Suka Duka Nelayan Bumbang Digerebek Aparat karena Tangkap Benih Lobster
Suka duka dirasakan kelompok nelayan di Pantai Bumbang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Penulis: Sinto | Editor: Sirtupillaili
Laporan Wartawan Tribunlombok.com, Sinto
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TENGAH - Larangan ekspor Benih Bening Lobster (BBL) atau benur membuat nelayan di berbagai daerah terjepit.
Mereka tidak bisa melakukan budidaya karena keterbatasan alat, namun juga tak bisa menangkap BBL karena terbentur aturan.
Hal ini dirasakan kelompok nelayan di Pantai Bumbang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Ismail (38), salah seorang nelayan yang ditemui TribunLombok.com mengungkapkan, dirinya pernah digerebek aparat kepolisian karena menangkap benur.
Mirisnya, saat itu anak dan istrinya yang dibawa ke kantor polisi, karena ia sedang tidak ada di rumah.
"Sekitar 4 tahun yang lalu pernah digerebek di rumah. Saya enggak di rumah, yang dibawa istri dan anak saya. Dibawa sama BB-nya (barang bukti) sedikit," kata Ismail kepada TribunLombok.com, dalam acara silaturahmi bersama Penggiat Budidaya Lobster Nusantara (PBLN) di Pantai Bumbang, Lombok Tengah, Sabtu (12/8/2023).
Hadir dalam acara ini Wakil Ketua PBLN Syaifullah, Sekretaris PBLN Miea Kusuma, perwakilan PBLN NTB Ma'ruf, Kepala Desa Mertak Muhammad Syahnan, dan ratusan nelayan dari Desa Mertak.
Ismail menyebut, istri dan anaknya sempat tertahan di kantor polisi selama seharian.
Mereka bisa bebas setelah Ismail menyerahkan bukti izin budidaya yang memang telah dikantonginya.
Bapak tiga anak ini mengaku dirinya bisa pulang setelah menunjukkan surat izin budidaya kepada aparat saat diinterogasi.
Ismail bercerita, keluarganya pernah hidup sejahtera sekitar tahun 2012-2015 saat penangkapan BBL dilegalkan. Bahkan harga BBL saat itu bisa mencapai Rp 50 ribu per ekor.
"Harga tertinggi pernah Rp 50 ribu per ekor. Kita pernah hidup sejahtera. Orang di Praya (Lombok Praya) punya toko, kita bisa belanja, uangnya hasil dari lobster," tutur warga asal Desa Mertak ini.
Diketahui, saat ini, harga benur hanya berkisar Rp 1-2 ribu per ekor.
Meski demikian, jumlah yang bisa terjual sangat sedikit karena keramba untuk budidaya hanya ada di Lombok Timur (Lotim) dan jumlahnya sangat terbatas.
"Kadang sebulan, 2 bulan, kalau buka keramba di Lotim, baru kita bisa buka ke sana. Itu pun kalau masih ada stok. Kalau tidak ada keramba, kita berhenti," keluhnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua PBLN Syaifullah mengaku akan menyampaikan keluhan tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
"Harapan kita ke depan terlepas itu budidaya ataupun ekspor, yang penting legal. Kalau legal kan enak," tuturnya.
Dia kembali menjelaskan, jumlah benur di perairan Indonesia mencapai 278,3 miliar ekor per tahun, dan NTB salah satu wilayah yang jumlahnya paling banyak.
"Apakah berkurang yang ada di laut? Nggak. Tidak akan berkurang. 278,3 miliar benur di laut itu tidak kita ambil akan dimakan predator, apa salahnya diambil," kata Syaiful.
(*)
Menyibak Keindahan Pantai Batu Rudal, Surga Alam Eksotis di Lombok Tengah |
![]() |
---|
BERITA DUKA Anggota DPRD Lombok Tengah Lalu Erlan Meninggal Dunia |
![]() |
---|
Bukit Balibe, Wisata Eksotis Bekas Tambang di Lombok Tengah yang Wajib Dikunjungi |
![]() |
---|
5 Fakta Baru Kasus Suami Bunuh Istri di Lombok Tengah: Motif Terungkap, Barang Bukti HP Jadi Kunci |
![]() |
---|
Jelang HUT ke-80 RI, LPKA Lombok Tengah Usulkan 37 Anak Binaan Terima PMP Umum |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.