Opini

Menjaga Geopark Rinjani dari Wisata Instan

Rinjani bukan tempat untuk menguji “inovasi” yang memutus relasi manusia dengan gunung.

Editor: Idham Khalid
TRIBUNLOMBOK.COM/ROBBY FIRMANSYAH
WISATA PENDAKIAN - Seorang pendaki berfoto dengan latar belakang Gunung Rinjani saat melakukan pendakian via Timbanuh, Lombok Timur. 

Di berbagai pelosok Pulau Lombok, bahasa ekologis ini menemukan bentuknya masing-masing. Masyarakat Aikdewa menggelar Ngalun Aik untuk memelihara mata air sebagai denyut kehidupan dari kaki Rinjani. Komunitas adat di Tetebatu menjaga Roros Reban dan Ngansor Gadang. Di Pringgasela, warga melaksanakan Selamatan Mata Air Tibu Bunter.

Semua ritus itu mengajarkan hal serupa bahwa air bukan hanya materi, melainkan ingatan. Setiap ritus adalah cara menagih kesadaran bahwa kelestarian lahir dari hubungan konkret antara tanah, air, pohon, dan manusia.

Sejak lama, syair Maulanasyaikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid telah mengingatkan pentingnya memahami Rinjani sebagai pasak bumi masyarakat di Pulau Lombok:

"Pulau Sasak kecil sekali

Tapi gunungnya besar dan tinggi

Kalau-lah orang pandai mengkaji

Pastilah sujud seribu kali".

Pelestarian Ekologi

Dalam lanskap semacam ini, rencana glamping dan seaplane terasa tergesa-gesa. Pembangunan yang mengabaikan ritme ekologis bukan hanya mengancam vegetasi dan ketenangan Segara Anak, tetapi juga merusak urat nadi spiritual yang telah lama menyatukan masyarakat Sasak dengan gunung.

Mewujudkan wisata yang nyaman bukan hal keliru, tetapi memaksakan infrastruktur modern di ruang sakral seperti kaldera adalah bentuk lupa terhadap ingatan kolektif yang diwariskan turun-temurun.

Penolakan publik menjadi benang yang menyambung dua dunia, yakni kebijakan formal dan kosmologi lokal. Ketika pemerintah menegaskan pentingnya menjaga ekologi Rinjani, warga melihat suara mereka tidak tenggelam oleh jargon pembangunan. Di tengah ketidakpastian iklim dan tekanan ekonomi, kehati-hatian semacam ini menjelma menjadi suatu keberanian.

Rinjani pada akhirnya bukan hanya urusan alam. Ia penjaga arah. Selama ritual-ritual terus digelar dan pemerintah mengakui nilai di balik narasi masyarakat adat, ada harapan bahwa gunung tidak akan diperlakukan sebagai halaman belakang yang boleh dirapikan sesuka hati.

Penolakan terhadap glamping dan seaplane menjadi pengingat bahwa masa depan Lombok tidak boleh mengabaikan bisikan alam dan jejak ritual yang menjaga keseimbangan pulau.

Rinjani seakan memanggil kita untuk kembali merefleksi diri lewat kabut, air, dan keyakinan lokal bahwa gunung yang dirawat adalah taman bumi yang memberi kehidupan bagi warganya. Nah, begitu?

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved