Opini

Tiga Sebab 'Kekalahan' Bang Zul di Pilgub NTB 2024

Lalu Iqbal-Dinda unggul dalam hitung cepat Pilgub NTB 2024 di atas Zul-Uhel dan Rohmi-Firin.

|
TRIBUNLOMBOK.COM
Gubernur NTB 2018-2023 Zulkieflimansyah. Lalu Iqbal-Dinda unggul dalam hitung cepat Pilgub NTB 2024 di atas Zul-Uhel dan Rohmi-Firin. 

Oleh: Lalu Helmi
Pemerhati Politik NTB

Mengawali tulisan ini, saya hendak memberikan dua disclaimer. Pertama, tentu saya, dan barangkali kita semua, menghormati proses rekapitulasi berjenjang yang sedang dilakukan oleh KPU, sampai pada proses penetapan paslon pemenang Pilgub NTB nanti. Namun, lantaran data yang saya terima (setidaknya sejak Rabu sore) menunjukkan angka yang solid. Gap pemenang, dengan paslon lain di bawahnya cukup lebar, sampai dua digit. Saya meyakini, jika tak ada aral melintang, situasinya sangat sulit berubah. Itulah mengapa saya tidak sungkan menyematkan kata 'kalah' dalam tajuk utama tulisan ini.

Kedua, tulisan ini juga tentu tak bermaksud memperdalam 'luka' kekalahan Bang Zul. Saya, dan mungkin kita semua, yakin akan kedewasaan politik pada diri Bang Zul, juga seluruh eksponen yang afiliatif dengannya. Saya hanya hendak menyampaikan opini saya ihwal perjalanan kontestasi Pilgub NTB ini. Setidaknya, membaca fenomena yang berkembang dalam dua tahun terakhir, sampai tanggal 27 November kemarin. Saya 'menawaitu-kan' tulisan ini sebagai pembejalaran, bagi siapapun yang sekiranya dapat memetik inti sari dari tulisan ini. Jikapun tidak, tak apa. Biarlah tulisan ini menjadi 'bunga rampai' yang akan saya ingat dalam perjalanan panjang dan melelahkan di Pilgub NTB kali ini. 

Tiga hal yang hendak saya sampaikan di bawah ini, adalah tiga faktor yang menurut saya, cukup  dominan menjadi musabab kekalahan Bang Zul. Saya menyisipkan lema 'utama' untuk menyampaikan bahwa (mungkin) ada sebab-sebab lain yang tak saya uraikan. Saya juga berupaya mempersempit ruang lingkup elaborasi pada tulisan ini. Sebagai contoh 'tidak masuk ke dalam ruang personal figur Bang Zul sebagai pribadi'. Saya akan fokus pada dinamika politik, terutama yang tampak, agar dapat dipahami oleh pengetahuan awam sekalipun. Mari kita mulai. 

Kandasnya Zul-Rohmi Jilid II

Saya menempatkan peristiwa ini jadi faktor pertama dari tiga yang utama. Saya menengarai, pecah kongsi antar duet petahana ini semacam membelah dua kekuatan politik. Bagaimanapun juga, lumrahnya, petahana, dari banyak kalkulasi politik, selalu punya 'bargaining position' yang lebih ketimbang penantangnya. Setidaknya, mereka telah punya masa kampanye yang lebih panjang. Terhitung sejak hari pertama mereka dilantik di masa kepemimpinannya.

Saya ingat, dinamika politik yang cukup cepat kala itu, menghendaki Bang Zul dan Ummi Rohmi mesti 'pisah jalan' dan berhadap-hadapan. Saya juga mengingat cukup detail setiap peristiwa sampai momen itu terjadi. Pasca 18 November keduanya purnatugas, benih-benih bersurainya pasangan ini terbaca. Awalnya memang saya ragu (red, Zul-Rohmi bubar). Meski pada akhirnya perpisahan itu tidak bisa dihindari, saya pun masih meyakini, perpisahan itu sebetulnya tidak 'benar-benar' direncanakan. Baik oleh Bang Zul, maupun juga Ummi Rohmi. 

Saya tidak menemukan pijakan yang cukup kuat yang mesti dijadikan alasan, atau mengharuskan kerjasama politik sejawat ini terhenti. Baik dari sisi Bang Zul, maupun Ummi Rohmi. Saya akhirnya memiliki simpulan, bahwa realitas politik yang mengharuskan Bang Zul dan Ummi Rohmi menjadi rival, membuat keduanya, sebetulnya tidak benar-benar siap mengadapi Pilgub NTB 2024. Sekali lagi, premis saya adalah: perpisahan ini, meskipun benihnya ada, tetapi tidak 'benar-benar' direncanakan. Mengapa mereka akhirnya berpisah?

Saya hendak mengingatkan kembali memori publik dengan ringkas. Pasca-pileg, menjelang Ramadan, tepatnya 8 Maret, Bang Zul dan Ummi Rohmi bertemu. Secara tidak disengaja, saya ada di lokasi pertemuan tersebut. Bahkan, sempat duduk dan ikut bergabung. Dalam ingatan saya, pertemuan tersebut menemukan kesepakatan, dengan sejumlah klausul yang mesti dilakukan kedua belah pihak. 30 April malam, pertemuan kembali dilakukan. Kali ini, di kediaman Ummi Rohmi, di Lombok Timur. Untuk pertama kalinya, secara eksplisit Ummi Rohmi menyampaikan kepada publik perihal Zul-Rohmi jilid II berlanjut. Setelah pertemuan ini, wacana segera menggelar deklarasi menyeruak. Seingat saya, direncanakan pada tanggal 2 Mei. 

Selanjutnya, cukup mengejutkan, pada 6 Mei, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, bicara ke publik bahwa dirinya tidak terlibat dalam perjanjian keberlanjutan Zul-Rohmi jilid II. Konteksnya, kala itu, TGB merespons wacana deklarasi. Setelah ini, cukup banyak peristiwa terjadi. Saya persingkat, pada Selasa 14 Mei, akhirnya TGB mengumumkan kepada publik bahwa Zul-Rohmi jilid II akan berlanjut. Dinamika setelahnya berjalan cukup cepat. Tak kunjung ada titik temu. Pertanyaannya, mengapa perpisahan Zul-Rohmi tak terelakkan padahal TGB telah mendeklarasikan? Saya tak akan mengulasnya pada tulisan ini. Di bulan Mei inilah, keputusan berpisah jalan itu dimulai. Sekali lagi, saya tidak hendak menerangkan secara rigit apa alasannya. Ini tidak logis, tetapi jika ada hal yang tampak tidak logis dalam politik, itulah politik sesungguhnya.

Puncaknya, pada Senin 27 Mei, secara terbuka dan lebih dahulu, Ummi Rohmi mengumumkan dirinya maju di Pilgub NTB sebagai calon gubernur menggandeng Musyafirin. Tak ingin ketinggalan, 12 hari setelahnya, tepatnya pada 8 Juni, Bang Zul mendeklarasikan diri juga ikut bertarung, kali ini bersama Suhaili 'Abah Uhel'. 

Premis utama saya, keputusan berpisah ini menurunkan posisi tawar keduanya, baik Bang Zul ataupun Ummi Rohmi. Andailah Zul-Rohmi jilid II tetap berlanjut, maka pertarungan Pilgub NTB saya kira akan lebih sengit. Setidaknya lebih sengit dari apa yang kita lihat belakangan. 

Gagal Membangun Pasukan 

Saya menempatkan ini sebagai faktor kedua dari tiga yang utama. Kegagalan Bang Zul membangun pasukan sebetulnya memikul medan makna yang cukup luas. Pasukan yang saya maksud, spesifiknya adalah sistem atau mesin pemenangan Bang Zul di Pilgub NTB kali ini. Dalam beberapa kasus, Bang Zul salah menempatkan orang. Implikasinya, agenda pemenangan menjadi tidak terukur. Kerja-kerja politik yang dilakukan sering tidak berkolerasi terhadap pemenangan. Ini kritik saya. Dalam bahasa lain, saya hendak mengatakan bahwa Bang Zul gagal mengorkestrasikan mesin pemenangannya.

Kondisi ini diperparah dengan adanya 'askar-askar' yang pragmatis yang terlibat dalam cukup banyak kerja-kerja politik Bang Zul. Saya membaca ini. Dan situasi itu membuat makin buruk keadaan. Pertanyaanya, apakah pasukan yang saya maksud tak ada di barisan paslon lain? Ada. Tetapi jumlahnya tak banyak. Bahkan sekalipun jika ada, mereka masuk dalam satu sistem pemenangan yang dikomandoi dengan cakap. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved