Kemenkumham NTB

Tradisi Merarik atau Selarian Bertentangan dengan KUHP Nasional, Ini Penjelasan Wamenkumham RI

Selarian atau suku sasak menyebutnya Merarik,bertentangan dengan 1 pasal di KUHP Nasional, tapi menurut Wamenkumham, tradisi memiliki pedoman sendiri.

|
Penulis: Robby Firmansyah | Editor: Atina
TRIBUNLOMBOK.COM/ROBBY FIRMANSYAH
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, tradisi yang dianggap bertentangan akan diatur dalam pedoman lain sehingga tidak langsung terkategori pidana. 

Laporan wartawan TribunLombok.com, Robby Firmansyah

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Beberapa tradisi di berbagai daerah dianggap bertentangan dengan pasal pasal yang terkandung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

Satu di antaranya tradisi Merarik dalam masyarakat Suku Sasak, yakni tradisi adat laki-laki Lombok membawa kabur perempuan yang akan dinikahi. 

Ada daerah lain juga yang memiliki tradisi sama meskipun dengan istilah berbeda, seperti Londo Iha pada Suku Mbojo Bima, Selariang pada Suku Makassar, atau yang paling umum disebut Selarian. 

Dalam KUHP yang baru disahkan Januari 2023, ada pasal mengatur jika cara-cara tersebut dilarang dan masuk dalam perbuatan pidana. 

Dalam pasal  454 KUHP, melarang membawa pergi perempuan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan tersebut, baik di dalam maupun di luar perkawinan.

Baca juga: Sosialisasikan KUHP Nasional, Kumham Goes To Campus Sambangi Universitas Mataram

Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, jika tradisi tersebut bukan termasuk pidana.

Alasannya, karena dalam penerapan pasal harus memperhatikan tradisi yang berlaku dalam masyarakat.

"Ketika penerapan sanksi pidana, itu ada pedoman pembinaan, salah satu pedoman pembinaan itu harus memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat, tentunya itu ekstra hati-hati," jelas Eddie, Kamis (13/7/2023).

Selain merarik kata Eddie, juga ada pasal lain yang disoal hingga ditolak pada beberapa daerah di Indonesia, yakni Kohabitasi. 

Kohabitasi dimasukan dalam pasal KUHP, karena dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai hal yang mengatur privasi setiap orang.

"Ketika kami berada dalam satu provinsi itu masyarakatnya menolak untuk Kohabitasi diatur dalam Undang-undang. Dengan alasan pemerintah terlalu mencampuri urusan privasi," jelas Eddie

Namun pada beberapa daerah seperti Sumatera Barat, justeru pemerintah dianggap tidak serius menangani persoalan Kohabitasi. 

Sehingga dikatakan Eddie, masyarakat menginginkan siapapun boleh melaporkan tindakan seperti itu. 

Untuk diketahui, Kohabitasi adalah hidup bersama sebagai suami istri tanpa adanya ikatan perkawinan. 

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved