Opini
Perang, Uang, dan Muslihat Propaganda
Propaganda dan manipulasi opini publik adalah sinonim yang sama untuk kebohongan
Oleh: Dr. Ahmad Sirulhaq, MA
Pakar Linguistik dan Analis Komunikasi Politik Universitas Mataram
Perang tak harus dimulai dari ancaman. Ia pun dapat pula diawali oleh kebohongan. Pada 18 Maret 2003, di depan House of Commons, Perdana Menteri Tony Blair, dengan mata melotot, berupaya meyakinkan rakyat Inggris. Kata salah satu pemimpin sekutu itu, Irak memiliki senjata pemusnah massal dan pasukan sekutu akan segera berangkat menuju medan perang. Lagi pula, rakyat Amerika harus segera diselamatkan dari kediktatoran Saddam Hussein. Di Amerika, nyanyian yang sama dilantunkan George Bush, sang pemimpin dunia. Dua hari sejak pidato itu, pada 20 Maret 2003, invasi terhadap Irak pun dimulai. Tak ada protes berlebih—para pebisnis perang telah mengatur semuanya.
Jeffrey Sachs, analis politik dan ahli kebijakan politik luar negeri Amerika dari Universitas Columbia, menceritakan hal itu dengan gamblang di Times Now World. Semua kebohongan tentang perang di Irak itu dirancang di Pentagon. Tentu, mustahil menginvasi Irak tanpa alasan jelas. Karena itu, narasi perang harus bisa dijual pada umat manusia pencinta damai, terlebih pada warga yang dipimpin sekutu. Abe Sholsky, direktur Office of Special Plans (OSP) di Pentagon menemukan caranya—ada senjata pemusnah massal di Irak. Karena itu, bagian dari operasi perang adalah membayar narasi-positif tentang perang: propaganda.
Belakangan, setelah Irak berubah menjadi abu, kenyataan sesungguhnya mulai terlihat. Tak ada nuklir atau senjata kimia di Irak. Tapi, jika kebohongan dibungkus dengan uang, semua cerita dapat dengan ramah masuk ke dalam telinga. Semua narasi bisa diterima, sebab, di luar biaya perang Irak yang mencapai tiga triliun dolar, satu miliar dolar hanya untuk propaganda—kebohongan.
Pascainvasi, satu juta lebih rakyat Irak tewas, 4—5 juta penduduk mengungsi, 700 pasukan di pihak sekutu pulang tinggal nama. Irak yang awalnya damai, menjadi rata dengan tanah. Atas kebohongan itu, Tony Blair minta maaf, tapi setelah 13 tahun kemudian. Apapun itu, satu bisnis sudah selesai dan Saddam Husein berhasil digantung.
Perang mengotori kemanusiaan, tapi propaganda dapat membasuhnya. Logikanya sederhana. Cukup meminjam mulut Menteri Kominfo Budi Arie untuk menyembunyikan identitas Fufufafa; dan dengan mengangkat Fadli Zon jadi Menteri Kebudayaan, cerita pemerkosaan kaum Tionghoa pada Mei 1998 dapat dihapus dari buku sejarah. Sisanya dapat diserahkan pada buzzer. Seperti cerita tentang tambang yang mengotori laut, lalu pemimpin agama menyucinya dengan meminjam ayat-ayat Tuhan. Jika Kau menang dalam hal narasi, orang tidak akan bertanya dua kali. Cukup dengan mengajak Raffi Ahmad dan kawannya berfoto di IKN, maka semua cerita tentang orang-orang yang kehilangan, kerusakan, pemborosan, dan HGU dan HGB ratusan tahun itu tidak berguna lagi.
Dengan begitu, semua yang tidak berterima pada mulanya akan terdengar masuk akal pada waktunya. Dalam invasi terhadap Irak, juru bicara Pentagon dengan sengaja menyewa media Lincoln Group untuk propaganda. Semua berita yang keluar di media-media Irak sebelum dan pada saat perang terjadi tampak natural karena tidak ada yang tahu informasi itu diproduksi di Pentagon, bukan datang dari reporter yang bertugas di medan perang. Dan harga untuk itu mencapai miliaran dolar.
Tujuannya jelas, propaganda dan manipulasi opini publik. Dua kata itu adalah sinonim yang sama untuk kebohongan. Setiap pemain politik tahu cara kerjanya. Perang senjata itu penting, tapi perang psikologi tidak kalah penting. Bayangkan diri Anda terpojok dalam debat politik hingga air mata Anda meleleh. Air mata semacam itu langsung dapat dikonversi dengan mudah menjadi suara gratis dalam pemilu; Anda tidak perlu keluar di waktu fajar untuk mendatangi rumah orang-orang yang terpapar. Dalam setiap propaganda, yang menang tidak harus yang benar, tapi yang selalu lebih banyak menyumbang.
Apa yang dilakukan Amerika dan sekutu di Irak tentu ilegal dan kriminal. Tapi, impunitas yang terus-menerus menyebabkan negara pemimpin dunia itu semakin tidak bisa tersentuh. Belum lagi, bagi Amerika dan sekutu, nyawa jutaan warga Irak masih belum cukup. Alih-alih, kebohongan serupa terus berulang untuk perang-perang berikutnya. Di Libya, Suriah, Afganistan, Sudan, Palestina, dan seterusnya, Amerika datang sebagai nabi pembawa risalah demokrasi.
Dari semua cerita itu, bagi Jeffrey Sachs, Israel adalah salah satu aktor penting yang tidak pernah absen. Jadi, bukan kebetulan karena Benjamin Netanyahu pernah menulis buku Fighting Terrorism pada 1966. Dalam buku tersebut, disebutkan rencana Netanyahu untuk mengganti kepemimpinan di seluruh kawasan Timur Tengah. Wajar jika Netanyahu kerap menyapu di halaman rumah orang lain—membersihkan warga Palestina. Jeffrey Sachs juga menyebut, Amerika terlibat dalam sedikitnya 64 operasi penggulingan kekuasaan di negara lain, mengutip buku Covert Regime Change: America's Secret Cold War, yang ditulis Lindsey A. O’Rouk.
Propaganda “perang melawan teroris”, “pemimpin demokrasi”, “menjunjung tinggi kebebasan”, “pelindung hak asasi manusia” adalah narasi barat paling klasik untuk memuluskan perang. Tapi, lebih dari dua dekade Amerika membawa kitab demokrasinya di Timur Tengah, demokrasi Amerika tak kunjung membawa keselamatan yang dijanjikan. Tak ada demokrasi sama-sekali. Sebaliknya, negara-negara bekas telapak kaki “Paman kita” itu secara perlahan bermetamorfosis menjadi rimba raya menakutkan. Kepompong demokrasi yang dibawa Amerika di tempat-tempat tersebut menjelma menjadi ISIS. Pendeknya, harga untuk menciptakan ISIS di Timur Tengah mencapai tiga triliun dolar.
Terbaru, Amerika meninggalkan Afghanistan pada 2021 dalam kondisi berserakan dan babak belur. Yang tersisa ia diserahkan kembali ke Taliban, kelompok yang ia lawan selama puluhan tahun. Dan biaya yang dikeluarkan untuk perang dan propaganda di Afghanistan mencapai 2,3 triliun dolar. Jika ditotal, biaya yang sudah dikeluarkan Amerika dalam dua dekade perang di kawasan setidaknya mencapai 5 triliun dolar. Dirut pertamina butuh tujuh kali korupsi lagi untuk mencapai angka sebanyak itu.
Pantas saja Linda Bilme, dosen senior Harvard Kennedy School, menyebut biaya perang Amerika di Timur Tengah sebagai “Ghost Budget” atau anggaran siluman. Menurutnya, minimnya pengawasan menyebabkan perusahaan dan investor kaya mendulang keuntungan besar dengan cara manipulatif. Laporan Brown University pada 2023 menyebut biaya perang dua dekade Amerika tersebut sebagai “Blood and Treasure”, darah dan harta karun. Karena menggiurkan, alasan perang hanya membutuhkan satu kebohongan.
Mengulang cerita lama, dan untuk alasan yang sama, Amerika dan Israel menyalakan alarm terbaru: ada bom nuklir bersemayam di Iran. Itu bahaya. Lagipula, Rakyat Iran harus diselamatkan dari kepemimpinan diktator. Sebagai pemimpin dunia, Amerika harus bertindak. Sebagai saudara dekat, biarkan Israel memulainya. Pada Juni 2025, tanpa tedeng aling-aling, Israel melancarkan serangan ke Iran tanpa restu PBB. Sasarannya jelas, fasilitas militer Iran dan pemimpin militer papan atas. Dalihnya sama, nuklir Iran membahayakan keselamatan dunia. Karena itu, ia harus segera disingkirkan. Seperti yang terjadi di Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, Iran diserang tanpa aba-aba perang.
Walau demikian, Benjamin Netanyahu, pemimpin manusia pilihan Tuhan, menyebut serangan tersebut sebagai serangan “membangunkan singa tidur”. Belum terlalu jelas siapa yang singa, siapa yang tidur. Sebab, di hari pertama pembalasan yang dilakukan oleh Ayatullah Ali Khomeini, pemimpin manusia pilihan Tuhan itu segera meninggalkan Tel Aviv menuju Athena, Yunani, tempat para gladiator tak pernah lari dari medan tempur. Tapi, Netanyahu tahu cara mangkir dari panggulan Tuhan. Rupanya, Iran adalah serigala kelaparan. Dalam seminggu, Israel menyerupai Gaza dalam hal kehancuran.
Tantangan Utama Gubernur Iqbal dari Bangsa Sasak Sendiri |
![]() |
---|
Masnun Tahir: Antara UIN Mataram dan NU NTB |
![]() |
---|
Merawat Kebersamaan Tanpa Unjuk Rasa, MotoGP Wajah Indonesia dari NTB untuk Dunia |
![]() |
---|
Hultah NWDI: Warisan Spiritualitas dan Kebersamaan |
![]() |
---|
Refleksi Pelantikan PW NU NTB: Mengikat Ukhuwah, Menata Masa Depan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.