Anggota DPRD Kota Mataram Gugat ke MK Soal Aturan Harus Mundur Sebelum Nyaleg Lagi dari Partai Lain

Pemohon terpilih sebagai anggota dewan dari Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pada Pemilu 2019 namun jadi Caleg Pemilu 2024 dari partai lain

mkri.id/Humas Ifa
Hendriyanus Rudyanto Tonubessi selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok permohonannya pada sidang panel pendahuluan uji Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah, Kamis (31/08/2023) di Ruang Sidang MK. 

TRIBUNLOMBOK.COM - Anggota DPRD Kota Mataram Misban Ratmaji menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) bersama anggota DPRD Kabupaten Timor Tengah Selatan Sefriths Eduard Dener Nau dan Anggota DPRD Kabupaten Kampar Kardinal.

Misban yakni jadi Caleg Partai Hanura untuk Dapil 3 Kota Mataram, Eduard, dan Kardinal mengajukan permohonan uji materil yang sidangnya digelar, Kamis (31/8/2023) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.

Yakni terkait Pasal 193 ayat (2) huruf i Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).

Kuasa hukum para Pemohon Hendriyanus Rudyanto Tonubessi mengatakan, para Pemohon merupakan anggota legislatif yang terpilih melalui pemilihan anggota legislatif (pileg) tahun 2019 dan menjadi anggota DPRD masa bakti 2019 hingga 2024.

Pada kesempatan Pemilu 2024 mendatang, para Pemohon juga sama-sama bermaksud mencalonkan diri.

Baca juga: Gerindra Tolak Pilkada 2024 Dimajukan Jadi September, Sebut Bisa Bikin Berantakan

"Namun Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) sebagai partai politik pengusungnya dinyatakan tidak lulus verifikasi sebagai peserta Pemilu 2024 sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 173 UU Pemilu," ucapnya dikutip dari laman MK RI.

Pasal 193 ayat (2) huruf i UU Pemda yang menyatakan, “Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antar-waktu karena… i. menjadi anggota partai politik lain.”

Menurut para Pemohon, Pasal 193 ayat (2) huruf i UU Pemda tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Sebab, hal yang dapat dilakukan hanyalah menggabungkan diri pada partai politik lain yang lulus verifikasi sebagai peserta Pemilu 2024.

"Berdasarkan SE Mendagri Nomor 100.2.1.4/4367/OTDA yang dibuat berdasarkan ketentuan pasal a quo, maka para Pemohon harus diberhentikan karena harus berpindah ke partai lain agar tetap bisa mencalonkan diri sebagai caleg pada masa pemilihan berikutnya," ucap Hendriyanus.

Baca juga: Jokowi Bela Gibran yang Dikaitkan dengan Uji Materi Batas Usia Capres-Cawapres di MK

Dia menjelaskan, jika anggota partai politik yang diberhentikan semisal anggota lembaga perwakilan rakyat, maka pemberhentian tersebut diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat.

"Hal ini, dalam penalaran yang wajar berpotensi untuk menghalangi pemenuhan hak konstitusional para Pemohon khususnya hak konstitusional untuk dipilih dalam Pemilihan Umum 2024," bebernya.

Ditambah pula, kata dia, norma ini berakibat pada dilematika penyelesaian masa bakti para Pemohon sebagai anggota DPRD yang menjadi wakil rakyat.

Adanya ketentuan pengunduran diri dan pemberhentian sebagai syarat pencalonan anggota legislatif yang pindah partai merupakan ketentuan yang mubazir.

Sejauh paksaan pengunduran diri tersebut ditujukan kepada para Pemohon sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kota yang dahulu diusung oleh partai politik yang kini bukan lagi partai politik peserta pemilu.

Maka, berangkat dari sejumlah alasan tersebut, Hendriyanus meminta agar majelis hakim MK mengabulkan permohonan tersebut.

Nasihat Hakim

Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyebutkan adanya ketentuan yang belum termuat pada kewenangan Mahkamah dalam menyelesaikan perkara yang dimohonkan para Pemohon.

Untuk itu perlu disertakan pada permohonan mendatang. Berikutnya Manahan juga mencermati pada bagian kedudukan hukum yang menjabarkan yurisprudensi norma yang diuji dengan kerugian konstitusional para Pemohon.

“Lalu apakah partai lama membolehkan pengusungan calon yang pengganti antar-waktu, persetujuan partainya bagaimana aturannya. Jadi, ini juga bisa dikemukakan di permohonan ini,” jelas Manahan.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihatnya menyoroti bagian sistematika permohonan karena pada permohonan para Pemohon masih mengikuti permohonan pada peradilan umum.

Untuk itu, Daniel meminta para Pemohon mempelajari secara baik format permohonan di MK.

Baca juga: PAN dan Gerindra di Bima Tancap Gas Setelah MK Putuskan Sistem Proporsional Terbuka

Kemudian para Pemohon juga diharapkan dapat pula menguraikan perpindahan ke partai baru (Partai Hanura) karena berkaitan dengan kedudukan hukumnya.

“Apakah PKP masih eksis? maka perlu disertakan lampiran dari SK Menteri Hukum dan HAM atas keberadaan partai ini,” sebut Daniel.

Wakil Ketua MK Saldi Isra menambahkan perlunya bagi para Pemohon untuk memperjelas kedudukan hukum dengan norma yang diuji atas hak konstitusional yang termuat pada UUD 1945.

Sebab jika hal ini tidak dipertegas dan diperjelas, maka para hakim konstitusi tidak bisa menilai alas hukum dalam pengujian norma yang dipersoalkan.

“Pada alasan permohonan disebutkan para Pemohon menghadapkan norma dengan Putusan MK 39/PUU-XI/2013. Selah-olah norma tersebut bertentangan. Padahal para Pemohon dapat dinyatakan tidak sejalan dengan putusan MK tersebut sehingga memunculkan kerugian bagi para Pemohon. Jadi buatkan argumentasinya dengan baik,” sampai Saldi.

Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 13 September 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved