Opini

Renungan Jumat Berkah: Tegakkan Kepala, Rendahkan Hati

Menegakkan kepala berarti menegakkan prinsip, menolak tunduk pada kebatilan, menolak dijatuhkan oleh hinaan dunia

pixabay.com
Al-Quran. Renungan Jumat: Menegakkan kepala berarti menegakkan prinsip, menolak tunduk pada kebatilan, menolak dijatuhkan oleh hinaan dunia. 

Dr. A k a atau Ahsanul Khalik

Ada kalimat yang menyejukkan hati, menenangkan jiwa:
“Tegakkan kepalamu ketika kau berjalan di jalan kebenaran, bukan untuk meninggi di hadapan manusia, tetapi agar cahaya keyakinanmu tak redup di hadapan dunia. Namun ketika engkau menghadap Tuhanmu, tundukkanlah kepala itu serendah bumi, sebab di sanalah semua keangkuhan luluh menjadi doa.”

Inilah keseimbangan yang diajarkan oleh Islam:
antara izzah (kemuliaan diri) dan tawadhu’ (kerendahan hati).
Manusia diperintahkan untuk berjalan di muka bumi dengan tegap tapi bukan angkuh, tapi percaya diri karena membawa kebenaran. Namun di hadapan Allah, kepala yang tegak harus kembali tunduk, karena segala kehebatan hanyalah pinjaman.

Baca juga: Naskah Khutbah Pekan Ini Jumat 14 November 2025: 4 Golongan dengan Akhlak Mulia Menuju Surga

Tegakkan Kepala di Jalan Kebenaran

Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang mukmin.” (QS. Ali Imran: 139)

Ayat ini bukan seruan kesombongan, melainkan panggilan untuk menegakkan harga diri seorang mukmin.

Menegakkan kepala berarti menegakkan prinsip, menolak tunduk pada kebatilan, menolak dijatuhkan oleh hinaan dunia.

Islam tidak memerintahkan umatnya menjadi penakut dan pesimis, tetapi kuat dalam iman, yakin dalam langkah, dan teguh dalam kebenaran.

Imam Al-Ghazali berkata:
“La takhsha min al-khalqi fa innahum la yamlikuna laka dharran wa la naf’an, wa khshi al-Khaliq fa innahu yumit wa yuhyi” (Jangan takut kepada makhluk karena mereka tidak mampu memberi mudarat atau manfaat, tapi takutlah kepada Sang Pencipta karena Dialah Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan).”

Maka ketika engkau berjalan di jalan yang benar, jangan biarkan cacian menundukkan langkahmu.

Kepalamu tegak bukan karena sombong, tapi karena tahu siapa yang kau bela: kebenaran dan keadilan yang berasal dari Allah.

Rendahkan Hati di Hadapan Allah

Namun, jangan lupa: kepala yang tegak di hadapan dunia, harus tunduk serendah bumi di hadapan Allah.
Sebab di situlah segala keangkuhan luluh menjadi do'a, dan setiap kesombongan kembali menjadi air mata.

Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan meninggikannya, dan barang siapa meninggikan diri karena sombong, maka Allah akan merendahkannya.” (HR. Muslim)

Tawadhu' bukan tanda lemah, tetapi kekuatan sejati seorang mukmin.
Orang yang hatinya rendah, tidak akan mudah tersinggung, tidak iri pada keberhasilan orang lain, dan tidak sakit hati saat tak dihargai manusia.

Kerendahan hati membuat seseorang tenang dalam nikmat, sabar dalam ujian, dan damai dalam pergaulan.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menulis dalam Madarij as-Salikin:
“Tawadhu’ bukan berarti melihat diri hina, tapi melihat diri sebagai hamba. Karena kemuliaan sejati bukan pada tinggi atau rendahnya manusia, tetapi pada dekat atau jauhnya ia dari Allah.”

Bersihkan Hati dari Hasad dan Iri

“Jangan biarkan hatimu keruh oleh hasad, jangan kotori jiwamu dengan iri yang membakar kebahagiaanmu sendiri.”

Hasad adalah penyakit hati yang halus tapi membakar.
Ia membuat seseorang lupa bersyukur dan buta terhadap rahmat Allah pada dirinya sendiri.

Padahal, setiap orang memiliki waktunya masing-masing.
Setiap rezeki telah ditakar, setiap keberhasilan telah ditulis.

Allah berfirman:
“Ataukah mereka dengki kepada manusia karena karunia yang telah dianugerahkan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah menganugerahkan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim dan Kami telah menganugerahkan kerajaan (kekuasaan) yang sangat besar kepada mereka.” (QS. An-Nisa’: 54)

Rasulullah SAW- memperingatkan dalam hadits riwayat Abu Dawud:
“Hati-hatilah kalian dari hasad, sebabhasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”

Betapa banyak orang kehilangan ketenangan bukan karena kekurangannya, tetapi karena tidak bisa melihat orang lain bahagia.
Padahal, ketenangan tidak lahir dari banyaknya harta, tapi dari lapangnya hati.

Orang yang iri sesungguhnya sedang membakar dirinya sendiri dengan api yang ia nyalakan.

Bahagia Melihat Orang Lain Bahagia

“Senyumlah ketika melihat orang lain bahagia, karena setiap keberhasilan orang lain adalah cermin yang mengajarkan: bahwa waktu setiap jiwa berbeda, namun Rahmat Allah tak pernah salah alamat.”

Kebahagiaan sejati lahir dari hati yang lapang, hati yang tahu bahwa Allah Maha Adil dalam memberi.

Kadang rezeki kita belum datang bukan karena Allah lupa, tetapi karena waktu terbaik belum tiba.

Dalam Kitab hikmah Hilyat al-Awliya karya Abu Nu’aym al-Isbahani, mencatat pemikiran Imam Hasan Al-Bashri:

“Apa yang Allah berikan padamu, itulah yang terbaik bagimu saat ini. Jika engkau bersabar, Allah akan menambahnya dengan nikmat yang lebih tinggi.”

Maka jangan iri pada keberhasilan orang lain, karena kebahagiaan mereka bukan ancaman bagimu.

Setiap do'a tulus untuk kebahagiaan saudaramu akan kembali sebagai kebaikan untukmu.

Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berbahagia dan Bersyukur atas Apa yang Ada

“Berbahagialah dengan apa yang ada padamu, dan bersyukurlah atas apa yang dimiliki orang lain, sebab dalam kerendahan hati itulah kemuliaan berdiam, dan dalam kebahagiaan orang lain, terselip doa dan takdir-Nya untuk kebahagiaanmu sendiri.”

Syukur adalah penawar dari semua luka dunia.
Ia menenangkan jiwa, melapangkan dada, dan memelihara nikmat agar tidak hilang.

Allah berjanji dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

Dan Imam Al-Ghazali mengajarkan:
“Tanda orang bersyukur bukan sekedar berkata ‘Alhamdulillah’, tetapi menggunakan nikmat itu untuk kebaikan dan tidak membanding-bandingkan diri dengan orang lain.”

Maka berbahagialah dengan bagianmu, karena Allah tahu takaran terbaik bagi setiap hamba.

Dan bersyukurlah atas nikmat yang dimiliki orang lain, sebab dalam kebahagiaan mereka, Allah sedang mengajarkan cara baru untuk bersabar dan berprasangka baik.

Hikmah di Bawah Langit yang Sama

Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan kesombongan dan iri. Tegakkan kepala di jalan kebenaran, karena itu tanda iman.

Rendahkan hati di hadapan Allah, karena itu tanda kemuliaan.
Dan tataplah kehidupan orang lain bukan dengan dengki, tetapi dengan do'a,

karena bisa jadi kebahagiaan mereka adalah do'a yang sedang menunggu giliranmu.

Ya Allah, ajarkan kami menegakkan kepala di jalan-Mu dengan keberanian, namun menundukkan hati di hadapan-Mu dengan kerendahan.

Bersihkan jiwa kami dari iri dan hasad, lapangkan dada kami untuk mencintai saudara kami, dan jadikan kebahagiaan orang lain sebagai cahaya bagi hati kami.

Jadikan kami insan yang bersyukur atas setiap nikmat, sabar dalam setiap ujian, dan rendah hati di tengah segala kemuliaan.

Aamiin ya Rabbal ‘Aalamin.

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved