Sejarah Gempa dan Tsunami Flores Tahun 1992, Ribuan Jiwa Meninggal Dunia  

Bencana yang terjadi 12 Desember 1992 itu, gempa dengan magnitudo 7.8 menyebabkan tsunami yang menghancurkan permukiman warga di pesisir utara Flores.

Dok. Instagram daryonobmkg
Potret dampak gempa dan tsunami di Flores, NTT tahun 1992 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Gempa dengan magnitudo 7.4 di barat laut Larantuka, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (14/12/2021), membuka kembali memori tentang peristiwa trsunami Flores, tahun 1992 silam.

Dalam bencana yang terjadi 12 Desember 1992 itu, gempa dahsyat dengan magnitudo 7.8 menyebabkan tsunami yang menghancurkan permukiman warga di pesisir utara Flores.

Bencana dahsyat tersebut menyebabkan tidak kurang dari 2.500 orang meninggal dunia.

Sebanyak 500 orang hilang, 500 orang menderita luka-luka, dan 5.000 orang mengungsi.

Gempa dan tsunami tersebut juga merusak lebih dari 18 ribu rumah, 113 sekolah, dan 90 tempat ibadah.

Beberapa kabupaten yang terdampak bencana ini adalah Sikka, Ngada, Ende, dan Flores Timur.

Baca juga: Polda NTB Tekan Angka Fatalitas Korban Kecelakan Lalu Lintas Selama Operasi Zebra Rinjani 2021

Sebelum gempa hari ini, dua hari lalu, Minggu (12/12/2021), Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono telah memposting catatan sejarah gempa dan tsunami Flores tersebut di akun mendia sosialnya.

Pada akun Instagram daryonobmkg, Daryono memberikan peringatan agar warga tidak lupa dengan sejarah trsunami Flores tersebut.

Berikut tulisan lengkap Daryono di akun media sosialnya.

Melawan lupa: hari ini 29 tahun lalu tepatnya pada 12 Desember 1992 Tsunami Flores. Gempa dahsyat dengan magnitudo M 7,8 yang berpusat di Laut Flores membangkitkan tsunami yang menghancurkan permukiman di Pulau Babi dan pesisir utara Flores. Tsunami menyebabkan korban jiwa setidaknya 2.500 orang meninggal, 500 orang hilang, lebih dari 500 orang menderita luka-luka, dan lebih dari 5.000 orang mengungsi. Gempa dan tsunami Flores 1992 merusak lebih dari 18.000 rumah, 113 sekolah, dan 90 tempat ibadah. Beberapa kabupaten yang terdampak bencana ini adalah Sikka, Ngada, Ende, dan Flores Timur.

Dua hari setelah memposting tulisan tersebut, hari ini, Selasa (14/12/2021), pukul 10.20 WIB terjadi gempa dengan magnitudo 7.4 di laut Flores, NTT.

Sehingga BMKG pun sempat mengeluarkan perintan dini tsunami.

Meski kejadian gempa tersebut tidak memiliki kaitan dengan tulisan Daryono, namun gempa 29 tahun silam dalam rentan waktu hampir sama, hari ini terulang.

Sehingga bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak.

Baca juga: Penyeberangan Kayangan-Pototano Normal, Gapasdap Minta Tarif Dinaikkan

Baca juga: Gempa di Nusa Tenggara Timur Tidak Terkait Aktivitas Gunung Semeru dan Gunung Awu

Dalam postingan selanjutnya, Daryono juga memposting tren grafik tsunami di Indonesia.

Dimana kejadian tsunami kerap terjadi di akhir dan awal tahun. Sehingga masyarakat perlu mengantisipasi.

Grafik tsunami Indonesia hasil kompilasi saya ini makin mengkohkan pendapat bahwa akhir dan awal tahun memang lebih banyak terjadi event gempa signifikan (dan berpotensi tsunami).

Mohon maklum, jika kami tak bosan-bosan menyampaikan pesan kesiagaan akan potensi tsunami. Karena kompilasi data sejarah tsunami di Indonesia periode 1600-2021 memang lebih banyak di akhir dan awal tahun.

Sebagaimana ditulis Daryono dalam akun Instagramnya daryonobmkg, empat jam lalu.

Terpisah, Kepala BMKG Stasiun Geofisika Mataram Ardhianto Septiadhi menjelaskan, dilihat dari mekanisme kejadian gempa, gempa hari ini mekanismenya mendatar.

Berbeda dengan mekanisma pada kejadian gempa Flores 1992, mekanisme gempanya naik. ”Dampaknya juga berbeda,” katanya.

Terkait adanya siklus kejadian gempa dalam rentan waktu tertentu, Ardhianto menegaskan, gempa tidak bisa diprediksi.

”Namun dalam satu sumber gempa itu menyimpan potensi yang hampir sama dengan yang pernah terjadi dalam sejarah,” katanya.

Tapi Ardhianto menegaskan, BMKG tidak bisa memprediksi kapan gempa bisa terjadi. Perhitungan dilakukan BMKG untuk kepentingan mitigasi.

”Jadi daeah yang masuk zona merah sebaiknya tidak ada penduduk di sana, kalau zona aman bisa membangun,” katanya.

Kalau pun terpaksa membangun di zona merah maka harus dengan kajian teknis dan bangunan tanah gempa.

Ardhianto memahami kepanikan masyarakat saat terjadi gempa seperti di NTT saat ini, kekhawatiran juga dirasakan warga NTB.

Tapi dia meminta masyarakat tetap tenang dan mengakses informasi resmi dari BMKG.

Di samping itu, jika bangunan yang dibuat sudah tahan gempa, warga tidak perlu cemas. Karena rumah tahan gempa sudah cukup aman bagi mereka.

”Sampai sekarang kita tidak tahu kapan gempa terjadi, namun kita bisa meminimalisir risiko apabila kita punya kapasitas,” tandasnya.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved