Opini
Regulasi dari Desa: Tembok Pertama Pencegahan Perkawinan Usia Anak
Langkah Desa Kertasari menjadi penting karena Lombok Timur menyimpan catatan merah dalam sejumlah indikator perlindungan anak di NTB
Oleh: Harianto
Peneliti di Lombok Research Center (LRC)
Perkawinan usia anak bukan semata urusan pribadi. Ia adalah cermin dari krisis sistemik—ketika institusi-institusi utama seperti keluarga, sekolah, dan negara gagal menyediakan ruang tumbuh yang aman bagi anak-anak.
Di banyak wilayah Indonesia, termasuk di Kabupaten Lombok Timur, praktik ini berlangsung dalam diam dan kadang dilanggengkan atas nama adat pembiasaan, kondisi darurat, atau justifikasi sosial ekonomi.
Realitas ini menciptakan ironi yang menyakitkan: anak-anak yang seharusnya masih bermain dan belajar, justru dipaksa memikul tanggung jawab rumah tangga. Statistik yang selama ini dibacakan dalam angka, sesungguhnya berbicara dalam nama, wajah, dan harapan anak-anak yang kehilangan masa depan. Data menjadi hidup ketika ia menjelma menjadi kenyataan sehari-hari di dusun-dusun terpencil.
Di tengah situasi tersebut, muncul inisiatif yang layak dicatat dan dicontoh: upaya Desa Kertasari, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, menyusun Peraturan Desa (Perdes) tentang Perkawinan dan Pencegahan Perkawinan Usia Anak. Proses yang dimulai dari keresahan warga yang berdiam di wilayah yabg dekat dengan pesisir pantai ini telah berkembang menjadi ruang kolektif untuk mengatur ulang peran desa dalam perlindungan anak.
Konsultasi publik yang digelar pada 18 Juni 2025 lalu menjadi momentum penting. Bertempat di aula desa, perwakilan masyarakat, perangkat desa, BPD, tokoh agama, perempuan, pemuda, hingga unsur pemerintah kabupaten duduk bersama untuk membahas isu yang selama ini kerap dianggap tabu: mencegah perkawinan anak melalui regulasi lokal. Prosesnya tidak instan, tapi penuh permenungan.
Suatu hal yang menarik, inisiatif ini tidak lahir dari program pusat, melainkan dipantik oleh pertanyaan kritis tentang fenomena sosial yang menjadi persoalan serius di desa; maraknya pernikahan usia anak dan legalitas dalam pengurusan surat pernikahan bagi warga usia dewasa.
Dari satu percakapan kecil tentang ketertiban dan keadilan pengaturan dokumen administratif, terbuka ruang yang lebih luas: bahwa regulasi desa bisa dan seharusnya menjadi alat perlindungan, bukan sekadar mekanisme kontrol.
Perdes ini disusun dengan perspektif holistik. Ia tidak berhenti pada larangan, tetapi juga merumuskan langkah-langkah preventif, peran orangtua dan tokoh masyarakat, hingga tata cara penanganan kasus secara sensitif dan bermartabat. Bahkan, diatur pula dukungan administratif bagi pasangan muda yang terpaksa menikah dalam kondisi darurat sosial.
Dalam konteks ini, Desa Kertasari sedang merintis jalan yang tak mudah: menjadikan desa bukan hanya sebagai arena kebijakan administratif, tetapi sebagai subjek perubahan sosial. Ini berbeda dari banyak kebijakan lain yang sering datang dari atas, tanpa melibatkan warga sebagai pemilik masalah.
Dengan difasilitasi oleh Lombok Research Center (LRC) dan didukung program INKLUSI-BaKTI, penyusunan Perdes ini berlangsung secara partisipatif. Prosesnya melibatkan kelompok rentan yang selama ini sering terpinggirkan dalam musyawarah desa: perempuan, penyandang disabilitas, pemuda, dan kepala dusun dari wilayah-wilayah terpencil. Ini adalah bentuk praktik demokrasi lokal yang seharusnya menjadi standar.
Langkah Desa Kertasari menjadi penting karena Lombok Timur menyimpan catatan merah dalam sejumlah indikator perlindungan anak di NTB. Data dari berbagai lembaga menunjukkan tingginya angka anak tidak sekolah, anak berhadapan dengan hukum, serta kasus kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual.
Maka, tentu saja upaya pencegahan dari hulu menjadi sangat mendesak dan krusial. Tanpa itu, kota-kota dan lembaga negara akan terus sibuk memadamkan kebakaran sosial yang kerap terjadi di bagian hilir.
Namun, regulasi yang baik tetaplah rentan menjadi dokumen mati jika tidak dihidupi. Hal ini pula yang menjadi pengingat dari Camat Labuhan Haji dalam forum konsultasi tersebut. Ia menegaskan bahwa komitmen kolektif jauh lebih penting daripada produk hukum itu sendiri. Perdes harus menjadi milik bersama, bukan sekadar arsip di rak kantor desa.
Untuk itu, sosialisasi berkelanjutan, pelatihan bagi perangkat desa, pelibatan sekolah dan tokoh agama, serta penguatan kapasitas warga menjadi keharusan. Perdes tidak boleh berhenti sebagai produk hukum, melainkan harus hadir sebagai alat perubahan sosial yang hidup di tengah masyarakat. Dalam bahasa sederhana, hukum itu harus “turun ke jalan”—mendampingi warga dalam kehidupan sehari-hari.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.