Wawancara Khusus
Suhardi Soud: KPU Harus Berani Masuk ke Ruang yang Disenangi Anak Muda
Hingga hari ini telah hampir 20 tahun Suhardi Soud berkhidmat menjaga napas demokrasi yang berkualitas.
Penulis: Lalu Helmi | Editor: Dion DB Putra
Kalau kita sosialisasi secara biasa, resmi dan formal mungkin mereka tidak akan tertarik. Irama yang menarik, isu-isu yang pas bagi milenial maka itu juga akan memudahkan.
Makanya orang di Facebook, di grup WA bisa saling memasuki. Ini yang kita harapkan agar dimensi positif pemilu ini tidak hanya soal perdebatan, pertarungan.
Tetapi juga ada dimensi kegembiraan. Datang gembira dan happy. Itu makna pesta demokrasi. TPS nanti bisa menjadi ruang untuk mempererat persaudaraan.
Tanggung jawab KPU adalah kegembiraan dalam memilih itu bisa kita transformasikan sampai ke muaranya. Misalnya orang memilih si A, si B atau si C tidak boleh diintervensi. Makanya kemudian KPU menawarkan sistem informasi pada saat pemungutan suara.
Tadi Pak Suhardi menyinggung sedikit soal regulasi, kira-kira regulasi apa yang menjadi fokus KPU untuk disosialisasikan sekarang?
Memang harus kita akui, UU yang digunakan atau regulasi dasar yang digunakan antara 2019 dan 2024 itu sama yakni UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Karena undang-undangnya sama, maka PKPU-nya harus lebih punya lompatan ketimbang yang di 2019 lalu.
Kalau dulu misalnya iklan tidak banyak menggunakan media online, sekarang harus dibuka peluang bagi peserta pemilu untuk melakukan kampanye di media, tidak hanya media cetak. Apalagi sekarang media digital sangat luar biasa, dan ini harus diakomodir oleh KPU dalam membuat regulasi.
Untuk konteks NTB, apa yang menjadi tantangan dan perhatian serius dari KPU?
Kalau NTB, alhamdulilah selama saya di penyelenggara pemilu, ini menjadi periode kedua, masyarakat sudah terbiasa berdemokrasi, tidak sampai berdarah-darah, isu-isunya sudah bisa terkelola dengan baik.
Isu-isu lokal misalnya nggak lagi terlalu kuat. Tapi soal kompetensi soal kapasitas, dan yang terpenting yang ingin saya sampaikan ke publik bahwa masyarakat harus tahu isi pikiran para calon dan kontestan karena mereka inilah yang akan membuat regulasi, mengatur kebijakan.
Ini kan harus diuji juga. Maka harus banyak ruang dari masyarakat untuk menguji kapasitas mereka.
Kenapa tidak nantinya calon presiden, calon gubernur dan bupati buat podcast, atau caleg dilihat isi kepalanya seperti apa. Karena pemilu kita ini mahal, harus menghasilkan orang-orang terbaik. (lalu helmi/bersambung)
Simak wawancara khusus lainnya di sini