Opini

Seni Pertunjukan dan Pariwisata NTB: Menyatukan Identitas, Menembus Globalisasi

Editor: Laelatunniam
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OPINI - Baiq Larre Ginggit Sekar Wangi, Ketua Program Studi Seni Pertunjukan, Universitas Bumigora.

Pendidikan tinggi tidak boleh sekadar menjadi menara gading. Ia harus turun tangan, turun panggung, dan bahkan jika perlu, menjadi panggung itu sendiri. Dalam konteks ini, Universitas Bumigora melalui Program Studi Seni Pertunjukan memiliki tanggung jawab ganda, mengembangkan pengetahuan dan membumikan nilai-nilai seni dalam kehidupan masyarakat.

Peran ini menuntut perguruan tinggi untuk tidak hanya menjadi ruang belajar, tetapi juga menjadi pusat praktik kebudayaan yang aktif. Kampus harus mampu menciptakan atmosfer kreatif yang memungkinkan mahasiswa dan dosen terlibat langsung dalam produksi seni tidak sekadar mengkaji, tetapi juga mencipta dan menampilkan.

Kurikulum yang mengintegrasikan praktik dan teori, pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), serta kegiatan yang melibatkan komunitas lokal menjadi bagian penting dari transformasi ini.

Langkah-langkah konkret sudah mulai terlihat di Universitas Bumigora. Keterpaduan antara teknologi, pariwisata, dan seni adalah arah yang patut diapresiasi. Tidak cukup hanya mengajarkan teori dramatika atau teknik vokal di kelas, kampus juga perlu menjadi laboratorium budaya yang hidup, tempat eksperimen artistik dan kolaborasi lintas disiplin berlangsung secara dinamis.

Riset kesenian lokal yang terdokumentasi dengan baik, program pementasan rutin yang terbuka untuk publik, pelibatan pelaku budaya dalam pengajaran, serta kerja sama lintas sektor semuanya adalah strategi yang memperkuat posisi kampus sebagai penggerak utama.

Bila dijalankan secara konsisten, universitas dapat menjadi simpul budaya: tempat di mana potensi lokal bersua dengan peluang global, dan tempat di mana seni hidup berdampingan dengan pengetahuan, bukan hanya sebagai objek studi, melainkan sebagai kekuatan transformasi sosial.

Masyarakat sebagai Subjek, Bukan Objek Pariwisata

Salah satu pernyataan paling kuat dalam kegiatan dialog budaya disampaikan oleh Assoc. Prof. Dr. Muhammad Fazli dari Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia, yang menekankan pentingnya menjadikan masyarakat sebagai motor utama pembangunan pariwisata. Pernyataan ini patut direnungkan dengan serius.

Terlalu sering dalam narasi pariwisata, masyarakat hanya diposisikan sebagai “pengantar suasana” sebagai pelayan, pemandu, atau bahkan “pemandangan hidup”.

Nilai-nilai budaya mereka dikomodifikasi, ditampilkan sekilas untuk kepentingan konsumsi visual wisatawan, tanpa makna mendalam dan keterlibatan kritis.

Seni pertunjukan, jika dikelola dengan pendekatan partisipatif, dapat menjadi jembatan antara masyarakat dan dunia luar. Pementasan yang digagas dan dimainkan oleh komunitas, dengan cerita-cerita yang tumbuh dari kehidupan sehari-hari, akan memberi rasa otentik yang tidak bisa dipalsukan.

Lebih jauh lagi, masyarakat harus terlibat dalam desain, produksi, hingga pemasaran produk budaya mereka. Hanya dengan cara itu, mereka bisa menjadi subjek yang aktif, bukan objek yang diam.

Di era digital, promosi pariwisata tidak lagi bertumpu pada brosur cetak dan pameran konvensional. Dunia telah berpindah ke ruang virtual, dan budaya pun harus ikut masuk ke sana. Inisiatif seperti Bumigora Shop, platform digital berbasis kecerdasan buatan untuk mempromosikan destinasi dan produk budaya NTB, merupakan langkah cerdas yang patut dikembangkan lebih jauh.

Melalui teknologi, informasi tentang jadwal pertunjukan, profil seniman, hingga pembelian tiket bisa diakses lebih luas. Platform semacam ini juga bisa menjadi sarana edukasi, tempat di mana wisatawan dapat belajar makna di balik setiap tarian, sejarah alat musik tradisional, atau filosofi dari motif kain tenun lokal.

Namun, digitalisasi tidak boleh berhenti pada visualisasi. Konten yang disajikan harus dikurasi dengan baik, menampilkan narasi yang kuat, dan tetap berakar pada nilai-nilai lokal. Kampus dapat mengambil peran strategis dalam menyediakan data, menulis naskah, atau bahkan memproduksi konten edukatif berbasis seni.

Halaman
123

Berita Terkini