Opini
Revisi RUU Penyiaran Membunuh Kebebasan Pers
Revisi RUU Penyiaran ini memiliki potensi memeberikan kekuasaan besar kepada pemerintah dalam mengontrol konten media.
Oleh: Dela Catur Apriani, mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Mataram
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menuai pro kontra di tengah masyarakat. RUU dianggap akan melemahkan kebebasan pers di Indonesia.
Sejatinya, RUU Penyiaran tersebut dihajatkan untuk memperbaiki regulasi penyiaran di Indonesia, namun faktanya revisi tersebut menuai penolakan dari berbagai pihak terutama jurnalis di Indonesia.
Sebagian besar penolakan tersebut disebabkan beberapa pasal yang direvisi justru mengancam kebebasan pers. Apalagi penyelesaian sengketa produk jurnalistik yang semula ditangani Dewan Pers akan diambil alih oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Revisi RUU Penyiaran ini memiliki potensi memeberikan kekuasaan besar kepada pemerintah dalam mengontrol konten media. Sehingga penolakan terhadap RUU Penyiaran tersebut gencar dilakukan di berbagai daerah, dengan melakukan demontrasi di depan gedung DPRD.
Pada 5 Mei 2024 gabungan organisasi profesi jurnalis melakukan aksi penolakan terhadap revisi RUU Penyiaran tersebut. Diantaranya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) NTB, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) NTB, dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) NTB.
Aksi penolakan tersebut dilakukan dengan cara menaburi kartu pers milik jurnalis di NTB tersebut dengan bunga di depan gedung DPRD Provinsi NTB, sebagai simbol matinya kebebasan pers.
Bagi sebagian orang, penolakan terhadap RUU Penyiaran dapat dipandang wujud dari kepedulian terhadap demokrasi dan kebebasan berekpresi.
Di tengah kondisi politik yang semakin kritis, keberadaan media massa yang independen dan berani memperjuangkan kebenaran sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan informasi dan kontrol terhadap kekuasaan.
Revisi RUU Penyiaran membuktikan bahwa demokrasi media tidak sehat dan sebagai tanda bahwa kemunduran bagi demokrasi media di Indonesia.
Media yang bebas dan independen menjadi pilar utama demokrasi, yang memastikan bahwa masyarakat berhak mendapatkan infromasi yang akurat, berimbang dan kritis terhadap kekuasan tanpa terhalang dengan campur tangan pemerintah.
Hal ini dianggap pembungkaman media karena kurangnya ruang berekspreresi untuk mengungkapkan pendapat atau laporan kontraversial sehingga merugikan masyarakat yang tidak mendapat informasi aktul dan terpercaya.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan publik yaitu pasal 50 B ayat 2 c yang mengancam kebebasan berpendapat media dalam ruang digital karena hal ini sama saja mengekang publik untuk membatasi jenis-jenis opini dan informasi yang ingin disampaikan.
Informasi yang seharusnya di dapatkan masayarakat tidak sesuai dengan fakta lapangan karena adanya pengawasan dari pemerintah yang bisa saja mengatur apa yang ingin di publish.
Hal ini juga bisa dijadikan alat oleh pemerintah untuk mengontrol narasi publik, baik dari kasus korupsi dan sisi gelap pemerintah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.