Opini
Survei untuk Pilkada
Jangankan kita di Indonesia. Di Amerika saja, dalam proses perhelatan pilpres, para pihak yang merasa dirugikan release hasil survei pasti menolak.
Atau mereka mengisi dengan sebuah rekayasa. Artinya bukan keluar dari hati nurani. Ini bisa terjadi karena adanya faktor pendorong dari luar. Misalnya ada rasa takut apabila pada waktu survei ketahuan memilih calon tertentu, akan mendapat teror dari calon yang lain.
Sehingga pilihan waktu survei berbeda dengan ketika di bilik suara. Itu yang disebut human error dan masuk dalam kategori non sampling error.
Contoh lainnya adalah ketika money politik demikian gencar, menggiurkan, dan masif. Ada serangan fajar yang luar biasa, yang mempengaruhi si pemilih sehingga melawan hati nuraninya sendiri. Ketika survei dia memilih sesuai dengan hati nuraninya, sedangkan waktu hari H, dia di bilik suara, memilih calon yang memberikan dia sesuatu.
Dinamika situasi dan kondisi psikologis masyarakat juga sering mempengaruhi dinamisnya hasil survei. Pada setiap survei, khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah dapat juga terjadi perubahan pilihan.
Pada peristiwa Pilgub NTB lima tahun lalu, hasil survei pada awal-awal proses pendaftaran bakal calon, pasangan yang kuat di awal waktu itu bukan pasangan yang kemudian memenangkan kontestasi.
Bagaimana logikanya?
Dalam setiap survei, ada tiga kategori responden yang dapat terdeteksi. Yang pertama adalah kelompok masyarakat pemilih loyal. Artinya orang-orang ini tidak akan mau mengubah pilihannya, sampai ke bilik suara. Entah alasan ideologis, atau politis.
Kategori kedua adalah pemilih rasional. Kelompok pemilih ini bisa saja berubah pilihannya, tergantung dari proses kampanye dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi dirinya.
Ketiga, adalah kelompok pemilih yang tidak terlalu peduli dengan Pilkada. Tidak terlalu menghiraukan siapa yang akan mereka pilih dalam proses pilkada. Bisa jadi mereka menjadi apatis dan kemudian golput.
Kelompok inilah yang dalam proses pemilu disebut sebagai massa mengambang atau floating mass. Termasuk dalam floating mass ini adalah mereka yang berasal dari kelompok pemilihan rasional, yang pada waktu survei, belum menentukan pilihannya.
Proporsi floating mass ini biasanya, di awal-awal survei nilainya cukup tinggi. Bisa 30 atau 40 an persen. Prosentase mereka biasanya makin dekat dengan hari H semakin kecil jumlahnya.
Artinya, jumlah mereka yang kemudian menetapkan pilihannya makin hari makin besar. Dan, kelompok inilah yang dapat menjadi target penambahan suara.
Itulah sebabnya, kalau survei dilakukan mendekati hari H, katakanlah H min 30 atau H min 15, umumnya hasilnya tidak akan berubah, alias konsisten dengan hasil pemilu yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bissawab.
(*)
Tantangan Utama Gubernur Iqbal dari Bangsa Sasak Sendiri |
![]() |
---|
Masnun Tahir: Antara UIN Mataram dan NU NTB |
![]() |
---|
Merawat Kebersamaan Tanpa Unjuk Rasa, MotoGP Wajah Indonesia dari NTB untuk Dunia |
![]() |
---|
Hultah NWDI: Warisan Spiritualitas dan Kebersamaan |
![]() |
---|
Refleksi Pelantikan PW NU NTB: Mengikat Ukhuwah, Menata Masa Depan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.