Opini
Deep Learning Perlu untuk Semua Jenjang Pendidikan
Deep learning yang sedang diusung Mendikdasmen menurut hemat saya juga sangat penting diterapkan di kurikulum perguruan tinggi.
Samuelson dalam buku pengantar ekonominya memberikan ilustrasi struktur pasar dalam sebuah "continuum" yang mempunyai dua titik ekstrim di ujung kanan adalah pasar yang bersaing (seperti sifat malaikat), dan di ujung kiri adalah monopoli (seperti sifat iblis). Tentu kebanyakan yang berlaku di dunia nyata adalah di sepanjang kontinum tersebut (sifat manusia biasa).
Yang menarik untik ditanyakan kepada mahasiswa sebagai bagian dari deep learning adalah misalnya: dimana letak titik struktur pasar persaingan monopolistik dan oligopoli.
Mana yang lebih dekat ke ekstrim kanan atau sebaliknya? Tentu hal ini tidak dapat ditanyakan kepada mahasiswa yang hanya menghafal daftar asumsi struktur pasar. Tidak jarang poin-poin daftar tersebutlah yang menjadi materi dalam soal ujian.
Untuk metode kuantitatif seperti ekonometrika dan matematika ekonomi, deep learning semakin diperlukan. Mahasiswa tidak boleh hanya diberikan pengetahuan persaman-persamaan hubungan Y dan X, atau teknik menghitung besaran slope atau konstanta garis regresi.
Pemaknaan secara baik mulai dari pemahamam dasar semisal korelaai dan garis regresi sampai kepada mengartikan dengan "logika" ekonomi besaran parameter dugaan atau residual yang diperoleh seyogyanya menjadi sasaran pembelajaran.
Pada era 1980 dan 1990-an, di perguruam tinggi Indonesia pelajaran ekonometrika diberikan kepada mahasiswa dengan buku teks dari Koutsoyiannis. Dalam buku ini secara konsisten pemahaman awal teori regresi diberikan dengan ilustrasi fungsi konsumsi.
Meksipun ada kecenderungan secara rata-rata konsumsi akan naik dengan semakin besarnya pendapatan, namun pengeluaran masyarakat tertentu bisa lebih tinggi dibanding yang lainnya, meskipun dengan pendapatan yang sama, atau sebaliknya, karena ada faktor lain semisal jumlah anggota keluarga, living cost dll.
Garis regresi bertugas mecari dugaan besaran hubungan antara konsumsi dan pendapatan tersebut.
Lebih lanjut tentunya dosen dapat menjelaskan fenomena bahwa jika ada dua kelompok masyarakat atau negara yang berbeda pendapatannya, maka akan diperoleh kecenderungan mengkomsumsi yang lebih menuju satu atau nol, bahkan sampai kepada logika mengapa ekonpmi negara sedang berkembang seperti Indonesia lebih tinggi dari negara yang sudah maju.
Dengan demikian mahasiswa tidak hanya sekedar termpil dalam menghitung berbagai parameter dugaan. Tentu saja, cerita menarik lain semisal dari Gauss tentang tinggi badan anak dan orang tuanya juga akan dapat memperkaya logika mahasiswa.
Pada tingkat yang lebih tinggi, semisal materi data panel dinamik di ekonometrika, jika mahasiswa diberikan tugas membaca buku teks semisal dari Baltagi atau Hayashi, maka akan dapat dipeoleh berbagai ilustrasi dari hasil riset penulisnya.
Dalam satu model yang ditulis Baltagi berkenaan dengan kasus permintaan rokok di Amerika Serikat, setidaknya mahasiswa dapat belajar dari dua logika menarik yang dibangun dalam model.
Pertama, kata dinamik menunjukkan adanya pengaruh waktu terhadap variabel konsumsi rokok negara-negara bagian. Unsur dinamka muncul karena adanya sifat "addict" dalam mengkonsumsi rokok.
Ini sama halnya dengan jika ada riset konsumsi beras di Indonesia atau model investasi yang dibangun oleh Tobin.
Pengalaman saya dalam menelaah disertasi atau artikel jurnal, kebanyakan mahasiswa atau peneliti tidak menjelaskan logika tersebut, hanya menunjukkan bahwa di dalam model ada variabel beda kala di ruas kanan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.