Opini

Pameran Kurban

Ibadah yang seharusnya tersembunyi dalam ruang sunyi antara manusia dan Tuhan, kini menjelma menjadi pameran terbuka tentang jumlah, jenis, dan ukuran

Editor: Laelatunniam
TRIBUNLOMBOK/SEPTIAN ADE
Salman Faris. Ia merupakan penulis novel "Tuan Guru" dan kini mengajar sebagai dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia. 

Oleh: Salman Faris

Seperti yang kita ketahui bersama, dalam setiap Idul Adha yang datang silih berganti, umat Islam di berbagai penjuru dunia merayakan momen yang semestinya menjadi simbol keikhlasan tertinggi yakni ibadah kurban.

Namun, seiring waktu dan perkembangan sosial yang mengiringi dunia modern, pelaksanaan ibadah ini tampak mengalami pergeseran makna yang mendalam.

Karena itu, saya masih belum menemukan logika yang utuh dan lurus atas peralihan spiritualitas kurban menjadi sebuah arena pertunjukan sosial.

Ibadah yang seharusnya tersembunyi dalam ruang sunyi antara manusia dan Tuhan, kini menjelma menjadi pameran terbuka tentang jumlah, jenis, dan ukuran hewan yang dikurbankan.

Dalam perayaan keagamaan yang semestinya berwatak spiritual, kita menyaksikan panggung dunia yang memamerkan sapi limosin, kambing eksotis, serta spanduk bergambar tokoh dengan tulisan tebal, telah berkurban atas nama keluarga besar.

Tentu saja, tak dapat disangkal bahwa realitas ini menjelma semakin nyata dari tahun ke tahun. Kurban tidak lagi hanya soal ibadah, tetapi juga tentang gaya hidup.

Seolah-olah telah muncul satu anggapan sosial baru bahwa semakin besar kurban seseorang, semakin besar pula nilai dirinya di hadapan publik.

Hal ini menggelisahkan nalar spiritual saya. Bagaimana mungkin sesuatu yang diperintahkan sebagai bentuk ketundukan kepada Tuhan justru menjadi sarana aktualisasi ego di tengah keramaian?

Hali ini sudah sangat kita ketahui bahwa seyogianya, kurban berakar pada kisah pengorbanan agung Nabi Ibrahim terhadap putranya Ismail. Di dalam kisah itu, tidak terdapat sedikit pun unsur pamer atau pencitraan.

Yang ada hanyalah kesetiaan dan kepasrahan total kepada perintah Ilahi. Karena itu saya memahami kurban, dalam makna terdalamnya, adalah ibadah penghilangan ego.

Namun dalam kenyataan mutakhir, kita menyaksikan pergeseran kurban sebagai upaya penguatan ego dan ekspansi pengaruh sosial.

Ketika sapi disandingkan dengan nama pemiliknya di atas baliho, dan ketika pemotongan hewan disiarkan langsung melalui media sosial, kita perlu bertanya secara jujur, apakah ruh kurban masih tinggal di sana?

Transformasi kurban menjadi sebuah gaya hidup bukanlah proses yang terjadi seketika. Ia berawal secara halus dari kalangan elit. Para pejabat, tokoh masyarakat, artis, dan orang-orang berpengaruh mulai memosisikan kurban sebagai instrumen sosial.

Mereka tidak hanya berkurban, tetapi memproduksi narasi tentang kurban mereka secara publik. Muncullah sapi seharga ratusan juta rupiah, disertai liputan media massa dan testimoni dari warga sekitar.

Kurban menjadi semacam event, bukan lagi ekspresi spiritual. Semakin mahal harga hewan, semakin besar eksposur yang didapatkan. Lama-kelamaan, praktik ini menyebar ke lapisan masyarakat lain, seolah-olah menjadi standar kesalehan yang baru. Siapa yang tidak pamer, belum sempurna berkurban.

Tidak mengherankan jika kemudian semangat kompetitif menyusup ke dalam laku ibadah. Spanduk-spanduk di depan masjid menampilkan daftar nama-nama pekurban secara rinci.

Bahkan ada yang mencantumkan gelar akademik, jabatan, dan afiliasi politik. Tidak jarang pula kita temui dokumentasi yang difilmkan secara sinematik, lengkap dengan drone dan narasi dramatis, demi memperlihatkan kepada publik bahwa pemilik sapi tersebut adalah pribadi yang mulia dan dermawan. Maka, apakah ini masih ibadah atau telah menjadi panggung peragaan?

Agama sendiri, dalam ajaran yang orisinal, menolak segala bentuk takaburdan pertunjukan dalam laku ibadah. Nabi Muhammad SAW bahkan memperingatkan bahwa takabur adalah syirik kecil, karena ibadah yang didedikasikan kepada manusia adalah bentuk pengkhianatan kepada Tuhan.

Namun dalam praktik sosial kontemporer, kurban seolah-olah dipisahkan dari dimensi keikhlasan. Ia dijadikan alat untuk membentuk citra diri, memperluas pengaruh, dan menaikkan status sosial.

Ketika seseorang berkurban bukan karena ketakwaan, melainkan karena gengsi atau tekanan sosial, maka hakikat kurban telah tereduksi menjadi sekadar ritual luar tanpa makna batin.

Dalam konteks sosiologi agama, fenomena ini dapat dibaca sebagai gejala kapitalisasi ibadah. Kurban tidak lagi berdiri sebagai ekspresi spiritual semata, tetapi telah menjadi komoditas simbolik.

Sapi yang dikurbankan menjadi tanda akan kedudukan sosial. Semakin besar hewan yang dipilih, semakin besar pula pesan status yang dikirimkan.

Praktik ini dapat disebut sebagai modal simbolik, di mana individu menggunakan praktik kultural  termasuk keagamaan untuk mempertontonkan dan memperkuat posisinya dalam struktur sosial. Dalam hal ini, kurban menjadi semacam konsumsi simbolik yang meneguhkan hierarki sosial.

Saya tidak menafikan bahwa dalam kehidupan beragama, aspek sosial dan spiritual kerap saling terkait. Namun ketika aspek sosial mendominasi dan menyingkirkan dimensi spiritual, maka ibadah kehilangan maknanya yang esensial.

Kurban yang seharusnya meleburkan ego justru menebalkan egoisme. Seharusnya kurban mendidik manusia untuk menghilangkan kesombongan. Bukan memupuknya.

Lebih memprihatinkan lagi adalah dampak psikologis dari budaya pamer kurban ini terhadap masyarakat kecil.

Di hadapan spanduk-spanduk raksasa yang menampilkan foto sapi jumbo dan nama-nama tokoh ternama, seorang buruh harian yang hanya mampu menyisihkan uang untuk berkurban seekor kambing kurus merasa kecil dan tidak berarti.

Ia mulai mempertanyakan kesalehannya sendiri, hanya karena kurbannya tidak tampak megah. Padahal, dalam timbangan Tuhan, bukan bentuk lahiriah kurban yang dilihat, melainkan keikhlasan hati.

Generasi muda pun tak luput dari dampak budaya ini. Mereka yang tumbuh dalam era digital dibombardir oleh konten-konten kurban dari para selebritas yang menampilkan hewan raksasa dan prosesi yang mewah.

Maka, terbentuklah kesan bahwa berkurban adalah soal pameran, bukan soal perenungan. Bahkan ada yang merasa malu untuk berkurban secara sederhana karena takut dinilai kurang berdaya.

Budaya seperti ini justru menjauhkan manusia dari tujuan ibadah yang sejati yaitu mendekat kepada Tuhan, bukan mendekat kepada opini publik.

Ironisnya, budaya pamer kurban ini banyak didorong oleh tokoh-tokoh agama sendiri. Dalam upaya menarik donatur dan memperluas pengaruh lembaga, sebagian dari mereka mempromosikan kurban dengan narasi keberlimpahan.

Ada lembaga yang menjadikan kurban sebagai proyek eksklusif, menawarkan paket-paket dengan harga fantastis, dilengkapi dokumentasi dan sertifikat. Di sisi lain, masyarakat kecil semakin merasa bahwa kurban bukanlah ruang spiritual mereka. Melainkan milik mereka yang punya modal.

Jika ditarik ke ranah politik, pameran kurban juga dijadikan alat pencitraan. Para pejabat memanfaatkan momen Iduladha untuk menunjukkan kepedulian sosial mereka. Mereka membagikan hewan kurban sambil mengenakan lambang dan logo tertentu.

Tersenyum di depan kamera dan memastikan dokumentasi tersebar luas. Kurban pun tidak lagi menjadi persembahan kepada Tuhan, melainkan alat untuk meneguhkan klaim moral di hadapan publik. Di titik ini, saya bertanya dengan getir, kepada siapa sebenarnya kurban itu disembelih?

Dalam ketiadaan keteladanan spiritual, masyarakat justru meniru praktik luar yang tidak mencerminkan ruh agama. Kurban yang dahulu dilakukan dengan senyap dan tanpa publikasi, kini dirayakan seperti festival.

Bahkan di beberapa tempat, pemotongan hewan dilakukan dengan pengeras suara, disiarkan langsung, dan disambut tepuk tangan. Apakah ini bentuk kekhusyukan atau sekadar euforia sosial yang kehilangan arah?

Saya selalu yakin seharusnya ajaran agama perlu dipertahankan dalam maknanya yang terdalam. Bukan hanya dilestarikan dalam bentuk luar. Kurban bukanlah soal jumlah atau ukuran, melainkan soal pengorbanan batin.

Ketika kita menggantikan keikhlasan dengan eksibisionisme, maka yang kita rayakan bukan lagi ibadah, melainkan identitas semu yang dibentuk oleh opini sosial.

Sebagai alternatif, saya mengusulkan praktik kurban sunyi. Suatu bentuk kurban yang dilakukan tanpa kamera, tanpa spanduk, dan tanpa publikasi. Hanya ada pekurban, panitia, dan hewan yang disembelih dalam sunyi.

Dalam sunyi itu, ada keikhlasan yang tidak diklaim oleh siapa pun. Tidak ada nama yang diumumkan.

Tidak ada angka yang dibanggakan. Tidak ada citra yang dikejar. Hanya ada pengakuan bahwa segala sesuatu yang kita miliki pada akhirnya harus kita relakan demi sesuatu yang lebih besar yakni ketundukan kepada Tuhan.

Saya juga percaya bahwa pendidikan keagamaan harus mengembalikan kurban kepada makna asalnya. Para pendakwah, tokoh agama, dan lembaga sosial perlu mengingatkan umat bahwa ibadah bukan untuk diperlihatkan, tetapi untuk dijalankan dalam kesunyian hati.

Kita perlu kembali kepada semangat Ibrahim, bersedia menyerahkan apa yang paling dicintai tanpa mengharapkan tepuk tangan dari siapa pun.

Sekali lagi, saya belum menemukan logika mengapa ibadah yang begitu sakral harus dipamerkan. Mengapa hewan kurban menjadi simbol kemuliaan? Padahal yang paling utama adalah keikhlasan yang tak kasatmata.

Mengapa kita begitu mudah menjadikan ibadah sebagai panggung. Padahal Tuhan tidak hadir di dalam pertunjukan?

Jika kurban telah menjadi festival, maka kita harus bertanya, kepada siapa persembahan itu ditujukan? Kepada Tuhan atau kepada para penonton? Bila yang kita cari adalah pujian, maka kita tidak sedang menyembelih hewan, melainkan menyembelih makna keikhlasan itu sendiri.

Kurban bukanlah pameran. Ia adalah pengorbanan yang tulus. Tanpa suara. Tanpa sorot kamera. Tanpa tepuk tangan. Maka biarlah hewan itu disembelih dalam senyap. Sebab yang Allah lihat bukanlah darah dan dagingnya, tetapi hati yang rela dan tunduk.

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved