Opini
Robohnya Radio Kami dan Harapan untuk Dunia Kepenyiaran, Catatan KPID Award NTB 2023
Regulasi dan penetrasi media kepenyiaran harus menyasar generasi ini. Dan regulator pun perlu juga menyadari pentingnya pemahaman generasi saat ini.
Oleh: Muhammad Ihsanul Wathony
Dr H Sitti Rohmi Djalilah mengucapkan pamit atas 5 tahun kepemimpinannya sebagai wakil Gubernur NTB di acara KPID Award, Senin pagi 11 September 2023.
Ummi Rohmi, sapaan akrab keibuannya, sebagai wanita paling berpengaruh di Nusa Tenggara Barat berucap lugas, “Saya meminta maaf dan sedih harus berpisah. Tapi percayalah masih tetap di hati.”
Sebagai orang yang pernah lahir dan dibesarkan di dunia kepenyiaran pada masa lalu di Riper FM lombok, saya ikut bahagia dan bangga karena pemimpin wanita pertama di NTB ini mengucapkan perpisahan di acara berkumpulnya insan penyiaran “Anugrah Kepenyiaran KPID Award 2023”.
Selamat dan terima kasih kepada KPID NTB telah sukses melaksanakan acara tersebut.
KPID Award NTB 2023, Anugrah untuk Lembaga Kepenyiaran di Nusa Tenggara Barat ini diselenggarakan persis pada Hari Radio Nasional, 11 September.
Tanggal dan bulan tersebut mengacu pada tahun1945 saat Radio Republik Indonesia RRI)berdiri, 78 tahun yang lalu. Maka itu, 11 September juga dikenal sebagai Hari kelahiran RRI.
Di NTB, khususnya pulau Lombok pada medio tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an, selain RRI ada beberapa radio lain yang dikenal luas dengan beberapa segment yang mengudara, yaitu Radio Rinjani Permai (radio Riper), Radio Suta Remaja, Gemini, Idola, Mandalika, Hacandra radio, radio dengan frequensi FM pertama di NTB, CNL FM dan nama-nama beken lainnya pada masa itu.
Ada yang spesial juga di Lombok dan menjadi sejarah dunia kepenyiaran Indonesia di Nusa Tenggara Barat.
Pernah lahir Lombok TV, pioneer TV lokal yang bertengger sejajar dengan Jack TV Jakarta dan TA-TV Solo sebagai TV lokal yang pernah berjaya pada masanya.
Tahun 2009-2010, setelah era digital dan sosial media mulai menyerbu khalayak dan pada saat yang sama media cetak mulai pula mati suri, radio memasuki masa senjakala.
Sapaan akrab para penyiar dan para pendengar tidaklah lagi menjadi primadona bagi masyarakat.
Radio seperti jauh dari khalayak dan para host, presenter, penyiar dan apapun sebutannya, direbut oleh para pendengarnya sendiri lewat platform sosial media yang serta merta bisa langsung tayang seketika dan semaunya.
Zaman memang sudah berubah. Siapa pun yang memiliki perangkat smartphone dan platform social media dapat langsung menjadi pewarta berita, padahal dulunya para pewarta adalah sebuah kemewahan dan previlage bagi setiap orang yang bekerja pada masanya.
Para pewarta baru (masyarakat) yang bersiar sekarang tidak bersentuhan dan tidak terikat dengan manajemen redaksi, rapat redaksi, mencari berita, perebutan jam siar prime time, berdebat di meja siar, format clok, songlist, dan lain-lain. Saat ini semuanya bebas. Itulah kehendak zaman yang tak bisa dilawan.
Belum lagi secara komersial para pengiklan sudah tidak lagi melihat media konvensional ini sebagai jalur iklan yang bisa mempenetrasi pengetahuan produknya ke masyarakat, sehingga makin komplitlah tantangan dunia kepenyiaran untuk terus hidup mempertahankan eksistensinya.
Tantangan zaman oleh insan kepenyiaran harus dijawab, dan banyak hal harus segera dibenahi.
Di kota-kota besar, dunia kepenyiaran sudah berkawin dengan kondisi kekinian yang kompleks.
Televisi nasional dan radio nasional tidak lagi mengandalkan frequensi publik untuk bersiar.
Mereka berceruk panggung dengan mengkombinasi frequensi dan data/internet menjadi satu ramuan, sehingga kepenyiaran mereka bisa sedikit berimbang walau masih agak terkendala dengan sisa doktrin-doktrin kepenyiaran lama yang konvensional.
Seharusnya di daerah pun harus demikian: berbenah dan menjawab tantangan zaman. Perkembangan teknologi dan informasi mesti segera disesuaikan.
Insan kepenyiaran jangan terlena oleh nostalgia dan jaya masa lalu. Zaman sudah berubah, dan semua harus berubah, termasuk juga regulator kepenyiaran. Semuanya dituntut mampu mengimbangi zaman supaya tidak mati terlindas.
Pengetahuan kepenyiaran, regulasi, dan kecenderungan pasar pada masyarakat harus dipadukan, supaya dunia kepenyiaran terus hidup, dan para pengiklan bisa mempercayai lembaga kepenyiaran.
Jangan sampai KPI dan KPID menjadi lembaga yang hanya mengatur dan menjadi wadah nostalgia regulasi kepenyiaran.
Karena inilah yang justru akan menjadikan lembaga tersebut ditinggal oleh pemirsanya, di tengah merajalelanya rezim platform digital dan media sosial yang meraksasa.
“Selalu di hati”, sebagaimana diucapkan Ummi Rohmi, adalah ungkapan sederhana. Generasi satu dekade nanti berucap yang sama, bahwa platform yang mereka mainkan hari ini akan menjadi kenangan di hati, sembari mengingat momen-momen indah di masa lalu dengan mainan masing-masing.
Pasca zaman milenial yang melahirkan banyaknya senjakala dunia media dan kepenyiaran, Generasi Z bisa jadi sudah tidak akan lagi mengenal apa itu radio dan televisi.
Sedari baru bangun tidur sampai menjelang tidur lagi mereka bermain dengan smartphone, menonton konten dan bermain game.
Maka dari itu, dunia regulasi dan penetrasi media kepenyiaran harus menyasar generasi ini. Dan regulator pun perlu juga menyadari pentingnya pemahaman Generasi Dino, Milenial, dan Gen-Z ini.
Bila yang dimaksud regulator adalah KPID yang komisionernya terpilih dengan proses politik lewat usulan dan dimatangkan di DPR-D, hal yang harus dipertimbangkan adalah kompetensi dan pemahaman dunia kepenyiaran itu sendiri. Yang tak kalah penting adalah personil yang terpilih mestinya orang yang selama hidupnya mengabdikan diri di dunia kepenyiaran.
Mereka ini mestinya orang yang selama hidupnya merasakan atau mempelajari bagaimana hidup dan matinya lembaga kepenyiaran, baik secara eksistensi dan atau sebagai lembaga kepenyiaran secara bisnis.
Jangan sampai keterpilihan komisioner KPID lebih kental titip pesan politik-nya lebih mengemuka.
Eksistensi lembaga penyiaran yang dimaksud adalah lembaga yang terus eksis, dan secara komersil mendapatkan iklan serta bisa menghidupi awak medianya.
Kepenyiaran bukan sekadar “Hallo hai,” “Hai gaes,” “sahabat pendengar”, dan sapaan pembuka lainnya.
Tetapi Lembaga penyiaran juga harus diartikan sebagai sebuah “Station ID” lembaga komersial atau perusahaan pada umumnya.
Selain sisi manajemen redaksi, ia juga utuh sebagai sebuah “Company” yang berbasis perolehan keuntungan, menggaji karyawan, dan menghitung laba rugi.
Maka di sana ada struktur perusahaan, direktur, kepala siaran, departemen penjualan, departemen produksi dan kreatif, layanan Masyarakat, dan lain-lain.
Apa yang terjadi? Faktual-nya banyak insan kepenyiaran hanya di insert sekedarnya untuk menduduki posisi tertentu hanya karena punya jaringan kedekatan tanpa pengetahuan utuh tentang dunia Broadcasting itu terjadi bukan sekedar di lembaga regulator tetapi juga di lembaga penyiaran itu sendiri.
Pada sisi lain, masih ada di Lombok orang-orang dengan usia yang sudah sepuh teguh bergiat dalam dunia kepenyiaran.
Mereka masih bisa memegang microphone, bersiar di tengah gempuran media berjejaring nasional dan social media.
Salah satu legenda dalam dunia penyiaran adalah Dimas Valentino, berusia kurang lebih 60 tahun dan bercuap-cuap di radio sudah sejak tahun 1982. Ada juga Lalu Darwil yang sudah berusia di atas 50 tahun.
Mereka hidup dan berkontribusi di dunia kepenyiaran.
Tak hendak bernostalgia dengan masa kejayaan, mereka adalah museum hidup dan saksi dunia kepenyiaran dan masih eksis sampai sekarang.
Para penyaksi ini haruslah didudukkan pada tempat yang mulia. Secara seremonial mereka barangkali tidak akan mendapat tempat di era generasi Z dan platform digital ini.
Akan tetapi setidaknya penghormatan atas pengkhidmatan mereka pada dunia kepenyairan ada yang menghargai.
Pada kesempatan Anugrah Kepenyiaran yang dihadiri oleh Wagub Sitti Rohmi Djalilah—beliau juga membacakan beberapa nominasi dan memberikan penghargaan kepada beberapa lembaga kepenyiaran—semoga ada tempat khusus untuk para pendiri lembaga penyiaran yang pernah menghidupi banyak insan kepenyiaran.
Selain itu, Semoga pula legenda hidup kepenyiaran di NTB yang masih eksis diberikan tempat dan dihargai pada anugrah-anugrah serupa.
Senjakala akan mengubah malam. Dan di tengah doa yang baik sebelum tidur, mimpi indah akan hadir oleh jiwa yang tenang, Pagi akan terbit kembali untuk melahirkan harapan-harapan dari mimpi yang entah: apakah kita akan capai sekarang, atau anak cucu kita akan meraihnya, dan mengenang kita sebagai pejuang tangguh atas kesuksesan dan kegemilangan mereka.
Terimakasih Ummi Dr Sitti Rohmi Djalilah, We came through and we shall return.
(*)
Catatan penulis: Muhammad Ihsanul Wathony, pernah bekerja di Riper FM, Masima Radionet (Brand Delta FM), dan RAS FM.
Praktik Baik Kebijakan Publik Berbasis Bukti dari Kabupaten Lombok Tengah |
![]() |
---|
Dari Puing ke Peluang, Refleksi Gempa Lombok 2018, Bangkitnya Jiwa Kolektif dan NTB Tangguh |
![]() |
---|
Abolisi dan Amnesti Prabowo, Rekonsiliasi Demi Persatuan Bangsa |
![]() |
---|
Fornas di NTB: Daya Tarik Wisata Hingga Kalkulasi Ekonomi Sang Gubernur |
![]() |
---|
Kebijakan Pembiayaan Partai Politik oleh Negara |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.