Sejarah Tambora 

Heinrich Zollinger, Orang Pertama yang Mendaki Tambora Sesudah Meletus Hebat

Heinrich Zollinger ahli botani asal Swiss. Ia lahir di Feuerthalen, 22 Februari 1818. Jadi saat Tambora meletus dahsyat, Zollinger belum lahir.

Penulis: krisnasumarga | Editor: krisnasumarga
Tribunlombok.com/Setya Krisna Sumarga
KALDERA TAMBORA - Penampakan kaldera raksasa Gunung Tambora berdiameter 7 kilometer, dilihat dari puncak timur gunung. Puncak ini bisa dicapai lewat jalur pendakian Piong, Kecamatan Sanggar, Kabupaten Bima. 

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Butuh waktu 32 tahun bagi Tambora untuk diketahui keadaan puncak dan kalderanya sesudah letusan super 5-11 April 1815. Orang pertama yang berhasil mencapai puncak adalah Heinrich Zollinger.

Ia menapakkan kakinya di bibir kaldera raksasa Tambora pada 1847 lewat jalur timur, atau sekarang Piong di Kecamatan Sanggar, Bima. Biaya pendakian itu sangat mahal untuk ukuran masa waktu itu.

Selain pencinta alam, Zollinger juga ahli botani asal Swiss. Ia lahir di Feuerthalen, 22 Februari 1818. Jadi saat Tambora meletus dahsyat, Zollinger belum lahir.

Ia mempelajari botani antara 1838-1839 di Universitas Jenewa, tapi putus sekolah karena alasan keuangan. Tahun 1842 dia tiba di Jawa dan bekerja di kebun botani milik pemerintah kolonial.

Baca juga: Gulungan Api Raksasa Tambora Menyapu Segala Penjuru Gunung

Baca juga: Tanda-tanda Letusan Gunung Tambora Muncul Tiga Tahun Sebelum April 1815

Baca juga: Letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa Terdahsyat dalam 10 Ribu Tahun Terakhir

Sesudah mendaki Tambora pada 1847, Zollinger pulang ke Swiss, namun kembali lagi ke Jawa pada 1855 bersama istri dan kedua anaknya.

Zollinger meninggal pada 19 Mei 1859 di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan karena sakit malaria berkepanjangan.

Tanaman di Lereng Musnah  

Dalam laporan ekspedisi Zollinger, ia mencatat flora Pulau Sumbawa mengalami degenerasi sangat tajam. Banyak tanaman yang tadinya tumbuh subur di sekeliling gunung itu musnah.

Hingga hampir setengah abad sesudah letusan, tempat-tempat yang tadinya rimbun oleh pepohonan rapat, masih berselimut pasir dan debu.

PUNCAK TIMUR - Panorama di bibira kaldera sisi timur Gunung Tambora dari jalur Piong, Kecamatan Sanggar, Kabupaten Bima, NTB.
PUNCAK TIMUR - Panorama di bibira kaldera sisi timur Gunung Tambora dari jalur Piong, Kecamatan Sanggar, Kabupaten Bima, NTB. (Tribunlombok.com/Setya Krisna Sumarga)

Dalam perjalanannya menuju puncak, Zollinger melihat jejak-jejak nyata letusan. Endapan debu sangat luas, dan desa-desa kosong serta terdapat kuburan-kuburan pendudukya.

Ladang-ladang yang tadinya penuh hamparan padi, berubah jadi sabana ilalang dan perdu. Dari warga yang selamat, Zollinger mendapati ada perubahan suhu udara yang cukup ekstrem.

Menurut Zollinger, kepunahan vegetasi membuat udara lebih kering dan panas. Musim kemarau lebih panjang dan sumber-sumber air ikut mengering.

“Puncak gunung seluruhnya telanjang mulus, tetapi di sanalah dia melihat kawah gunung Tambora,” tulis Zollinger dikutip antropolog Bernard de Joung (Letusan Tambora 1815: 2012).

Sesudah Zollinger, ada beberapa pendaki yang mencoba meneliti dan menelusuri Tambora. Antara lain Pannekoek van Rheden (1913), dan Petroeschesvky (1947).

Kesaksian mereka masih mirip meski sudah melihat ada tanda-tanda kehidupan flora di sekitar lereng dan puncak serta kaldera gunung.

Halaman
123
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved