orang lain yaitu Dolly Suthajaya Nasution selaku Direktur PT Lombok Plaza atau memperkaya corporate yang menyebabkan kerugian negara Rp 15,2 miliar," kata JPU.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.