Oleh: Baiq Larre Ginggit Sekar Wangi, Ketua Program Studi Seni Pertunjukan, Universitas Bumigora
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Pariwisata adalah etalase budaya suatu daerah, tempat di mana wajah lokalitas ditampilkan kepada dunia. Namun, etalase itu tidak akan bermakna jika hanya diisi oleh panorama tanpa narasi, atau pemandangan tanpa jiwa.
Dalam dunia yang semakin kompetitif, wisata bukan lagi sekadar soal keindahan alam, tetapi tentang pengalaman yang otentik dan berkesan dan itulah ruang tempat seni pertunjukan seharusnya berbicara lantang.
Seni pertunjukan bukan hanya pelengkap eksotisme dalam brosur promosi wisata. Ia adalah denyut yang menghidupkan ruang, suara yang menyuarakan sejarah, dan gerak yang merekam identitas.
Ia membawa cerita-cerita yang tidak tertulis, tradisi yang tak bisa dipotret, dan makna-makna yang hanya bisa dirasakan ketika tubuh, suara, dan ruang berpadu dalam satu pertunjukan.
Inilah mengapa seni harus menjadi aktor utama dalam pembangunan pariwisata, khususnya di Nusa Tenggara Barat (NTB), yang kaya akan ragam budaya dan ekspresi lokal.
Kegiatan Dialog Budaya: NTB Mendunia yang diselenggarakan Universitas Bumigora (UBG) pada 26 Juli 2025 lalu hadir bukan sekadar sebagai forum akademik biasa. Ia menjadi ruang temu gagasan, arena dialog lintas perspektif antara akademisi, seniman, dan pemangku kebijakan yang menyuarakan satu pesan penting: bahwa tanpa seni, pariwisata kehilangan jiwanya.
Sebagai dosen di Program Studi Seni Pertunjukan, saya melihat kegiatan ini sebagai refleksi segar dan kritis terhadap arah pembangunan daerah yang selama ini terlalu terpaku pada infrastruktur fisik, bukan pada roh kultural yang seharusnya menopangnya.
Seni Pertunjukan, Denyut Nadi Pariwisata Budaya
Dalam narasi pariwisata berbasis budaya, seni pertunjukan bukan hanya pelengkap atau hiburan pelipur lara. Ia adalah medium komunikasi lintas bahasa, pengikat emosi, dan cermin nilai-nilai lokal yang hidup. Tarian, musik tradisional, hingga pertunjukan teater rakyat adalah cara masyarakat NTB menyampaikan cerita, memori kolektif, dan identitas.
Ketika wisatawan mancanegara datang ke Bali, mereka tidak hanya terpikat oleh pantainya, tetapi juga oleh pentas kecak yang epik, barong yang magis, atau panggung-panggung desa yang menyala saban malam. Semua itu bukan muncul secara spontan, tetapi melalui pengelolaan, pembinaan, dan visi jangka panjang.
Sayangnya, di NTB, seni pertunjukan masih berjalan sendiri-sendiri. Beberapa sanggar hidup dari semangat komunitas yang hebat, tetapi kerap tanpa dukungan infrastruktur yang memadai.
Tidak adanya ruang pertunjukan permanen di kota-kota besar seperti Mataram menjadi ironi tersendiri. Apakah kita ingin wisatawan hanya menikmati pasir putih dan air laut, tanpa bisa melihat satu pun pertunjukan budaya yang terorganisir dengan baik?
Dalam dialog budaya kemarin, Rektor Universitas Bumigora, Prof. Dr. Ir. Anthony Anggrawan, MT., Ph.D., menegaskan pentingnya kehadiran ruang seni sebagai bagian dari strategi pariwisata. Gagasan tentang pembangunan arena teater permanen yang bisa menjadi pusat pertunjukan dan destinasi budaya adalah langkah yang tidak hanya visioner, tetapi juga mendesak.
Kampus sebagai Generator Ekosistem Seni dan Pariwisata