Opini

Governansi Kolaboratif Melawan Darurat Kekerasan Seksual NTB

Pemerintah, tokoh pendidikan, agama, masyarakat, dan seluruh pihak harus turun tangan dalam melindungi generasi penerus dari kekerasan seksual.

Editor: Sirtupillaili
ISTIMEWA
Dr H Ahsanul Khalik. Penulis merupakan Staf Ahli Gubernur NTB bidang Sosial Kemasyarakatan. 

Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik
*Staf Ahli Gubernur Bidang Sosial Kemasyarakatan

Kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan terus menghantui Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Korban bukan hanya angka, tapi manusia dengan luka yang tak kasat mata, menyimpan trauma panjang akibat pengkhianatan kepercayaan, bahkan dari mereka yang seharusnya menjadi pelindung: orang tua, guru, tokoh agama, ataupun pemimpin pondok pesantren.

Kekerasan seksual telah menjadi momok yang nyata. Tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga di ruang-ruang yang semestinya aman: di lembaga pendidikan, lingkungan keluarga, hingga institusi keagamaan. Paling mencengangkan, pelaku kerap memiliki posisi kuasa atas korban. 

Belum juga tuntas Kasus "Walid Lombok" menjadi potret paling telanjang dari krisis ini, seorang tokoh agama yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap puluhan santriwati sejak tahun 2016. 

Ironisnya, praktik ini tertutupi oleh kekuasaan simbolik dan pengaruh sosial yang membuat korban memilih diam bertahun-tahun lamanya, muncul pula kasus oknum pegawai Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Mataram (Unram). 

Kassus terbaru adalah masuknya laporan kasus ke Kepolisian Daerah NTB atas dugaan kekerasan seksual terhadap mahasiswa dan alumni asrama mahasiswa UIN Mataram.

Data yang dirilis Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana NTB menunjukkan betapa daruratnya situasi ini. 

Tahun 2022 tercatat 640 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, 607 kasus pada 2023, dan kembali meningkat menjadi 633 kasus pada tahun 2024. Lombok Timur mencatatkan angka tertinggi: 847 kasus sepanjang tiga tahun terakhir. Tren ini menunjukkan bahwa upaya yang selama ini dilakukan belum cukup efektif menyentuh akar persoalan.

Lalu, apa yang sebenarnya menyebabkan kekerasan seksual ini terus terjadi?

Pertama, budaya patriarkal yang mengakar kuat di masyarakat masih menjadikan perempuan dan anak sebagai objek yang bisa dikendalikan. 

Kedua, rendahnya literasi seksual dan minimnya edukasi tentang hak tubuh dan consent menjadikan banyak anak dan perempuan tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban. 

Ketiga, lemahnya sistem perlindungan hukum dan lambatnya penanganan oleh aparat penegak hukum membuat pelaku tidak jera dan korban kehilangan harapan, (untuk hal ini Aparat Kepolisian pada jajaran Polda NTB mulai berbenah dan tanggap). 

Keempat, masih adanya stigma sosial dan budaya malu membuat korban enggan melapor.

Situasi ini menuntut strategi yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga komprehensif, kolaboratif, dan berkelanjutan. 

Untuk itu penting adanya strategi pencegahan yang mengakar. Pencegahan harus menjadi garda terdepan. Ini bisa dimulai dari edukasi dan sosialisasi yang menyasar keluarga, sekolah, dan komunitas. 

Pendidikan mengenai tubuh, hak-hak anak dan perempuan, serta bagaimana mengenali dan melindungi diri dari pelecehan harus dimasukkan ke dalam kurikulum formal dan informal. 

Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota perlu memasukkan materi ini dalam pelatihan guru dan kurikulum madrasah atau pesantren.

Penguatan norma dan nilai yang berbasis hak asasi manusia harus digaungkan. Tokoh agama memiliki peran penting untuk mengembalikan fungsi ajaran agama sebagai pelindung martabat manusia, bukan tameng bagi para pelaku kekerasan. 

Ceramah-ceramah keagamaan, khutbah jumat, pengajian ibu-ibu, hingga mimbar komunitas harus digunakan untuk menyuarakan perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Penting pula menciptakan lingkungan yang aman: seperti penerangan jalan, ruang publik yang ramah anak, pengawasan yang sistematis di sekolah, pondok pesantren dan Perguruan Tinggi, serta akses terhadap pelaporan yang mudah dan tidak mengintimidasi korban.

Tak kalah penting adalah penguatan ekonomi perempuan. Ketergantungan ekonomi membuat sebagian perempuan atau ibu dari korban tidak berani melapor karena takut kehilangan sumber penghidupan. 

Di sinilah peran Tim Penggerak PKK Provinsi maupun Kabupaten/Kota menjadi strategis, melalui program pemberdayaan ekonomi berbasis rumah tangga dan komunitas.

Berikutnya strategi penanganan, perlindungan dan pemulihan korban juga menjadi perhatian yang sangat penting. Saat kasus terjadi, negara harus hadir total. 

Penanganan kasus membutuhkan sistem pelaporan yang mudah, aman, dan menjamin kerahasiaan korban. Adanya layanan yang mudah diakses dan tanggap harus pula disosialisasikan secara luas dan dijadikan pintu masuk bagi korban untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.

Pemerintah Provinsi NTB melalui Dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana NTB harus menjadi garda depan dalam layanan terpadu. 

Tak hanya memperkuat  pusat layanan hukum, psikologi dan sosial, tetapi juga membangun sistem rehabilitasi sosial dan perlindungan yang menjangkau hingga desa-desa melalui jejaring dengan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), kader Posyandu dan kader Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP - PKK).

Pendampingan korban secara psikologis, hukum, dan sosial harus menjadi standar layanan. Pekerja sosial dapat berfungsi sebagai pelindung, fasilitator, hingga pengacara masyarakat bagi korban. 

Pemulihan korban tidak cukup dilakukan sekali terapi, tetapi memerlukan proses jangka panjang melalui pendekatan komunitas dan pemulihan berbasis trauma.

Tak kalah penting adalah bagaimana mewujudkan strategi penindakan yang tegas dan tak pandang bulu. Penegakan hukum harus tegas dan tak pandang bulu. 

Pelaku kekerasan seksual harus dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang memberikan sanksi tegas dan melindungi hak korban. Pasal-pasal dalam UU ini juga mengatur pemulihan korban sebagai bagian dari keadilan.

Perlindungan juga dijamin dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Peraturan Daerah NTB Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak. 

Ketiga regulasi ini harus menjadi rujukan utama dalam setiap kebijakan dan tindakan yang diambil pemerintah daerah, APH, dan lembaga masyarakat.

Sayangnya, penindakan yang selama ini dilakukan belum memberikan efek jera. Banyak pelaku masih dilindungi oleh status sosial, jabatan, atau pengaruh agama. Inilah yang harus dihentikan. Aparat hukum harus bergerak tanpa tekanan, tanpa kompromi. 

Proses hukum yang transparan dan berpihak pada korban akan membangun kepercayaan masyarakat terhadap keadilan. Dan kita patut apresiasi aparat pada jajarah kepolisian Polda NTB sudah mulai berbenah dan tanggap terhadap kasus-kasus yang masuk laporan ke Polda NTB, dan ini harus diikuti sampai pada tingkat Polres dan Polsek.

"Membangun governansi kolaboratif adalah salah satu jalan tengah menuju solusi di mana Pemerintah Provinsi NTB diharapkan membentuk Forum Kolaborasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (FKP2KS) yang didorong menjadi penggerak perubahan. 

FKP2KS digagas dengan melibatkan berbagai stakeholder mulai dari pemerintah daerah, lembaga pendidikan, Kemenag, organisasi keagamaan, tokoh masyarakat, media, akademisi, hingga aktivis perempuan dan anak. Di sinilah titik tumpu harapan NTB.

Penting juga dibangun sistem berbasis data untuk deteksi dini, koordinasi antar lembaga sebagai ikhtiar percepatan penanganan, serta pelatihan bagi aparat desa dan kecamatan untuk tanggap terhadap kasus kekerasan seksual. Jejaring desa ramah perempuan dan peduli anak harus difungsikan optimal.

Forum Kolaborasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (FKP2KS) menjadi waadah aksi kolektif lintas sektor dijadikan wadah untuk menjawab kompleksitas persoalan kekerasan seksual di NTB, Pemerintah Provinsi NTB bersama mitra strategis menjadikan Forum Kolaborasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (FKP2KS) sebagai model kolaborasi lintas sektor yang menjembatani berbagai kekuatan sipil, birokrasi, keagamaan, dan komunitas dalam satu ekosistem perlindungan.

FKP2KS tidak hanya berfungsi sebagai forum koordinasi, melainkan juga sebagai task force yang bekerja secara taktis dan strategis. 

Forum ini dibentuk mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, dengan dukungan pengorganisasian di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan, memanfaatkan potensi kelembagaan lokal seperti TP PKK, karang taruna, tokoh adat, hingga jaringan pesantren.

Adapun tugas utama FKP2KS mencakup:

1. Pencegahan kekerasan seksual melalui edukasi, kampanye, literasi publik, dan penguatan norma sosial yang sehat.

2. Koordinasi penanganan kasus dengan mengintegrasikan layanan dari UPTD Dinas Sosial, UPTD PPA, Aparat Kepolisian, Rumah Sakit, Pendamping Hukum, dan lembaga sosial.

3. Pemantauan dan pelaporan kasus secara berkala untuk memastikan akuntabilitas serta memberikan masukan kepada pemerintah daerah.

4. Advokasi kebijakan dan regulasi guna memperkuat sistem perlindungan hukum dan sosial berbasis bukti lapangan.

5. Peningkatan kapasitas aktor lokal, seperti kader TP - PKK, guru, penyuluh agama, dan pemuka masyarakat agar menjadi pelindung aktif di lingkungannya.

Adapun fungsi strategis FKP2KS adalah meliputi:
1. Forum dialog dan sinergi antarlembaga pemerintah dan non-pemerintah dalam isu perlindungan perempuan dan anak.

2. Pusat rujukan kasus serta penghubung antarunit layanan untuk mempercepat penanganan korban dan memastikan tidak ada korban yang terabaikan.

3. Pusat data dan informasi terpadu berbasis wilayah, yang menyimpan dan menganalisis tren kekerasan seksual untuk digunakan dalam pengambilan keputusan.

4. Sebagai Unit mobilisasi sumber daya, baik dari anggaran publik, CSR, maupun komunitas untuk mendukung program pencegahan dan pemulihan korban.

Tata kerja FKP2KS didesain berbasis prinsip inklusif, responsif, dan kolaboratif, yang antara lain:

Dipimpin secara kolektif oleh unsur pemerintah (Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana), tokoh masyarakat, tokoh agama, dan perwakilan organisasi masyarakat sipil.

Kemdian mengadakan pertemuan rutin triwulan dan rapat insidental saat ada eskalasi kasus.

Memiliki tim kerja teknis yang bertanggung jawab atas pencegahan, penanganan, pemulihan, dan data.

Bekerja secara terintegrasi dengan Dinas Pendidikan, Kemenag, Perguruan Tinggi, TP PKK, kepolisian, kejaksaan, serta lembaga layanan psikososial.

Keberadaan FKP2KS menjadi sangat penting di tengah tantangan besar yang dihadapi NTB. Ini bukan sekadar forum seremonial, tetapi instrumen nyata untuk menyatukan kekuatan, mempercepat respons, dan mengawal kebijakan agar tidak sekadar berhenti di atas kertas.

Karenanya tepat kalau kita menggugah semangat Kolaborasi dari prihatin ke tindakan nyata. NTB tidak membutuhkan lagi sekedar keprihatinan, yang dibutuhkan adalah tindakan nyata. 

Pemerintah, tokoh pendidikan, agama, masyarakat, dan seluruh pihak harus turun tangan dalam melindungi generasi penerus dari kekerasan seksual.

Sudah cukup korban yang berbicara dalam bisu. Sudah cukup airmata yang mengering di bawah nama “aib keluarga”. 

Saatnya semua pihak berkata: cukup!!! Lalu bergerak bersama dengan satu niat, satu strategi, dan keberanian kolektif melalui Governansi Kolaboratif Melawan darurat kekerasan seksual di NTB.

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved