5 Alasan MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden

Apa saja pertimbangan MK dalam menghapus presidential threshold dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017?

|
mkri.go.id
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam pembacaan putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang, Kamis (2/1/2025). 

TRIBUNLOMBOK.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Hal itu tercantum dalam putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang, Kamis (2/1/2025). 

Dalam Putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) yakni hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foech.

Adapun gugatan uji materiil ini dilayangkan  empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk.

Ketua MK Suhartoyo mengatakan pokok permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah beralasan menurut hukum.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo dikutip dari laman resmi MK. 

Lalu, apa saja pertimbangan MK dalam menghapus presidential threshold seperti tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu)?

1. Bertentangan dengan hak politik

Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 dinilai tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. 

Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

MK telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.

2. Polarisasi Masyarakat

MK  menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.

"Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia," ucap Saldi.

Halaman
12
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved