Penemuan Mayat Mahasiswi Unram

Radiet Jadi Tersangka Kematian Mahasiswi di Nipah, Pakar Soroti Prosedur Hukum

Misteri kematian mahasiswi Universitas Mataram, Ni Made Vaniradya Puspa Nitra alias Vira, di Pantai Nipah akhirnya memasuki babak baru.

Penulis: Rozi Anwar | Editor: Laelatunniam
ISTIMEWA
PEMBUNUHAN DI NIPAH - Dekan Fakultas Hukum Universitas Samawa, Dr. Lahmuddin Zuhri. Menanggapi perkembangan kasus pembunuhan mahasiswi Unram di Pantai Nipah, ia menekankan pentingnya penegakan prosedur hukum yang ketat dan akuntabel. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Rozi Anwar

TRIBUNLOMBOK.COM, SUMBAWA – Misteri kematian mahasiswi Universitas Mataram, Ni Made Vaniradya Puspa Nitra alias Vira, di Pantai Nipah akhirnya memasuki babak baru.

Polisi secara resmi menetapkan Radiet Adiansyah alias Radit sebagai tersangka dalam insiden tragis yang terjadi pada Selasa, 26 Agustus 2025 lalu.

Vira ditemukan meninggal dunia dalam kondisi mengenaskan saat tengah berlibur bersama Radit.

Semula diduga menjadi korban pembegalan, kini kasus tersebut mengarah pada dugaan tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan berat yang menyebabkan kematian.

Radit dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan/atau Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Ancaman hukuman maksimalnya mencapai 15 tahun penjara.

Menanggapi perkembangan ini, Dekan Fakultas Hukum Universitas Samawa, Dr. Lahmuddin Zuhri menekankan pentingnya penegakan prosedur hukum yang ketat dan akuntabel.

“Penetapan seseorang sebagai tersangka tidak bisa didasarkan pada asumsi. Harus ada minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP,” ujar Dr. Lahmuddin, Jumat (26/9/2025).

Ia menjelaskan, alat bukti tersebut dapat berupa keterangan saksi, surat, petunjuk, keterangan ahli, maupun keterangan tersangka itu sendiri.

“Tanpa bukti permulaan yang cukup, penetapan tersangka berpotensi melanggar hak asasi manusia,” lanjutnya.

Dr. Lahmuddin juga menyoroti pentingnya proses penyidikan yang dijalankan secara profesional dan transparan.

“Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga menyangkut ketenangan dan ketentraman hidup seseorang. Kita tidak boleh gegabah,” tegasnya.

Terkait hak tersangka, Dr. Lahmuddin mengingatkan, langkah praperadilan bisa ditempuh apabila ada keberatan atas proses penetapan tersebut.

“Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 telah menegaskan bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan bisa diuji lewat praperadilan,” jelasnya.

Menurutnya, mekanisme ini berfungsi sebagai kontrol terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.

Halaman
12
Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved