Respons MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen, Ketua PKB NTB: Rakyat Jadi Punya Banyak Pilihan

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Penulis: Andi Hujaidin | Editor: Wahyu Widiyantoro
ISTIMEWA
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Hadrian Irfani. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Andi Hujaidin

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) NTB Lalu Hadrian Irfani menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penghapusan presidential threshold sebagai hal yang tepat.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI itu melihat keputusan soal ambang batas pencalonan capres dan cawapres akan membuka konstelasi politik baru di Indonesia. 

"Babak baru perpolitikan Indonesia, yang tentunya ke depan akan menimbulkan banyak beda pendapat dan kontroversi," katanya kepada Tribunlombok Sabtu (4/1/2025).

Konsekuensi dihapusnya PT 20 persen adalah potensi bertambahnnya capres dan cawapres di Pilpres 2029. 

Baca juga: 5 Alasan MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden

Ari, sapaan karibnya, menyebut hal itu merupakan sesuatu yang baik bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya pada periode berikutnya.

"Ya tentu ruang demokrasi akan semakin terbuka," ujarnya.

Bahkan menurut mantan anggota DPRD NTB itu keputusan membuka peluang lebih banyak bagi warga negara untuk menjadi pemimpin.

"Masyarakat memiliki banyak pilihan dan negara menjamin hak warga negara siapapun dan dari latar belakang apapun bisa menjadi pimpinan nasional," tandasnya.

MK Hapus Presidential Threshold 

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Hal itu tercantum dalam putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang, Kamis (2/1/2025). 

Dalam Putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) yakni hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foech.

Adapun gugatan uji materiil ini dilayangkan  empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk.

Ketua MK Suhartoyo mengatakan pokok permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah beralasan menurut hukum.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo dikutip dari laman resmi MK. 

Lalu, apa saja pertimbangan MK dalam menghapus presidential threshold seperti tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu)?

1. Bertentangan dengan hak politik

Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 dinilai tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. 

Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

MK telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.

2. Polarisasi Masyarakat

MK  menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.

"Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia," ucap Saldi.

3. Kecenderungan Kotak Kosong

Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. 

Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.

Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” sebut Saldi.

4. Jumlah Paslon Capres-Cawapres

MK mempertimbangkan sekalipun norma ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional, sebagai negara dengan sistem presidensial yang dalam praktik tumbuh dalam balutan model kepartaian majemuk (multi-party system), tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu.

MK telah menegaskan dalam pertimbangan hukumnya bahwa pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional (constitutional right) semua partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, dalam revisi UU Pemilu, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

5. Pilpres Putaran Kedua

Mahkamah mempertimbangkan bahwa sekalipun secara konstitusional terdapat ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang pada pokoknya telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua (second round), jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia.

Pedoman MK tentang Pilpres

MK memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

2. pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

3. dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

4. partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

5. perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved