Opini

Pemilihan Jenis Kelamin dengan Metode In Vitro Fertilization Dalam Perspektif HAM

In Vitro Fertilization (bayi tabung) ini merupakan metode menggunakan rahim asal dari ovum yang digunakan sebagai tempat tumbuhnya zigot

Istimewa
Putri Vernianda, S.H. 

Pada saat pembuahan, jumlah sel telur yang dibuahi dan menjadi embrio dalam reproduksi bantuan lebih dari 1 embrio. Padahal, hanya kurang lebih 3 embrio yang boleh ditanam dalam rahim untuk mengurangi resiko kegagalan dan multiple pregnancy yang dapat memberatkan pihak ibu. Pada prinsipnya terdapat beberapa alternatif dalam perlakuan terhadap embrio sisa yaitu dengan disimpan/dibekukan, didonorkan kepada pasangan lain, digunakan untuk penelitian, dan dihancurkan.

Penyimpanan terhadap embrio sisa diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi dengan ketentuan bahwa Kelebihan embrio hasil pembuahan di luar tubuh manusia (fertilisasi invitro) yang tidak ditanamkan pada rahim harus disimpan sampai lahirnya bayi hasil reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah.

Hak Asasi Manusia sebagai suatu hak yang melekat secara kodrati bagi seluruh manusia terlepas dari apapun jenis kelaminnya. Meskipun hak reproduksi merupakan salah satu hak asasi manusia, namun terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan mulai dari nilai sosial budaya, hingga agama.

Ekses negatif yang dihasilkan akibat penyelenggaraan pemilihan jenis kelamin dengan alasan non medis, seperti pentingnya peran laki-laki di masyarakat patrilineal, tentu kontra produktif dengan penegakan hak asasi manusia yang menjunjung tinggi nilai non discrimination.

Ketimpangan gender merupakan salah satu isu penting dalam penegakan hak asasi manusia, apabila penyelenggaraan pemilihan jenis kelamin melanggengkan praktek tersebut, maka implikasi terhadap nilai hak asasi manusia menjadi negatif.

Ekses negatif yang dihasilkan dengan alasan medis yaitu dapat terjadinya aborsi selektif dan permasalahan embrio sisa juga menjadi persoalan dari kacamata hak asasi manusia.

Menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia, hak hidup atau melanjutkan kehidupan itu dibutuhkan manusia (janin maupun ibu) selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dan keagamaan dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia dan Tuhan. Ketika janin sudah diberi hak hidup oleh Tuhan, kemudian diaborsi tidak dengan alasan demi melindungi hak keberlanjutan hidup ibunya, maka apa yang diperbuatnya berkategori pelanggaran HAM.

Pemilihan jenis kelamin dapat mengakibatkan dampak negatif dengan adanya kecendrungan memilih jenis kelamin laki-laki akibat dampak masyarakat patrilineal, aborsi selektif, dan permasalahan embrio sisa.

Ekses negatif itu tentu menyebabkan ketimpangan gender dan juga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk itu, Pemerintah harus melakukan pengawasan secara ketat terkait dengan alasan pasangan suami istri untuk melakukan pemilihan jenis kelamin apakah karena pertimbangan medis semata, atau terdapat alasan-alasan lain yang berdampak pada penegakan nilai-nilai Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Putri Vernianda, S.H sedang menempuh studi Magister Hukum Kesehatan Universitas Hang Tuah Surabaya.

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved