Opini

Tiga Sebab Utama 'Kekalahan' Ummi Rohmi di Pilgub NTB 2024

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Calon gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah. Buyarnya paket petahana Zul-Rohmi di Pilgub NTB kali ini semacam membagi dua kekuatan politik.

Oleh: Lalu Helmi
Masyarakat NTB

Sitti Rohmi Djalillah alias Ummi Rohmi memulai perjalanan panjang di Pilgub NTB dengan 'melelahkan' dan tertatih-tatih. Sebelum sampai mendaftar ke KPU, Ummi Rohmi telah 'babak belur' di perjalanan. Awalnya, Ummi Rohmi hampir tak dapat dukungan partai minimal 13 kursi di DPRD NTB. Adalah Partai Kebangkitan Bangsa (NTB) yang kala itu memperpanjang napas perjuangan cucu Maulana Syaikh TGKH Zainuddin Abdul Madjid tersebut. 

Meski pada akhirnya syarat tersebut turun tatkala Mahkamah Konstitusi meringankan threshold, tapi PKB sudah ditangan. Dukungan PKB itu berkonsekuensi. Maharnya tembus hingga sidratul muntaha. Dukungan PKB melengkapi dua dukungan partai sebelumnya yakni PDIP dan Perindo. Kemudian pada last minute, Partai Ummat merapat. 

Spekulasi Ummi Rohmi gagal lepas landas di Pilgub NTB sempat mengganggu psikologis mayoritas jemaah NWDI. Organ NWDI ini lah yang kemudian menjadi tulang punggung pemenangan Rohmi dalam kontestasi lima tahunan kali ini. Predikat 'melelahkan' Ummi Rohmi maju di Pilgub NTB kali ini sebetulnya tidak melulu soal mengunci dukungan partai politik.

Sebelum itu, Ummi Rohmi disibukkan dengan drama kolosal perihal keberlanjutan duet petahana Zul-Rohmi jilid II. Sama dengan sebab pertama kekalahan Bang Zul, saya pun menengarai, faktor inilah yang menjadi pemicu pertama dari tiga yang utama menjadikan Ummi Rohmi gagal menang di Pilgub NTB kali ini. 

Baca juga: Tiga Sebab Kekalahan Bang Zul di Pilgub NTB 2024

'Talak' Zul-Rohmi Jilid II

Sebagaimana yang saya sampaikan pada tulisan sebelumnya, buyarnya paket petahana di Pilgub NTB kali ini semacam membagi dua kekuatan politik. Dan sekali lagi, menurut saya, prahara ini sejatinya, meskipun petandanya ada, tidak benar-benar direncanakan. Zul-Rohmi ditopang dua mesin politik yang cukup kuat. Organisasi NWDI di satu sisi dan militansi kader dan simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada sisi yang lain. Perpaduan ini, adalah modal awal yang lebih dari cukup. 

Pertanyannya, siapa yang mula-mula mengawali perpecahan ini? Untuk mengurai ini, kita perlu waktu yang cukup panjang. Tapi jika dipersingkat, saya menilai, problemnya terletak pada adanya residu (kekecewaan) terhadap jalannya kepemimpinan Zul-Rohmi di periode pertama. Residu ini banyak disuarakan dari kubu (elite) NWDI, juga mungkin, suara elite juga menjadi representasi dari suara ranting. Ini kemudian memuncak dan bertemu dengan keinginan kolektif elite NWDI. Momennya dimulai dengan banyak gerilya. Tujuannya, mendorong Ummi Rohmi maju sebagai calon gubernur. Dengan cara itulah, Ummi Rohmi bisa berpisah dengan Bang Zul. 

Lepas dari kalkulasi politik apa yang mendasari itu, para elite NWDI punya dalil masing-masing. Tapi kalau hendak jujur, sebetulnya, jika lebih sedikit bersabar, dengan asumsi Zul-Rohmi jilid II berlanjut, potensi menangnya akan lebih besar ketimbang mengambil jalan berpisah. NWDI kemudian masih akan tetap berada di ring 1 pemerintahan NTB. Genap dua dasawarsa, jika dihitung sejak TGB periode pertama. Korelasinya, di 2029, berangkat dari cawagub petahana, Ummi Rohmi akan muncul jadi calon gubernur terkuat.

Dalam perjalanan bubarnya duet petahana ini, sejatinya, jika menggunakan kalimat yang lebih akademis, saya ingin mengatakan bahwa, ada tradisi baru yang berkembang dalam pengambilan keputusan (politik) di internal NWDI. Benang merah ini dapat ditarik dengan asumsi bahwa, keinginan retaknya Zul-Rohmi jilid II justru bertolak belakang dengan apa yang dikehendaki Ketua Umum PB NWDI, TGB Zainul Majdi. Sekali lagi, bagi saya, ini suatu kebaruan. Perihal apakah ini baik atau justru buruk untuk organisasi, saya tidak hendak memberikan uraian. Waktu tampaknya akan memberikan kita jawaban. 

Yang berkembang di publik belakangan, Pilgub NTB kali ini menyisakan semacam 'endapan' yang menurut saya, bisa jadi problem yang mungkin cukup serius. Terutama jika tidak ada upaya melakukan mitigasi. Seluruh elemen di internal NWDI mesti melakukan refleksi mendalam. Tentu kita mafhum dan percaya, dengan kedewasaan sikap, ini bisa terkomunikasikan dan terselesaikan dengan baik. NWDI punya rekam jejak panjang menyelesaikan banyak hal. 

Gagal Mengkonsolidasikan Elite di Lombok Timur

Lombok Timur adalah 'halaman depan' pemenangan Ummi Rohmi di Pilgub NTB kali ini. Sebagai satu-satunya kontestan dari daerah tersebut, Ummi Rohmi sebetulnya adalah representasi. Dalam dinamikanya, Ummi Rohmi gagal menggalang dukungan dari elite-elite politik di Lombok Timur. 

Sebut saja Bupati Lombok Timur 2008-2013 dan 2018-2023 Sukiman Azmy, Bupati Lombok Timur 2003-2008 dan 2013-2018 Ali Bin Dachlan, hingga Pimpinan Maraqitta'limat TGH Hazmi Hamzar. Belum lagi gerbong besar yang dikomandoi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) TGKH Lalu Gede Muhammad Zainuddin Atsani dan tokoh-tokoh lain. 

Empat tokoh yang saya sebutkan adalah simbol sekaligus simpul cukup banyak dukungan di Bumi Patuh Karya. Yang lebih memberatkan Ummi Rohmi di Lombok Timur, empat tokoh tersebut terdistribusi, bergabung mendukung ke satu paslon yang merupakan rival Ummi Rohmi. 

Halaman
12

Berita Terkini