Opini
Kasus Keracunan MBG dan Isu HAM: Menghentikannya Justru Bisa Melanggar Hak Dasar Anak Miskin
Program MBG hadir untuk melindungi jutaan anak dari malnutrisi dan stunting, sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat kecil
Program MBG hadir untuk melindungi jutaan anak dari malnutrisi dan stunting, sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat kecil.
Lihatlah Nusa Tenggara Barat (NTB), provinsi kecil di timur Indonesia. Hingga September 2025:
- Dari potensi 1,85 juta penerima manfaat, sudah hampir 1 juta jiwa (986.670) yang menerima makanan bergizi setiap hari.
- Ada 311 dapur (SPPG) beroperasi, dikelola oleh yayasan, pondok pesantren, UMKM, koperasi, hingga usaha keluarga.
- 13 ribu lebih tenaga kerja lokal terserap — dari juru masak, pengemudi, petugas kebersihan, ahli gizi, hingga akuntan.
- Ratusan UMKM, koperasi, petani, nelayan, dan BUMDes ikut bergerak karena bahan pangan mereka dibeli untuk program ini.
Di sekolah-sekolah pelosok, anak-anak menyambut mobil pengantar MBG dengan tawa riang. Piring nasi bergizi yang mereka terima adalah tanda bahwa negara hadir, bahkan di tempat yang jauh dari pusat kota. Ini bukan hanya soal makan gratis — ini tentang keadilan sosial dan pengakuan bahwa anak-anak miskin pun berhak makan sehat setiap hari.
Keracunan, Alarm untuk Memperbaiki, Bukan Alasan Menghentikan
Kita tak menutup mata, ada dapur yang salah merencanakan kapasitas, ada yang lalai menjaga kebersihan, ada rantai pendingin yang putus. Setiap insiden keracunan adalah alarm keras yang harus ditangani serius.
Tetapi apakah rumah besar yang dibangun untuk menampung jutaan anak miskin harus dirobohkan hanya karena satu genteng bocor?
Di NTB, setiap kali ada masalah, BGN dan Pemerintah Daerah bergerak cepat. Jika kendalanya distribusi, maka diperintahkan perbaikan segera. Jika persoalannya pada bahan pangan atau proses masak, dapur dihentikan 2–3 hari untuk dibenahi total, pekerja dilatih ulang, peralatan disterilkan, rantai pasok diverifikasi ulang. Bila ditemukan kelalaian berat atau kesengajaan, direkomendasikan penutupan dapur ke Badan Gizi Nasional (BGN).
Kami juga memperkuat standar Laik Higiene Sanitasi untuk semua dapur, memperbanyak inspeksi mendadak, serta melibatkan Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Perangkat Daerah Terkait dan masyarakat dalam pengawasan.
Inilah cara yang bijak, memperbaiki yang salah tanpa memutus hak anak yang telah berjalan.
Menghentikan MBG Justru Bisa Melanggar Hak Asasi Anak
Sebagian pihak mengatakan, “MBG melanggar HAM karena ada anak yang keracunan.” Kita tentu harus mendengar kegelisahan itu. Namun mari melihat lebih luas, bukankah justru menghentikan MBG berarti merampas hak dasar jutaan anak miskin untuk makan bergizi?
Hak atas gizi adalah bagian dari hak untuk hidup dan tumbuh sehat. Prinsip HAM internasional mengenal non-derogable rights - hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun. Negara boleh memperbaiki cara pemberian hak itu, tetapi tidak boleh mencabut haknya.
Jika MBG dihentikan, jutaan anak, banyak di antaranya dari keluarga miskin akan kembali ke perut kosong, sarapan seadanya, dan risiko stunting yang diam-diam merampas masa depan mereka. Itu justru pelanggaran yang lebih besar.
Solusi terbaik bukan menghentikan, tetapi memperbaiki dan memperkuat sambil tetap memberi makan anak-anak setiap hari.
Beberapa langkah yang dilakukan dan perlu terus dikuatkan antara lain:
- Pengawasan bahan pangan dan proses masak yang ketat, bahan diperiksa mutunya, penyimpanan dijaga, dapur dipisahkan antara mentah dan matang, suhu dimonitor dan dicatat.
- Disiplin waktu distribusi, makanan tidak boleh terlalu lama sebelum dimakan; sekolah wajib menyajikan segera.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.