Opini
Ketika Gaza Plan Memaksa Hamas Menjadi Lebih Realistis
Dalam situasi inilah, menurut saya, Hamas mulai menimbang kembali makna perjuangan bersenjatanya apakah masih realistis untuk dilanjutkan.
Ketiga, faktor yang tak kalah penting dan menentukan juga datang dari dalam Gaza sendiri. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, kekuatan Hamas sudah nyaris babak belur dan porak poranda oleh serangan sistematis Israel.
Infrastruktur militer Hamas, mulai dari terowongan bawah tanah hingga sistem peluncur roket, sebagian besar berhasil dimusnahkan oleh IDF.
Komando militer Hamas yang dulu begitu terstruktur kini berantakan bahkan lumpuh. Pun tak sedikit elit militer dan politik Hamas berhasil dilumpuhkan oleh operasi intelijen dan militer Israel, baik melalui serangan udara, penyergapan, maupun infiltrasi.
Satu per satu tokoh pentingnya tewas atau ditangkap, sementara sebagian lainnya melarikan diri ke luar negeri.
Kondisi ini tentu saja membuat Hamas kehilangan kemampuan koordinasi, baik secara taktis di medan perang maupun strategis di jalur diplomasi.
Kekalahan demi kekalahan juga menggerus moral internal pasukan Hamas dan menciptakan tekanan besar dari masyarakat sipil Gaza yang sudah kelelahan hidup di bawah blokade dan serangan tanpa henti.
Dalam situasi inilah, menurut saya, Hamas mulai menimbang kembali makna perjuangan bersenjatanya apakah masih realistis untuk dilanjutkan ketika hasilnya hanya memperpanjang penderitaan rakyat Gaza yang mereka klaim mereka wakili selama ini.
Di tengah situasi serba suram tersebut, pun Qatar muncul sebagai faktor pelicin utama yang memungkinkan perubahan sikap Hamas. Sejak setahun terakhir, Doha memainkan peran krusial sebagai penghubung antara Hamas, Amerika Serikat, dan Israel.
Negara kecil ini memanfaatkan kepercayaan yang ia miliki dari kalangan kelompok Islam politik, kedekatannya dengan Washington, serta fleksibilitas diplomatiknya untuk menjadi mediator yang kredibel untuk semua pihak. Qatar telah menggelar berbagai pertemuan rahasia untuk membuka jalur komunikasi baru antara Hamas dan pihak-pihak yang sebelumnya enggan bernegosiasi secara langsung dengan Hamas.
Bahkan karena pilihan politik Qatar itu negara yang juga dituduh mendanai kelompok Hamas itu menjadi target serangan militer Israel yang memburu pimpinan Hamas yang berada di Doha belum lama ini.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa serangan Tel Aviv terhadap para pejabat senior Hamas di Qatar itu "dibenarkan" karena hubungan yang terjalin antara Doha dengan kelompok militan yang menguasai Jalur Gaza tersebut.
Harus diakui, persuasi Qatar dilakukan dengan sangat hati-hati. Qatar terlihat begitu santai dan tidak menekan Hamas secara terbuka, melainkan menanamkan gagasan bahwa penerimaan terhadap sebagian isi Gaza Plan bukanlah bentuk kekalahan, tetapi bagian strategi dari bertahan.
Menurut kabar yang saya terima, Hamas diyakinkan bahwa dengan membuka diri terhadap kesepakatan Gaza Plan, Hamas bisa mempertahankan relevansi politiknya di masa depan, sekaligus menyelamatkan rakyat Gaza dari kehancuran total.
Pendekatan ini ternyata perlahan berhasil melunakkan sikap pemimpin Hamas, apalagi opsi lain memang hampir tidak tersisa.
Meski demikian, fleksibilitas Hamas ini, dalam hemat saya, tidak berarti penyerahan total. Poin paling sensitif, yakni pelucutan senjata, tetap menjadi garis merah bagi Hamas hingga hari ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.