Pilgub NTB 2024

Hasil Survei Fitra NTB November 2024: Warga Ingin Kepala Daerah Prioritaskan 5 Hal Ini

Fitra NTB memetakan temuan-temuan kunci sebagai referensi para kandidat Pilgub NTB 2024 jika terpilih untuk merumuskan kebijakan strategis daerah

|
TRIBUNLOMBOK.COM/ROBBY FIRMANSYAH
Debat perdana Pilgub NTB 2024 digelar Rabu (23/10/2024) di Kota Mataram. Fitra NTB memetakan temuan-temuan kunci sebagai referensi para kandidat Pilgub NTB jika terpilih untuk merumuskan kebijakan strategis daerah. 

Pendekatan ini akan sangat baik bagi para kandidat dan tim pemenangan untuk beradu ide dan gagasan yang konkret dalam memenangkan suara pemilih. 

Hal ini sangat diuntungkan dengan temuan bahwa tipologi pemilih separuhnya tergolong rasional. 

"Misalnya, bagaimana para kandidat akan menciptakan lapangan kerja, atau menyelesaikan persoalan akses air bersih yang masih rendah.

"Akses air bersih yang rendah berdampak pada buruknya kualitas kesehatan masyarakat, serta terkurasnya keuangan rumah tangga miskin karena membeli air dengan harga yang tinggi, khususnya di kawasan pesisir," papar Ramli.

Berdasarkan hasil kajian anggaran sektor air bersih dan sanitasi Fitra NTB Oktober 2024, alokasi anggaran penyediaan air bersih masih sangat kecil.

Di Provinsi NTB, hanya sekitar 0,6 persen dari APBD NTB, dan di Kabupaten Lombok Timur sekitar 1,4 persen dari APBD. 

Dengan alokasi yang terbatas, INPRES 1/2024 tentang Percepatan Penyediaan Air Minum dan Layanan Pengelolaan Air Limbah Domestik akan sulit terealisasi.

Kerawanan Politik Uang

Hasil survei juga memotret praktik politik uang atau membeli suara pemilih (vote buying), baik menggunakan barang maupun uang. 

Selain itu, juga penggunaan fasilitas negara, APBD dan pengerahan ASN untuk kepentingan kandidat tertentu. 

Ramli mengungkap, 10 persen responden menyatakan akan mengubah keputusan politiknya jika diberikan barang atau uang.

"Meskipun angka permintaan (demand) politik uang oleh pemilih tercatat kecil, namun dengan ketatnya persiangan antar kandidat diprediksi sisi penawaran (supply) akan cukup tinggi," urainya.

Bentuk beli suara yang paling banyak diprediksi dalam bentuk uang, berikutnya sembako.

Di sisi lain, angka pemilih yang menganggap politik uang atau membeli suara pemilih sebagai praktik wajar tergolong tinggi, yaitu sekitar 33,75 persen. 

Sementara itu, tingkat kesadaran pemilih untuk melaporkan praktik politik uang atau beli suara oleh kandidat dan timsesnya pada Pilkada serentak 2024 ini sangat rendah (6,25 persen).

"Kami meminta Bawaslu memperketat pengawasan politik uang atau vote buying dengan difokuskan di wilayah-wilayah dengan profil pemilih paling berisiko," kata Ramli.

Kelompok paling berisiko sebagai sasaran politik uang adalah pemilih dengan tingkat pendidikan

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved