Pemilu 2024

Pemilu di Bawah Bayang-bayang Lembaga Survei Bayaran

Dengan semakin banyaknya bermunculan lembaga survei yang tidak jelas kredibilitasnya ini justru semakin menurunkan kepercayaan publik.

|
Editor: Sirtupillaili
TribunLombok.com
Ilustrasi lembaga survei pada Pemilu 2024 

“Lembaga survei sekarang bukan hanya (bertujuan) untuk mendapatkan angka, tapi ada yang berperan sebagai konsultan politik. Ada juga yang bertugas sebagai propagandis. Pada Pemilu sekarang ini kelihatan sekali paran-peran itu,” Yusuf Tantowi, warga Lombok.

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Musim Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 diwarnai hujan rilis beragam lembaga survei. Publik kembali disuguhkan perang informasi adu kuat elektabilitas para kandidat.

Sayangnya, hasil survei ini rentan menjadi bias karena kemunculan lembaga-lembaga survei abal-abal. Kredibilitas mereka masih dipertanyakan publik.

Meski demikian, hasil survei politik tetap membuat publik penasaran. Warga selalu ingin tahu siapa yang unggul dalam survei terbaru.

Berdasarkan data google trends dari Januari 2023 hingga awal Januari 2024, pencarian kata kunci “hasil survei” di bidang politik meningkat signifikan. Gafiknya meningkat hingga mencapai 100 pada kurun waktu 7-13 Januari 2024.

Berdasarkan wilayah, pembaca paling banyak mencari hasil survei dari daerah Maluku Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) di urutan keenam.

Data ini menunjukkan, meski kepercayaan terhadap lembaga survei cenderung menurun karena bias lembaga survei abal-abal, warga tetap penasaran dengan hasil survei politik.

Menjamurnya lembaga survei ini tidak bisa dihindari sebagai bagian dari dinamika negara demokrasi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggap lembaga survei sebagai bagian dari bentuk pastisipasi masyarakat.

Dalam perkembangannya, kini muncul kesan bahwa banyak lembaga survei bayaran yang berupaya menggiring opini untuk menguntungkan kandidat tertentu.

Yusuf Tantowi, salah seorang warga Lombok Barat menilai, banyaknya lembaga survei saat ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, warga memiliki banyak pilihan untuk mengetahui hasil survei peta politik.

Tapi dampak negatifnya, kini muncul persepsi kurang baik dari masyarakat tentang lembaga survei itu sendiri. Dengan hasil survei berbeda-beda, warga dibuat bingung mana yang harus dijadikan rujukan. Kondisi ini mempengaruhi kepercayaan publik terhadap survei.

Yusuf Tantowi yakin lembaga survei tidak berdiri sendiri. Pasti ada pihak-pihak yang mensponsori, apakah itu dari partai politik atau lembaga lain. Sehingga muncul kesan ada survei pesanan atau bayaran.

“Menurut saya itu realita, itu fakta. Tidak mungkin lembaga survei lahir begitu banyak kalau tidak ada yang mensponsori,” katanya.

Setiap pihak yang mensponsori survei tentu mereka memiliki kepentingan. Hasil survei tersebut biasanya akan dijadikan pijakan untuk mengambil langkah-langkah demi mencapai tujuan politik.

Hal itu menurutnya sah-sah saja, tidak ada yang dilanggar. Tetapi akan menjadi masalah jika lembaga survei mengarahkan opini publik. Melalui pertanyaan-pertanyaan, kadang secara tidak sadar warga yang menjadi narasumber digiring memberikan jawaban tertentu.

“Lembaga survei sekarang bukan hanya untuk mendapatkan angka, tapi ada yang berperan sebagai konsultan politik dan ada juga yang bertugas sebagai propagandis. Pada Pemilu sekarang ini kelihatan sekali paran-peran itu,” kata Yusuf Tantowi.

Hal senada juga diungkapkan, Dwi Arie Santo, warga NTB lainnya. Menurut Dwi, independensi lembaga survei saat ini memang perlu dipertanyakan. Sebab dengan banyaknya lembaga survei, sangat wajar publik meragukan kredibilitas dan independensi mereka.

“Dengan semakin banyaknya bermunculan lembaga survei yang tidak jelas kredibilitasnya ini justru semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga survei,” katanya.

Menurutnya, survei politik saat ini sudah semakin terkesan menjadi ladang bisnis semata. Hasil survei kadang dipakai untuk menggiring opini publik terhadap kandidat tertentu yang membayar.

Lembaga Survei Musiman

Dr Ihsan Hamid, peneliti Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (PusDeK) Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram saat berbicara dalam acara program TribunLombok.com.
Dr Ihsan Hamid, peneliti Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (PusDeK) Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram saat berbicara dalam acara program TribunLombok.com. (TRIBUNLOMBOK.COM/DZUL FIKRI)

Kondisi ini tidak dinafikan Dr Ihsan Hamid, peneliti sekaligus dosen program studi pemikiran politik UIN Mataram.

Ia mengibaratkan, lembaga survei di musim Pemilu bak jamur di musim hujan. Sehingga muncul istilah lembaga survei musiman, karena mereka hanya eksis ketika ada momen Pemilu dan permintaan klien. Mereka tidak bekerja sebagaimana lembaga survei profesional.

“Kalau memang itu lembaga survei kredibel, independen, dan terbuka dia biasanya akan melakukan survei tanpa menunggu momentum Pilkada atau Pemilu,” kata Ihsan Hamid.

Ihsan Hamid menjelaskan, lembaga survei bisa dibuat oleh perguruan tinggi atau lembaga di luar kampus.

“Tapi pertanyaanya, banyak sekali lembaga survei hari ini yang mengeluarkan rilis atau hasil survei tanpa ada kontrol atau keterbukaan terhadap hasil yang didapatkan,” katanya.

Ihsan mengakui, lembaga-lembaga survei ini memang bekerja dengan metode ilmiah yang selama ini lazim digunakan dalam riset.

“Tapi kadang itu kita pertanyakan karena ketidakterbukaan informasi. Informasi tentang apa? Bisa saja pendanaan, data atau instrumen metodologi yang digunakan, bahkan yang paling mendasar itu soal jumlah sampel atau cara mengambil sampling,” katanya.

Dari indikator-indikator tersebut, warga bisa menilai apakah lembaga survei tersebut kredibel atau tidak. Menurutnya, beberapa lembaga survei terkenal di tingkat nasional patut dipercaya publik. Seperti Litbang Kompas, CSIS, Indo Barometer, dan lembaga survei yang dibuat perguruan tinggi.

Survei yang dilakukan perguruan tinggi, kata Ihsan, sudah memiliki sistem dan struktur mapan. Lembaga-lembaga ini melakukan survei yang syarat dengan kaidah ilmiah. ”Biasanya juga mereka jarang melakukan survei yang bombastis,” katanya.

“Yang kita pertanyakan ini sebetulnya lembaga-lembaga survei yang ada di daerah, yang tidak pernah kita dengar namanya di kancah nasional. Karena mereka akan muncul seperti musim hujan, dia muncul karena ada afiliasi atau ada order oleh perorangan atau lembaga tertentu,” katanya.

Lembaga survei politik, lanjut Ihsan, menjadi salah satu instrumen penting dalam politik dan pesta demokrasi. Tapi persoalannya muncul banyak lembaga survei yang tidak kredibel.

“Dia hanya muncul sebagai alat untuk membentuk opini paslon atau peserta pemilu lainnya,” katanya.

Lembaga survei yang kredibel menurutnya menjelaskan secara detail jumlah sampel dan metode sampling yang digunakan. Semakin banyak sampel, hasil surveinya semakin akurat.

“Tapi lembaga survei hari ini banyak yang tidak membuka metodologi pengambilan data, apakah dengan wawancara langsung tatap muka atau sebagainya lewat enumerator,” katanya.

Sehingga, menurutnya, tidak semua lembaga survei politik bisa dipercaya begitu saja oleh publik. Sekali pun lembaga itu mengklaim menggunakan metode ilmiah.

Ciri-ciri Lembaga Survei Kredibel

Gafik perbedaan ciri lembaga survei kredibel dan tidak kredibel.
Gafik perbedaan ciri lembaga survei kredibel dan tidak kredibel. (TribunLombok.com/Tiyo)

Untuk membedakan lembaga survei kredibel dan tidak, publik bisa menilai dari beberapa ciri-ciri atau indikator, antara lain:

1. Bersikap terbuka

Lembaga survei yang kredibel pasti terbuka. Mereka terbuka ke publik terkait metodologi yang digunakan, jumlah sampel dan teknik pengambilan data sampling, menyebut margin of error (batas kesalahan), hingga membuka sumber pendanaan survei.

Kemudian lembaga survei kredibel melakukan uji publik hingga menggelar keterangan pers untuk mendapatkan timbal balik atas surveinya. Terbuka terhadap kekurangan-kekurangan dalam survei yang dilakukan.

“Jadi lembaga survei yang kredibel itu dia terbuka terhadap semua informasi. Hasilnya juga mencerminkan kecenderungan publik di lapangan, dia tidak bertolak belakang dengan kecenderungan publik,” katanya.

Mereka juga terbuka siapa saja tim peneliti yang bertanggungjawab dalam survei tersebut.

2. Menggunakan kaidah ilmiah yang benar

Lembaga survei kredibel pasti menerapkan kaidah ilmiah yang benar. Mulai dari metologi penelitian, jumlah dan teknik pengambilan sampel survei.

3. Dibuka ke publik

Hasil survei dibuka seluas-luasnya ke publik tidak ada yang dirahasiakan. Misalnya, hasil survei di tiap kabupaten/kota dan indikator dalam survei lainnya.

4. Rekam jejak jelas

Lembaga survei kredibel memiliki rekam jejak yang jelas dan sudah teruji. Mereka secara intens melakukan survei, tidak hanya pada momentum Pemilu. “Setiap tahun mereka melakukan survei,” katanya.

Sementara lembaga survei yang tidak kredibel biasanya hanya muncul tiba-tiba atau musiman, tidak terbuka, dan kurang jelas kaidah ilmiah yang digunakan. Hasil surveinya kadang bertolak belakang dengan kecenderungan publik, dan survei cenderung bombastis.

Hasil Survei Menentukan Pilihan?

Pekerja melakukan pelipatan surat suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gor Kebon Jeruk, Jakarta, Selasa (2/1/2024). KPU Jakarta Barat mulai melakukan pelipatan surat suara dengan melibatkan 210 pekerja dari warga sekitar.
Pekerja melakukan pelipatan surat suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gor Kebon Jeruk, Jakarta, Selasa (2/1/2024). KPU Jakarta Barat mulai melakukan pelipatan surat suara dengan melibatkan 210 pekerja dari warga sekitar. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Lembaga survei, kata Ihsan, bukan untuk menentukan pilihan politik masyarakat. Survei politik hanya membaca gejala kecenderungan pilihan publik. “Gejala dan kecenderungan ini bukan sesuatu yang pasti dan konkret benar,” katanya.

Ia mencontohkan, saat survei Pilkada DKI Jakarta, dimana Anies dan Ahok bertarung. Saat itu, semua lembaga survei memenangkan Ahok. Tetapi kenyataanya yang menang adalah Anies. Hal itu menunjukkan hasil survei belum tentu menentukan pilihan politik seseorang.

Ihsan tidak menafikan jika dalam beberapa praktiknya, survei kadang diorder khusus untuk membentuk opini publik, sehingga oknum peneliti itu melakukan manipulasi data.

“Biasanya yang gini-gini tidak perlu kita percaya. Masyarakat perlu kita himbau, boleh (survei) itu karena kerjanya ilmiah, tetapi selama dilakukan lembaga yang kredibel,” katanya.

Lembaga Survei NTB Tak Terdaftar di KPU

Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Depok, Dani Yudianda memeriksa kotak suara yang telah dirakit di Gudang Logistik KPU Kota Depok, Jawa Barat, Jumat (13/11/2020).
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Depok, Dani Yudianda memeriksa kotak suara yang telah dirakit di Gudang Logistik KPU Kota Depok, Jawa Barat, Jumat (13/11/2020). (Tribunnews/Jeprima)

Keberadaan lembaga survei politik dalam Pemilu Indonesia diakui sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam menyukseskan pesta demokrasi. Karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI membuka pendaftaran lembaga survei dan hitung cepat Pemilu 2024.

KPU RI merilis, sebanyak 63 lembaga survei telah mendaftar di KPU. Hingga Minggu 14 Januari 2024, sebanyak 33 lembaga telah mendapatkan sertifikat terdaftar. Kemudian 26 lembaga dalam proses penerbitan sertifikat, dan 4 lembaga harus melengkapi dokumen.

Dari daftar 63 lembaga survei tersebut, tidak ada satu pun lembaga survei yang berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Agus Hilman, Komisioner KPU Provinsi NTB menjelaskan, pendaftaran lembaga survei hanya ada di KPU pusat. Jika ada lembaga survei dari NTB yang ingin mendaftar bisa langsung ke KPU RI. ”Di kita (KPUD) tidak ada, hanya ada di KPU RI,” katanya.

Meski lembaga-lembaga survei daerah belum terdaftar, namun KPU tidak bisa melarang lembaga tersebut melakukan survei atau merilis hasil survei mereka. “Untuk sementara ini, KPU tidak mengatur terkait hal tersebut,” katanya.

Lembaga survei dan hitung cepat di KPU saat ini masuk sebagai bagian dari partisipasi masyarakat. Tidak ada pengaturan lebih lanjut.

Meski demikain, dengan mendaftar di KPU RI, lembaga survei akan mendapatkan legitimasi dalam melaksanakan kegiatan survei dan penghitungan cepat hasil Pemilu.

Untuk mendapatkan sertifikat terdaftar, lembaga survei wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2022 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum.

Eksistensi Lembaga Survei Daerah

Tangkapan layar hasil survei Olat Maras Institute terhadap popularitas parpol di pileg DPR RI dapil NTB II Pulau Lombok yang dirilis Senin (16/1/2023).
Tangkapan layar hasil survei Olat Maras Institute terhadap popularitas parpol di pileg DPR RI dapil NTB II Pulau Lombok yang dirilis Senin (16/1/2023). (ISTIMEWA)

Menjamurnya lembaga survei tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Lembaga survei di tingkat daerah juga banyak bermunculan. Mereka memang belum terdaftar di KPU RI. Tapi sudah melakukan kerja-kerja layaknya lembaga survei.

Salah satu lembaga survei yang eksis di Provinsi NTB adalah Olat Maras Institute (OMI). Lembaga ini berbasis di Pulau Sumbawa. OMI didirikan tahun 2017, klien pertama mereka adalah Zulkieflimansyah, gubernur NTB periode 2018-2023.

Direktur Eksekutif Olat Maras Institute (OMI) Miftahul Arzak mengakui, masyarakat NTB yang pernah membaca hasil survei mereka pasti bertanya, siapa tokoh di balik pendirian OMI. Menurutnya hal itu sangat wajar.

Miftah menjelaskan, OMI merupakan lembaga survei yang didirikan beberapa peneliti dan dosen dari Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (IISBUD) Samawa Rea. Dua perguruan tinggi ini berada di bawah naungan Yayasan Dea Mas.

UTS dan IISBUD Samawa Rea ini merupakan kampusnya Dr Zulkieflimansyah (Gubernur NTB periode 2018-2023). Menurutnya hal itu sudah diketahui masyarakat luas.

Meski ada sosok tokoh politik di belakangnya, namun Miftah memastikan para akademisi yang berada di OMI bekerja secara profesional. Dengan latar belakang sebagai dosen dan peneliti, mereka tetap bekerja professional dalam melakukan riset.

Selain melakukan survei untuk umum, OMI juga selama ini banyak melakukan survei internal untuk membantu beberapa partai politik.

“Karena homebase kita di UTS dan IISBUD, jadi kami banyak membantu PKS dan pak Zul. Tapi kami juga pernah melakukan survei di lintas partai. Kami pernah di PDIP, NasDem juga pernah melakukan survei, termasuk di PKB,” katanya.

Ia mengakui, selama ini OMI yang berbasis di UTS dan IISBUD kerap diminta melakukan riset oleh Zulkieflimansyah tentang keadaan politik di NTB.

Miftah menambahkan, selain aktif di OMI yang berbasis di kampus UTS dan IISBUD, dia secara pribadi juga memiliki lembaga survei sendiri yakni MY Institute Survey and Research.

MY Institute merupakan lembaga survei dan penelitian di bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

MY Institute melakukan survei untuk banyak klien partai politik, tidak hanya untuk PKS dan Dr Zulkieflimansyah, tetapi juga survei untuk parpol lainnya, seperti PDIP, PKB, Nasdem, dan lainnya. Sebab MY Institute berdiri secara independen.

Biaya Survei Tinggi

Ilustrasi uang. Petugas menyusun uang pecahan rupiah di Kantor Cabang BSI KC Mayestik, Jakarta, Kamis (28/12/2023).
Ilustrasi uang. Petugas menyusun uang pecahan rupiah di Kantor Cabang BSI KC Mayestik, Jakarta, Kamis (28/12/2023). (Tribunnews/Jeprima)

Untuk membuat lembaga survei itu tidak terlalu mahal dan tidak ribet. Mereka tinggal membuat lembaga penelitian dan setelah itu mendaftar ke Kemenkumham lewat Kesbangpoldagri. Karena mereka memiliki latar belakang sebagai peneliti dan dosen, mereka tidak perlu modal besar untuk itu, karena mereka sudah memiliki dasar keilmuan.

“Kegiatan survei itu adalah kegiatan metodologis di kampus,” katanya.

Kemudian untuk tenaga lapangan, mereka lebih mudah lagi karena mereka bisa melibatkan mahasiswa dalam survei tersebut.

“Untuk biaya (survei) ya biayanya dari klien kami, ya lumayanlah. Gambarannya, biasanya kami untuk 1.200 responden kami membutuhkan 40 surveyor yang turun lapangan. Satu orang mewawancari 30 orang, dan satu orang surveyor dibayar Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta,” katanya.

Rata-rata biaya untuk sekali survei untuk Pileg di tingkat kabupaten antara Rp 80 juta – Rp 100 juta, tergantung jumlah responden. Biaya Rp 80 juta itu untuk 400 responden, sedangkan Rp 100 juta untuk 1.200 responsen. Sedangkan untuk riset calon bupati antara Rp 100 juta hingga Rp 150 juta, kemudian survei calon gubernur Rp 150 juta hingga Rp 200 juta.

“Tapi biaya itu kecil mas, kenapa kecil? Karena saya punya tim itu 50-60 orang rata-rata saya gaji UMR semua untuk tim yang turun lapangan dan lain-lain, sehingga itu angkanya tidak terlalu besar sebenarnya,” ujar Miftah.

Untuk mendanai lembaga surveinya, Miftah mengaku memiliki beberapa klien partai politik yang kerap menjadi langganan. Mereka meminta dibuatkan survei-survei internal sampai melakukan pendampingan. Tiap beberapa bulan sekali mereka melakukan survei.

Seperti di salah satu kabupaten, salah satu calon sudah didampingi selama dua tahun. Mereka memberikan biaya konsultan dan biaya survei. Keuntungan dari survei-survei itu kemudian disisihkan untuk melakukan survei secara mandiri yang bisa mereka publikasikan secara umum.

“Selain melakukan survei politik kami juga sebenarnya melakukan survei sosial juga,” katanya.

Misalnya riset tentang bagaimana persepsi masyarakat tentang kinerja legislatif. Kemudian ada juga survei kinerja bupati dan wakil bupati Sumbawa. Itu murni biaya dari lembaga survei, tidak ada kaitannya dengan partai politik. Sehingga diumumkankan ke publik.

“Kalau untuk survei internal, bicaranya strategi partai, siapa yang menang dan lain-lain, itu yang biasanya kami simpan tergantung klien,” jelasnya.

Dia mengakui, selama ini lebih banyak melakukan survei untuk internal partai. Survei itu digunakan untuk membantu partai dalam mengambil langkah dan strategi menghadapi kontestasi politik.

Hampir Semua Survei Bayaran?

Ilustrasi statistik survei.
Ilustrasi statistik survei. (pexels.com)

Miftahul Arzak tidak membantah jika sebagian orang punya persepsi miring terhadap lembaga survei, misalnya disebut sebagai lembaga survei bayaran.

“Kalau saya pribadi menyampaikan, hampir sebagian besar lembaga survei itu bayaran. Kenapa? Jadi survei itu tidak murah, biayanya cukup besar, walau nanti dibagi-bagi ke tim tetapi tetap besarlah biayanya,” katanya.

Hanya saja, menurut Miftah yang paling penting adalah masalah kredibilitas lembaga survei. Apakah hasil survei yang dihasilkan bisa dipertanggunjawabkan atau tidak.

“Cuma pertanyaanya, apakah lembaga survei itu kredibel atau tidak?”

“Saya berkeyakinan orang-orang yang ada di lembaga survei itu rata-rata peneliti atau dosen atau mereka tahu metodologi,” katanya.

Ilustrasi hasil survei politik
Ilustrasi hasil survei politik (TribunLombok.com/Tiyo)

Selain OMI, di NTB juga terdapat lembaga survei yang berkolaborasi dengan media massa yakni Smartpoll Indonesia. Dalam melakukan survei lembaga ini berkolaborasi dengan media online lokal NTBsatu.com.

Fahrunnisa, Direktur & Pendiri Smartpoll Indonesia pada TribunLombok.com menjelaskan, Smartpoll baru didirikan tahun 2023, tapi sebelumnya tim yang terlibat sudah memiliki pengalaman melakukan survei di Sumbawa sejak tahun 2020. Mereka terlibat dalam lembaga survei Samawa Center.

Smartpoll didirikan bukan hanya sebagai lembaga survei politik. Tapi juga sebagai lembaga survei sosial, pendidikan, dan ekonomi.

Para pendirinya terinspirasi dari Semeru Riset Center dan LP3ES. Mereka sejak lama menjadi lembaga riset yang menjadi referensi kaum intelektual di NTB, baik di bidang sosial, ekonomi, Pendidikan, termasuk di bidang politik.

“Jadi bergeraknya itu menyajikan data untuk kerja-kerja ilmiah. Pengambilan keputusan di pemerintahan itu berdasarkan data di lapangan. Jadi ini semangatnya Smartpoll ini,” katanya.

Dia menegaskan, Smartpoll hadir di NTB bukan semata-mata karena ada momentum Pemilu 2024. Menurutnya, kebetulan saat ini sedang ada agenda pemilu jadi mereka melakukan survei seputar pemilu.

“Kebetulan ketika kami mendirikan di tahun 2023 ini pas di tahun politik,” katanya.

Smartpoll Indonesia dibentuk Juli 2023 oleh sejumlah peneliti dari Sumbawa. Merekah adalah Januar, Fahrunnisa, Sarani, dan Dwi. Mereka berstatus sebagai pendiri tidak dimodali tokoh politik.

“Kami mendirikan sendiri dengan modal sendiri saja gitu, karena kita membangun lembaga riset, kan sebenarnya yang kita butuhkan hanya akta saja, yang penting kita punya sumber daya,” katanya.

Para pendiri Smartpoll sebelumnya sudah sering melakukan penelitian sehingga sudah terlatih. Fahrunnisa sendiri merupakan seorang dosen, sementara Januar dan Sarani merupakan peneliti.

Dia memastikan, lembaga survei yang didirikan tidak didukung kekuatan politik tertentu. Smartpoll didirikan murni atas inisiasi para peneliti dan dosen.

“Orang politik (di belakang Smartpoll) tidak ada. Murni kami berempat, satu lagi namanya Dwi, cewek,” katanya.

“Kami tidak seperti itu (lembaga survei didanai tokoh politik), kami mendirikan sendiri dengan uang kami sendiri, dan sekarang prosesnya kami akan bergabung dengan salah satu lembaga survei di Indonesia,” katanya.

Menurutnya, jika ada orang berpandangan bahwa lembaga survei ini dimodali tokoh politik, itu keliru. Lembaga surveinya sendiri benar-benar independent dan tidak partisan.

(*)

Tim penyusun: Sirtupillaili - Robby Firmansyah

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved