Rocky Gerung di Lombok Timur: Soroti Demokrasi dan Pemimpin Transaksional

Rocky Gerung mengkritik tajam situasi politik nasional yang menurutnya telah bergeser dari nilai-nilai perjuangan intelektual ke arah transaksional.

Penulis: Rozi Anwar | Editor: Idham Khalid
Dok. Istimewa
DISKUSI - Tokoh intelektual nasional Rocky Gerung saat hadir dalam diskusi publik bertajuk “Pemimpin Itu Melayani Bukan Dilayani” yang digelar di An Najm Mart, Montong Tangi, Lombok Timur, Senin (21/7/2025). 

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Tokoh intelektual nasional Rocky Gerung dan akademisi Universitas Mataram, Dr Alvin Syahrin hadir dalam diskusi publik bertajuk “Pemimpin Itu Melayani Bukan Dilayani” yang digelar di An Najm Mart, Montong Tangi, Lombok Timur, NTB, Senin (21/7/2025).

Forum yang diprakarsai mantan anggota DPRD NTB, TGH Najamuddin Mustafa, ini menjadi ajang refleksi tajam terhadap arah demokrasi Indonesia.

Acara ini turut dihadiri sejumlah ratusan peserta dari kalangan mahasiswa, pemuda, aktivis, hingga warga desa antusias menyimak diskusi yang berlangsung hangat namun kritis.

Hadir juga tokoh daerah seperti anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Lombok Timur Ahmad Amrullah, mantan anggota DPRD NTB H. Ruslan Turmuzi, mantan legislator Sumbawa Barat Yames, serta Ketua Himalo Jakarta H. Karman BM.

Rocky Gerung: Kepemimpinan yang Transaksional di Indonesia

Dalam pemaparannya, Rocky Gerung mengkritik tajam situasi politik nasional yang menurutnya telah bergeser dari nilai-nilai perjuangan intelektual ke arah transaksional.

“Ketika negeri ini didirikan ada pertengkaran pemikiran. Sekarang kita lihat pikiran itu seolah-olah tidak diperlukan lagi karena sekarang bisa diselesaikan melalui anggaran,” ujar Rocky.

Menurut Rocky, banyak pemimpin saat ini kehilangan visi dan arah kebangsaan, lebih tertarik mengelola anggaran ketimbang menawarkan gagasan.

“Pemimpin yang paham arah namanya leader, pemimpin yang paham anggaran namanya dealer. Leader mencari arah untuk memberi harapan, dealer tukar tambah amplop kerjanya,” tegasnya.

Rocky juga menyentil kepemimpinan di era pemerintahan Presiden Prabowo yang menurutnya masih terjebak dalam pola lama.

“Apakah di era Prabowo bupatinya, gubernurnya dealer atau leader. Kelihatan sekarang lebih banyak dealer daripada leader,” katanya.

Ia menilai kampus menjadi satu-satunya tempat yang masih jujur, karena berpijak pada metodologi ilmiah yang mengedepankan nalar dan data.

“Satu-satunya kejujuran sekarang datang di kampus. Karena kampus didikte dengan metodologi untuk hanya percaya pada data dan nalar,” tambahnya.

Rocky juga mengingatkan pentingnya peran pemuda dalam menjaga keberlangsungan demokrasi. “Saya berharap pemuda di Lombok Timur ini dapat menjaga demokrasi agar tetap hidup,” ujarnya.

Baca juga: Rocky Gerung Hanya Menanti Gagasan Anies-Cak Imin: Cuma Itu yang Ada Konsepnya

Lebih jauh, Rocky mengutip wacana global yang menyarankan Presiden Prabowo melakukan langkah politik besar.

“Jurnalis internasional dalam Minggu ini banyak menulis perlunya Prabowo melakukan radical break, artinya harus ada keputusan politik untuk membersihkan kabinetnya. Bahasa kita adalah reshuffle,” katanya.

Ia juga menyoroti lemahnya pengelolaan kekayaan alam, seperti Freeport dan Newmont, yang seharusnya bisa menjadi penopang hidup rakyat Indonesia.

“Freeport bisa kita pakai untuk 70 tahun ke depan, Newmont bisa kita pakai untuk membiayai kehidupan gratis di Indonesia timur. Tapi itu potensi, masalahnya managementnya enggak bagus-bagus,” tandasnya.

TGH Najamuddin: Negara Pertontonkan Korupsi

TGH Najamuddin Mustafa dalam paparannya menyuarakan kegelisahan atas makin maraknya praktik korupsi yang terjadi secara terang-terangan di tubuh pemerintahan.

“Negara hari ini mempertontonkan korupsi besar. Kita sebagai anak bangsa menjerit hanya sekadar untuk mendapatkan makan,” ujarnya.

Sebagai mantan legislator NTB, ia mengaku prihatin atas sistem yang ada, Ia menyebut banyak penguasa hanya ingin memperkaya diri sendiri.

“Pemimpin ingin menjadi pemimpin hanya untuk memperoleh kekuasaan dan memporak-porandakan ekonomi kita saat ini,” tegas Najamuddin.

Najamuddin menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mengawal proses hukum agar berjalan jujur.

“Kita tidak berniat memenjarakan orang, tapi memberikan efek jera terhadap praktik korupsi,” pungkasnya.

Dr. Alvin Syahrin: Demokrasi Dibajak Elit Ekonomi

Sementara itu, akademisi Universitas Mataram, Dr. Alvin Syahrin, memaparkan konsep kepemimpinan melayani, merujuk pada pemikiran Robert K. Greenleaf.

“Salah satunya adalah menunda kebahagiaan pribadi demi kepentingan publik yang pertama. Mendahulukan kepentingan publik di atas kepentingan personal,” tuturnya.

Namun dalam praktiknya, kata Alvin, demokrasi Indonesia saat ini telah dibajak oleh kelompok elit yang menguasai aset dan ekonomi nasional. Hal ini membuat pemilihan pemimpin lebih ditentukan oleh kekuatan modal ketimbang kapasitas intelektual.

“Demokrasi kita telah menyimpang jauh dari apa yang diciptakan Socrates dan Plato yang menghendaki demokrasi harus mendahulukan etika,” ujarnya.

Alvin juga menegaskan bahwa sistem politik yang transaksional menjauhkan pemimpin sejati dari pusat kekuasaan.

“Orang-orang intelektual tidak memiliki akses masuk kekuasaan karena keterbatasan uang sebagai jalan,” katanya.

Ia mengingatkan pesan Steven Levitsky dalam bukunya How Democracies Die, bahwa kematian demokrasi bisa datang bukan dari otoritarianisme, melainkan dari demokrasi itu sendiri.

“Proses kepemimpinan kita dihasilkan dengan cara-cara transaksional. Kepemimpinan sejati dilandasi etika bukan sibuk mengejar ambisi kekuasaan,” tutup Alvin.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved