Opini
Survei untuk Pilkada
Jangankan kita di Indonesia. Di Amerika saja, dalam proses perhelatan pilpres, para pihak yang merasa dirugikan release hasil survei pasti menolak.
Oleh: Rosiady Sayuti, Ph.D.
Dosen Prodi Sosiologi FHISIP Unram
Pendiri POLRAM, Political Research and Marketing
Survei dan Pilkada. Survei dan Pilpres. Survei dan Pileg. Adalah kata-kata yang sekarang sudah tidak asing lagi di pendengaran kita.
Beberapa tahun lalu saya sempat menulis, intinya menyinggung survei dan dukun politik. Waktu itu saya menulis, daripada para calon menghabiskan dana untuk membeli “jahe politik” yang konon harganya ratusan juta, yang direkomendasikan orang pintar, lebih baik dananya dipakai untuk survei, suatu kegiatan yang jelas sanad ilmunya. Jelas teorinya. Telah terbukti hasilnya. Meski tetap juga ada kontroversinya.
Jangankan kita di Indonesia. Di Amerika saja, dalam proses perhelatan pilpres, seperti yang sekarang ini sedang terjadi, para pihak yang merasa dirugikan release hasil survei pasti menyatakan penolakannya terhadap hasil survei tersebut.
Sebaliknya, bagi yang merasa diuntungkan, karena dalam survei dia yang dinyatakan berpotensi besar untuk menang, pasti akan mem-blow up hasil survei. Jadi kontoversi hasil survei seperti itu adalah sesuatu yang biasa terjadi.
Terlepas dari berbagai kontroversi itu, kegiatan survei dalam proses pemilihan umum, khususnya Pilkada maupun Pilpres terus berlanjut. Para kandidat siap menggelontorkan dananya untuk mengetahui tingkat popularitas dan elektabilitasnya di mata publik.
Dengan survei akan diketahui daerah mana saja yang dianggap sebagai kantong suaranya. Daerah mana yang masih masuk dalam zona merah atau masyarakat paling sedikit memilihnya.
Dengan survei dapat dibedah apa persoalan yang kira-kira berkembang di mayarakat. Apa yang terjadi dengan masyarakat di situ. Siapa tokoh atau sosok paling berpengaruh di situ. Atau mungkin mereka sudah punya tokoh yang akan dipilih bila pilkada dilaksanakan hari itu.
Melalui survei juga dapat dipotret persepsi dan ekspektasi masyarakat pemilih. Apa yang diharapkan dapat diprogramkan oleh calon kepala daerah bila terpilih. Janji-janji politik apa yang paling mengena di hati para calon pemilih.
Ini sangat penting untuk digali. Untuk itu, survei adalah alat untuk menggalinya. Saya yakin, kampanye makan siang gratis yang digencarkan salah satu paslon dalam Pilpres 2024 diperoleh melalui survei, dan terbukti efektif dalam memenangkan kontestasi.
Mungkinkah hasil survei itu salah? Artinya apa yang dipotret dalam sebuah kegiatan survei tidak terbukti. Jauh melenceng dari apa yang terjadi pada populasi.
Secara teoritis, menurut ilmu statistik, faktor yang dapat menyebabkan hasil survei itu salah dikenal dengan istilah sampling error dan non sampling error. Disebut sampling error, atau kesalahan sampel, apabila salah mendesain sampelnya.
Sampel yang didisain ternyata tidak dapat dipakai untuk menggambarkan keadaan populasi. Apakah karena jumlah respondennya yang tidak representatif, atau sampling areanya yang tidak dapat mewakili tingkat keragaman populasi yang akan dipotret.
Sementara non sampling error, artinya kesalahan yang disebabkan bukan karena salah desain sampel. Tapi lebih ke arah human error, seperti kurang cermatnya enumerator dalam menggali informasi responden. Atau kesalahpahaman responden dalam memberikan jawaban pada enumerator saat mengisi kuesioner.
Atau mereka mengisi dengan sebuah rekayasa. Artinya bukan keluar dari hati nurani. Ini bisa terjadi karena adanya faktor pendorong dari luar. Misalnya ada rasa takut apabila pada waktu survei ketahuan memilih calon tertentu, akan mendapat teror dari calon yang lain.
Sehingga pilihan waktu survei berbeda dengan ketika di bilik suara. Itu yang disebut human error dan masuk dalam kategori non sampling error.
Contoh lainnya adalah ketika money politik demikian gencar, menggiurkan, dan masif. Ada serangan fajar yang luar biasa, yang mempengaruhi si pemilih sehingga melawan hati nuraninya sendiri. Ketika survei dia memilih sesuai dengan hati nuraninya, sedangkan waktu hari H, dia di bilik suara, memilih calon yang memberikan dia sesuatu.
Dinamika situasi dan kondisi psikologis masyarakat juga sering mempengaruhi dinamisnya hasil survei. Pada setiap survei, khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah dapat juga terjadi perubahan pilihan.
Pada peristiwa Pilgub NTB lima tahun lalu, hasil survei pada awal-awal proses pendaftaran bakal calon, pasangan yang kuat di awal waktu itu bukan pasangan yang kemudian memenangkan kontestasi.
Bagaimana logikanya?
Dalam setiap survei, ada tiga kategori responden yang dapat terdeteksi. Yang pertama adalah kelompok masyarakat pemilih loyal. Artinya orang-orang ini tidak akan mau mengubah pilihannya, sampai ke bilik suara. Entah alasan ideologis, atau politis.
Kategori kedua adalah pemilih rasional. Kelompok pemilih ini bisa saja berubah pilihannya, tergantung dari proses kampanye dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi dirinya.
Ketiga, adalah kelompok pemilih yang tidak terlalu peduli dengan Pilkada. Tidak terlalu menghiraukan siapa yang akan mereka pilih dalam proses pilkada. Bisa jadi mereka menjadi apatis dan kemudian golput.
Kelompok inilah yang dalam proses pemilu disebut sebagai massa mengambang atau floating mass. Termasuk dalam floating mass ini adalah mereka yang berasal dari kelompok pemilihan rasional, yang pada waktu survei, belum menentukan pilihannya.
Proporsi floating mass ini biasanya, di awal-awal survei nilainya cukup tinggi. Bisa 30 atau 40 an persen. Prosentase mereka biasanya makin dekat dengan hari H semakin kecil jumlahnya.
Artinya, jumlah mereka yang kemudian menetapkan pilihannya makin hari makin besar. Dan, kelompok inilah yang dapat menjadi target penambahan suara.
Itulah sebabnya, kalau survei dilakukan mendekati hari H, katakanlah H min 30 atau H min 15, umumnya hasilnya tidak akan berubah, alias konsisten dengan hasil pemilu yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bissawab.
(*)
Tantangan Utama Gubernur Iqbal dari Bangsa Sasak Sendiri |
![]() |
---|
Masnun Tahir: Antara UIN Mataram dan NU NTB |
![]() |
---|
Merawat Kebersamaan Tanpa Unjuk Rasa, MotoGP Wajah Indonesia dari NTB untuk Dunia |
![]() |
---|
Hultah NWDI: Warisan Spiritualitas dan Kebersamaan |
![]() |
---|
Refleksi Pelantikan PW NU NTB: Mengikat Ukhuwah, Menata Masa Depan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.