Opini

Kebijakan Pembiayaan Partai Politik oleh Negara

Praktik kebijakan pembiayaan partai politik oleh negara di Indonesia dilakukan melalui mekanisme bantuan keuangan

Dok.Istimewa
Peneliti PuSDeK UIN Mataram Dr. Agus, M.Si. 

Oleh: Dr. Agus, M.Si
Peneliti PuSDeK UIN Mataram

Pembiayaan partai politik oleh negara atau dikenal sebagai public funding of political parties merupakan bentuk intervensi pemerintah dalam kehidupan politik untuk memastikan bahwa partai-partai politik dapat beroperasi secara mandiri dan profesional. Sebagian analis kebijakan berpendapat model kebijakan ini diperlukan karena partai politik berperan sebagai aktor utama dalam proses politik, mulai dari rekrutmen kader, kampanye pemilu, hingga pengelolaan kekuasaan melalui perwakilan di lembaga legislatif. Argumentasinya pelaksanaan fungsi partai politik hanya akan efektif apabila didukung finansial yang memadai.

Tujuan kebijakan pembiayaan partai politik oleh negara antara lain. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Dengan mengalirkan dana melalui jalur resmi, pemerintah dapat melacak sumber dan penggunaan dana politik, sehingga mengurangi praktik korupsi dan money politics dalam kontestasi pemilu. Kedua, mengurangi ketergantungan pada donor swasta. Tanpa dukungan negara, partai politik cenderung bergantung pada donasi dari pengusaha atau kelompok kepentingan, yang dapat memengaruhi kebijakan publik demi kepentingan pribadi dan korporasi. Ketiga, mendorong partisipasi politik yang lebih adil. Partai kecil atau baru memiliki kesempatan lebih besar untuk bersaing dengan partai besar jika mendapat dukungan finansial dari negara. Keempat, memperkuat fungsi representatif partai. Partai politik dapat fokus pada pendidikan politik dan pengembangan ideologi, bukan sekadar mencari dana.

Baca juga: Pusdek UIN Mataram Nilai Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Melemahkan Peran Partai Politik

Praktik kebijakan pembiayaan partai politik oleh negara di Indonesia dilakukan melalui mekanisme bantuan keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kebijakan ini diatur dalam pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pengelolaan kebijakan ini diatur dalam Peraturan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik. Dalam Pasal 1 disebutkan, bantuan politik atau biasa disebut dana parpol adalah bantuan keuangan yang bersumber dari APBN atau APBD yang diberikan secara proporsional kepada parpol yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Penghitungan besaran dana bantuan politik yang diterima parpol berdasarkan jumlah perolehan suara dengan besaran Rp 1.000 per suara sah.

Beberapa hari yang lalu muncul pemberitaan di sejumlah media yang menyebutkan Badan Anggaran DPR memberikan sinyal untuk menyetujui usulan penambahan dana partai dari pemerintah menjadi Rp 3.000 per suara. Usulan penambahan ini berasal dari Kementerian Dalam Negeri. Dari paparan Kemendagri disebutkan bahwa untuk menambah dana parpol itu diperlukan tambahan anggaran sebesar Rp 414 miliar. 

Rencana kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra sehingga masih dilematis. Di satu sisi, kenaikan nilai dana bisa dibenarkan secara ekonomi dan diharapkan memperkuat kapasitas partai politik. Namun, di sisi lain, tanpa perbaikan mendasar terhadap tata kelola kebijakan seperti transparansi, akuntabilitas, dan sistem pengawasan, kebijakan ini berisiko. Di antara risiko yang perlu diwaspadai dari kebijakan ini yaitu: menambah beban fiskal yang tidak prioritas; membuka pintu korupsi yang lebih besar; memperkuat ketergantungan partai pada negara; dan melemahkan akar demokrasi.

Memperhatikan risiko di atas, pemerintah sebaiknya lebih hati-hati dalam memberlakukan kebijakan ini. Oleh karenanya sebelum memberlakukan kebijakan ini sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi komprehensif dengan cara terlebih dahulu melakukan audit nasional terhadap penggunaan dana bantuan sejak Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 diberlakukan hingga saat ini. Audit diperlukan untuk menemukan efektivitas dana, tingkat penyimpangan, dan dampaknya terhadap kualitas partai politik.  

Alternatif lainnya adalah kebijakan menaikkan secara bertahap, misalnya melalui pola dinaikkan sebesar Rp. 1.500 kemudian jika hasil evaluasi selama lima tahun berdampak positif bagi partai politik, publik dan kualitas demokrasi dinaikkan menjadi Rp 3.000, dan seterusnya. Dalam masa-masa uji coba tersebut, pemerintah bisa melibatkan KPK dan masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan, memberikan sanksi bagi partai politik yang terbukti melakukan korupsi dana bantuan partai. Untuk membangun kepercayaan publik pemerintah bisa juga meminta KPU membuat portal transparansi anggaran partai yang menampilkan besaran dana yang diterima partai setiap tahun anggaran, rincian penggunaan dan hasil audit BPK. 

Merujuk pada penjelasan di atas, kebijakan menaikkan dana bantuan partai perlu dilakukan secara bertahap disertai reformulasi tata kelola keuangan partai politik. Konsep ini penting agar pemerintah tidak membakar uang tanpa tujuan.

 

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved