Opini
Kasus Keracunan MBG dan Isu HAM: Menghentikannya Justru Bisa Melanggar Hak Dasar Anak Miskin
Program MBG hadir untuk melindungi jutaan anak dari malnutrisi dan stunting, sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat kecil
Undang-Undang Perlindungan Anak, yang memperbarui UU No. 23 Tahun 2002, memberikan mandat yang lebih operasional:
- Pasal 44 ayat (1): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.”
Maknanya, Pemenuhan gizi yang cukup adalah bagian penting dari upaya menjaga kesehatan anak sejak masa kehamilan hingga setelah lahir.
- Pasal 45 ayat (1): “Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan Anak dan merawat Anak sejak dalam kandungan.” Dan Pasal 45 ayat (2): “Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhinya.”
Maknanya, Jika keluarga, khususnya yang miskin atau rentan, tidak mampu menyediakan makanan bergizi dan layanan kesehatan yang dibutuhkan anak, maka negara wajib hadir untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut melalui program bantuan gizi dan dukungan kesehatan.

Dari ketentuan konstitusi dan perundang-undangan di atas, dapat disimpulkan :
1. Hak hidup dan tumbuh kembang anak bersifat konstitusional dan asasi, artinya Pemenuhan gizi adalah bagian tak terpisahkan dari hak hidup dan hak untuk berkembang secara optimal sebagaimana dijamin UUD 1945.
2. Negara memikul kewajiban positif, artinya Negara tidak boleh bersikap pasif. Ia wajib mengambil langkah nyata, menyusun kebijakan pangan dan gizi yang merata, menyediakan layanan kesehatan ibu-anak, serta menjamin akses pangan bergizi bagi keluarga miskin.
3. Orang tua dan keluarga adalah penanggung jawab pertama, negara adalah penanggung jawab terakhir. Prinsip subsidiarity berlaku, keluarga berperan utama, tetapi negara wajib turun tangan ketika keluarga tidak mampu memenuhi hak dasar anak.
4. Kegagalan memenuhi hak gizi anak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Karena hak anak diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia, kelalaian negara dalam menjamin gizi dapat ditafsirkan sebagai pengabaian kewajiban konstitusional.
Berdasarkan kerangka hukum ini, pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan:
- Kebijakan gizi anak yang berkelanjutan dan berbasis hak. Termasuk pencegahan stunting, penyediaan pangan bergizi di daerah rawan, dan intervensi sejak masa kehamilan.
- Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif. Layanan gizi, imunisasi, pemantauan tumbuh kembang, dan edukasi gizi keluarga harus tersedia dan mudah diakses.
- Jaminan sosial yang responsif terhadap kerentanan gizi. Misalnya bantuan pangan bergizi, subsidi susu dan vitamin, serta dukungan khusus bagi keluarga miskin dan anak rentan gizi buruk.
- Penyederhanaan birokrasi bantuan gizi. Negara tidak boleh membiarkan hambatan administratif menghalangi hak anak untuk memperoleh gizi yang layak.
Pemenuhan gizi anak bukan semata persoalan kesehatan, melainkan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD NRI 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Negara memiliki kewajiban konstitusional dan hukum untuk memastikan setiap anak terutama yang miskin dan rentan memperoleh gizi yang cukup sejak dalam kandungan. Mengabaikan hak ini dapat dipandang sebagai kegagalan negara memenuhi janji konstitusional untuk melindungi kehidupan dan masa depan anak-anak bangsa.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.