Rocky Gerung di Lombok Timur: Soroti Demokrasi dan Pemimpin Transaksional
Rocky Gerung mengkritik tajam situasi politik nasional yang menurutnya telah bergeser dari nilai-nilai perjuangan intelektual ke arah transaksional.
Penulis: Rozi Anwar | Editor: Idham Khalid
Ia juga menyoroti lemahnya pengelolaan kekayaan alam, seperti Freeport dan Newmont, yang seharusnya bisa menjadi penopang hidup rakyat Indonesia.
“Freeport bisa kita pakai untuk 70 tahun ke depan, Newmont bisa kita pakai untuk membiayai kehidupan gratis di Indonesia timur. Tapi itu potensi, masalahnya managementnya enggak bagus-bagus,” tandasnya.
TGH Najamuddin: Negara Pertontonkan Korupsi
TGH Najamuddin Mustafa dalam paparannya menyuarakan kegelisahan atas makin maraknya praktik korupsi yang terjadi secara terang-terangan di tubuh pemerintahan.
“Negara hari ini mempertontonkan korupsi besar. Kita sebagai anak bangsa menjerit hanya sekadar untuk mendapatkan makan,” ujarnya.
Sebagai mantan legislator NTB, ia mengaku prihatin atas sistem yang ada, Ia menyebut banyak penguasa hanya ingin memperkaya diri sendiri.
“Pemimpin ingin menjadi pemimpin hanya untuk memperoleh kekuasaan dan memporak-porandakan ekonomi kita saat ini,” tegas Najamuddin.
Najamuddin menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mengawal proses hukum agar berjalan jujur.
“Kita tidak berniat memenjarakan orang, tapi memberikan efek jera terhadap praktik korupsi,” pungkasnya.
Dr. Alvin Syahrin: Demokrasi Dibajak Elit Ekonomi
Sementara itu, akademisi Universitas Mataram, Dr. Alvin Syahrin, memaparkan konsep kepemimpinan melayani, merujuk pada pemikiran Robert K. Greenleaf.
“Salah satunya adalah menunda kebahagiaan pribadi demi kepentingan publik yang pertama. Mendahulukan kepentingan publik di atas kepentingan personal,” tuturnya.
Namun dalam praktiknya, kata Alvin, demokrasi Indonesia saat ini telah dibajak oleh kelompok elit yang menguasai aset dan ekonomi nasional. Hal ini membuat pemilihan pemimpin lebih ditentukan oleh kekuatan modal ketimbang kapasitas intelektual.
“Demokrasi kita telah menyimpang jauh dari apa yang diciptakan Socrates dan Plato yang menghendaki demokrasi harus mendahulukan etika,” ujarnya.
Alvin juga menegaskan bahwa sistem politik yang transaksional menjauhkan pemimpin sejati dari pusat kekuasaan.
“Orang-orang intelektual tidak memiliki akses masuk kekuasaan karena keterbatasan uang sebagai jalan,” katanya.
Ia mengingatkan pesan Steven Levitsky dalam bukunya How Democracies Die, bahwa kematian demokrasi bisa datang bukan dari otoritarianisme, melainkan dari demokrasi itu sendiri.
“Proses kepemimpinan kita dihasilkan dengan cara-cara transaksional. Kepemimpinan sejati dilandasi etika bukan sibuk mengejar ambisi kekuasaan,” tutup Alvin.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.