Opini
Pemilihan Jenis Kelamin dengan Metode In Vitro Fertilization Dalam Perspektif HAM
In Vitro Fertilization (bayi tabung) ini merupakan metode menggunakan rahim asal dari ovum yang digunakan sebagai tempat tumbuhnya zigot
Menurut Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
3. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Penjelasan Pasal 127 ayat (1) tersebut ialah syarat memperoleh keturunan dengan cara alami hanya dibolehkan untuk suami-istri yang sudah berada dalam perkawinan yang sah, dimana sel telur dan sprema berasal dari pasangan yang sah dan diletakkan di dalam rahim istri dimana asal sel telur tersebut. Praktik ini dikenal dengan praktik bayi tabung (In Vitro Fertilization).
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (selanjutnya disebut sebagai Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi) mengatur bahwa:
1. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah hanya dapat dilakukan pada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan mengalami ketidaksuburan atau infertilitas untuk memperoleh keturunan.
2. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
Ketentuan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39/Menkes/SK/I/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan (selanjutnya disebut sebagai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan) menyatakan bahwa “pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan pada suatu indikasi medik”
• 2 Kali Program Bayi Tabung Gagal, Atries Angel Berhasil Hamil Alami, Kini Melahirkan Anak Pertama
Pasca lahirnya Undang-Undang Kesehatan 2009, belum ada satupun aturan mengenai pedoman pelayanan bayi tabung terbaru. Aturan berkaitan pelayanan bayi tabung dapat dilihat melalui Surat Keputusan Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI Tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit yang mengatur bahwa:
1. Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma dan sel telur pasangan suami-istri yang bersangkutan;
2. Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga kerangka pelayannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan;
3. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun. Pemilihan jenis kelamin karena alasan non medis adalah isu yang paling kontroversial di dunia bioetik dewasa ini. Alasan non medis didasarkan pada asumsi‐asumsi yang bertumbuh di masyarakat yang justru menimbulkan ketimpangan gender dan mengurangi rasio natural sex. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi, Indonesia memperbolehkan pemilihan jenis kelamin pada anak kedua dan selanjutnya tanpa membedakan permasalahan medis dan non medis. Hal tersebut perlu ditilik kembali terutama pemilihan jenis kelamin karena alasan non medis.
Meskipun demikian, penyelenggaraan pemilihan jenis kelamin dengan teknologi reproduksi berbantu dapat menimbulkan ekses‐ekses negatif diantaranya adalah munculnya aborsi selektif dan permasalahan embrio sisa. Ketika jenis kelamin anak yang berkembang dalam rahim berbeda dengan preferensi yang diharapkan, maka aborsi selektif karena jenis kelamin dapat terjadi.
Meskipun belum terdapat regulasi spesifik, tetapi aborsi selektif karena pemilihan jenis kelamin terutama karena alasan non medis dilarang selayaknya abortus kriminal. Tindakan tersebut dapat dikenai sanksi pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar seperti yang tercantum dalam Pasal 75 ayat (3) Undang‐Undang Kesehatan.
Meskipun demikian, aborsi selektif karena pemilihan jenis kelamin dengan alasan medis menjadi dilema tersendiri. Terutama jika telah ada campur tangan dalam penentuan jenis kelamin dengan teknologi tertentu. Belum ada regulasi yang menyatakan bahwa aborsi selektif karena pemilihan jenis kelamin dengan alasan medis diperbolehkan. Selain aborsi selektif, ekses negatif yang dapat terjadi adalah permasalahan embrio sisa.
Tantangan Utama Gubernur Iqbal dari Bangsa Sasak Sendiri |
![]() |
---|
Masnun Tahir: Antara UIN Mataram dan NU NTB |
![]() |
---|
Merawat Kebersamaan Tanpa Unjuk Rasa, MotoGP Wajah Indonesia dari NTB untuk Dunia |
![]() |
---|
Hultah NWDI: Warisan Spiritualitas dan Kebersamaan |
![]() |
---|
Refleksi Pelantikan PW NU NTB: Mengikat Ukhuwah, Menata Masa Depan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.