Opini

Padang Savana dan Biosentrisme dalam Kehidupan Peternak Bima

Perjuangan peternak Bima bukan semata-mata soal mencari nafkah. Bukan sekadar relasi ekonomi kaku antara manusia dan hasil ternak.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
MERAWAT SAPI - Seorang peternak sapi di Kabupaten Bima memberikan makan kepada hewan-hewan ternak tersebut. Bima merupakan salah satu daerah asal pengiriman hewan kurban saat Idul Adha. 

Oleh: Furkan Sangiang, Ketua Asosiasi Peternak dan Pedagang Sapi Bima (APPSBI) 

Di bawah langit luas Bima, hamparan padang savana bergoyang ditiup angin. Di sanalah, peternak-peternak sederhana menjalin kisah sayang yang mungkin luput dari mata dunia: hubungan tanpa pamrih antara manusia dan hewan ternak.

Bagi para peternak Bima, sapi, kambing, dan kuda bukan sekadar komoditas ekonomi. Mereka adalah bagian dari keluarga, makhluk hidup yang diajak berbagi hidup, diberi makan, dirawat dengan penuh perhatian, bahkan diajak berbicara dalam bisik akrab. 

Di balik tangan-tangan kasar yang menuntun tali kekang, tersembunyi kelembutan hati. Mereka mengobati sapi yang terluka, mencari padang rumput terbaik, mengayomi di tengah terik dan hujan.

Inilah praktik nyata dari sebuah pandangan hidup yang disebut biosentrisme — ajaran bahwa seluruh makhluk, bukan hanya manusia, memiliki nilai setara di mata alam raya. 

Biosentrisme menolak keras antroposentrisme, yang selama berabad-abad menganggap manusia sebagai pusat dan penguasa tunggal bumi. 

Sebaliknya, biosentrisme menekankan bahwa setiap kehidupan, baik manusia, hewan, maupun alam itu sendiri, saling terhubung dalam satu jalinan tak terpisahkan.

Para peternak Bima, meski mungkin tidak pernah membaca teori besar itu, tapi mereka telah hidup di dalamnya. Mereka memahami bahwa memperlakukan ternak dengan kasih adalah bagian dari memperlakukan kehidupan dengan hormat. Bahwa kesehatan sapi mencerminkan kesehatan jiwa dan kesejahteraan mereka sendiri.

Maka dari itulah, ketika bencana kecil melanda di pelabuhan Gili Mas, luka itu terasa begitu dalam. Kala ribuan ternak harus menunggu terlalu lama di bawah panas membara, karena antrean panjang kapal yang terbatas, suara-suara para peternak seolah menyatu dengan alam, berteriak dalam keheningan. 

Sebanyak 16 ekor sapi mati kehausan dan kelelahan; ribuan lainnya mengalami kepanasan dan stres berat. 

Hewan-hewan yang mereka rawat dengan sepenuh hati selama berbulan-bulan, yang diberi makan, dilindungi, disayang, kini harus meregang nyawa karena keterlambatan armada kapal.

Tragedi ini menunjukkan: perjuangan peternak Bima bukan semata-mata soal mencari nafkah. Bukan sekadar relasi ekonomi kaku antara manusia dan hasil ternak. Melainkan lebih dalam — sebuah rantai simbiosis mutualisme antara manusia dan makhluk hidup lain. Mereka merawat ternak, dan ternak itu, pada gilirannya, menopang kehidupan keluarga mereka.

Lebih dari itu, relasi historis peternakan di Bima sudah mengakar kuat sejak berabad-abad lalu. Sejak masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Bima, daerah ini sudah dikenal sebagai pemasok utama kuda, kerbau, dan sapi untuk berbagai wilayah lain di Nusantara. 

Kuda-kuda tangguh dari Bima, kerbau-kerbau kuat, dan sapi-sapi sehat telah menghidupkan roda perdagangan dan menjadi kebanggaan di berbagai pelabuhan nusantara. 

Ini bukan sekadar potensi masa kini, tetapi warisan panjang yang telah membentuk identitas ekonomi masyarakat Bima.

Halaman
12
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved